Mitos-mitos tentang Vasektomi
Vasektomi adalah metode kontrasepsi yang punya banyak mitos. Kehati-hatian tetap diperlukan saat memutuskan vasektomi.
Selain kendala sosial-budaya yang membuat vasektomi kurang populer di kalangan masyarakat, kontrasepsi dengan cara sterilisasi ini memiliki banyak mitos yang membuat pria berpikir panjang. Mitos itu terus bertahan karena penyebaran informasi tentang vasektomi amat terbatas.
Sejak program keluarga berencana diperkenalkan Pemerintah Indonesia akhir 1960-an, vasektomi sudah digaungkan.
Meski tingkat keberhasilan vasektomi mencegah kehamilan 99 persen, metode kontrasepsi permanen bagi pria ini mendapat tentangan dari kaum agamawan karena dianggap mengubah tubuh dan memandulkan secara permanen.
Selain itu, tenaga kesehatan dan fasilitas yang mampu melakukan operasi lebih terbatas dibandingkan alat kontrasepsi lain. Informasi vasektomi pun terbatas sehingga banyak kesalahan persepsi terjadi. Tak hanya itu, sebagian pria yang berminat menjalani vasektomi juga sulit mengakses program itu.
Vasektomi atau disebut metode operasi pria (MOP) merupakan jenis kontrasepsi modern, non-hormonan, dan jangka panjang. Ini merupakan salah satu dari dua jenis kontrasepsi modern untuk pria, selain kondom.
Meski tingkat keberhasilan kondom mencegah kehamilan bisa mencapai 98 persen dan mudah didapat di mana-mana, penggunaannya membutuh kesadaran penuh.
Baca juga: Vasektomi, Pilihan Kontrasepsi Pria yang Jarang Dilirik
Vasektomi merupakan tindakan sterilisasi pada pria dengan cara memotong dan mengikat saluran sperma (vas deferens) kiri dan kanan yang membawa sperma dari testis menuju penis. Pemotongan saluran itu membuat sperma tidak bisa bercampur dengan air mani atau cairan semen.
Dengan demikian, saat laki-laki yang divasektomi itu mengalami ejakulasi ketika berhubungan suami-istri, air maninya tak lagi mengandung sperma. Konsekuensinya, sperma suami tidak bisa membuahi sel telur istri sehingga tidak terjadi kehamilan.
Tindakan vasektomi yang saat ini dilakukan, seperti dikutip dari situs Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), 18 November 2019, yakni vasektomi tanpa pisau bedah. Prosedur ini memiliki risiko dan komplikasi lebih sedikit serta lebih aman dan prosesnya relatif singkat.
Informasi vasektomi pun terbatas sehingga banyak kesalahan persepsi terjadi. Tak hanya itu, sebagian pria yang berminat menjalani vasektomi kesulitan mengakses program pemerintah itu.
Setelah operasi, vasektomi tak otomatis berfungsi efektif. Karena itu, selama tiga bulan sesudah tindakan, pria yang divasektomi disarankan memakai kontrasepsi tambahan. Tiga bulan setelah operasi, dia harus menjalani pemeriksaan laboratorium guna memastikan air maninya tidak lagi mengandung sperma.
Kesalahpahaman
Proses yang relatif kompleks dibandingkan metode kontrasepsi lain itu membuat kesalahpahaman dan mitos tentang vasektomi banyak berkembang. Mitos yang muncul itu umumnya terkait dengan kesehatan seksual pria sesudah vasektomi dilakukan.
Kesalahpahaman mendasar terkait vasektomi umumnya adalah menyamakan operasi vasektomi dengan kebiri atau dalam istilah medis disebut sebagai kastrasi. Kenyataannya, vasektomi dan kebiri adalah dua hal berbeda.
Jika vasektomi adalah pemotongan dan pengikatan saluran sperma, kebiri tradisional dilakukan dengan membuang testis atau buah zakar. Kebiri modern umumnya dilakukan dengan menyuntikkan zat kimia tertentu yang tujuannya sama, yaitu membuat testisnya tidak berfungsi.
Karena testis diambil atau dibuat tidak berfungsi, kebiri membuat orang tersebut akan kekurangan hormon testosteron sehingga dorongan seksualnya pun menurun drastis.
Seperti dikutip Kompas, 19 Mei 2014, testis adalah produsen utama hormon testosteron, yaitu hormon yang terkait dengan gairah seksual dan memberikan sifat maskulin. Hormon ini juga diproduksi oleh kelenjar anak ginjal, tetapi jumlahnya jauh lebih sedikit.
Dari kesalahpahaman dasar itu kemudian memunculkan mitos bahwa vasektomi bisa menurunkan libido atau gairah seksual pria. Seperti dikutip dari akun media sosial X BKKBN, vasektomi tak memengaruhi libido pria karena buah zakar atau testis yang menghasilkan hormon testosteron tetap berfungsi dengan baik.
Selain itu, hormon testosteron ini dialirkan ke tubuh melalui pembuluh darah, bukan saluran sel sperma yang dipotong dan diikat dalam operasi vasektomi.
Hal senada ditulis di situs Institut Nasional untuk Kesehatan Anak dan Pembangunan Manusia Eunice Kennedy Shriver yang merupakan bagian dari Kementerian Kesehatan dan Pelayanan Kemanusiaan Amerika Serikat.
Dalam situs itu disebutkan bahwa vasektomi tidak akan menurunkan gairah seksual pria karena tindakan ini tidak memengaruhi produksi hormon testosteron pria.
Bahkan, studi yang dipimpin Tobias Engl dan dipublikasikan di Central European Journal of Urology, 23 Juni 2017, menemukan kepuasan seksual pria yang divasektomi justru meningkat dan perempuan pasangannya tak mengalami penurunan kepuasan seksual. Jadi, vasektomi tak berdampak negatif pada kepuasan seksual pasangan.
Baca juga: Layanan Kesehatan Masih Jauh dari Keadilan Jender
Mitos lainnya menyebut vasektomi membuat suami tak bisa ejakulasi. Kenyataannya, cairan mani tetap disemprotkan penis saat ejakulasi, sama seperti sebelum vasektomi. Sebab, vasektomi tak memengaruhi organ vesikula seminalis yang memproduksi dan menyimpan cairan mani.
Meski demikian, vasektomi membuat cairan mani itu tidak lagi mengandung sperma karena sperma dari testis tidak bisa menuju penis. Sel sperma yang dihasilkan testis itu akan diserap kembali oleh tubuh.
Vasektomi juga tidak memengaruhi jumlah air mani yang dihasilkan lelaki karena porsi sperma dalam air mani amat sedikit. Situs Austin Center for Vasectomy and Vasectomy Reversal di Texas, AS, menyebut rasio kandungan sel sperma dalam air mani hanya 2 persen sehingga pria tak akan menyadarinya.
Disinformasi lain yang berkembang terkait vasektomi adalah operasi ini bisa memicu impotensi atau membuat pria tak bisa ereksi. Faktanya, ereksi pada pria dipicu saraf dan pembuluh darah pada penis.
Sementara tindakan vasektomi hanya dilakukan di sekitar buah zakar dan hanya memberi dampak pada saluran sperma, tidak mengutak-utik sistem saraf yang terkait dengan ereksi.
Karena itu, vasektomi tidak memengaruhi kemampuan ereksi pria. Jika seseorang mengalami disfungsi ereksi setelah vasektomi, seperti ditulis di situs Komunitas Internasional untuk Kedokteran Seksualitas (International Society for Sexual Medicine/ISSM), hal itu dipicu persoalan lain, bukan akibat vasektomi.
Selain itu, operasi vasektomi juga dianggap menakutkan. Faktanya, operasi vasektomi lebih sederhana daripada operasi sterilisasi pada perempuan alias tubektomi. Dokter bedah, dokter urologi, atau dokter umum terlatih umumnya hanya butuh waktu sekitar 15 menit untuk melakukan vasektomi.
Namun, tindakan lebih kompleks diperlukan saat ingin menyambungkan kembali saluran sel sperma yang sudah diputus dan diikat. Tindakan vasektomi reversal atau vasovasostomi ini membutuhkan operasi lebih rumit dan tingkat keberhasilannya agar pria bisa menghamili kembali 80-90 persen.
Meski tidak memengaruhi kehidupan seksualitas pria, tenaga kesehatan umumnya tetap memperlakukan vasektomi secara berhati-hati, terutama saat ada pasangan suami-istri muda yang ingin melakukannya.
Syarat pria yang bisa divasektomi sesuai Kementerian Kesehatan harus ditaati, seperti sudah memiliki anak lebih dari dua orang dan umur anak terkecil di atas dua tahun.
Sebagian tenaga kesehatan umumnya juga menuntut adanya persetujuan orangtua khususnya apabila pasangan suami-istri yang ingin vasektomi masih dalam rentang usia produktuf alias muda.
Baca juga: Diperlukan Alat Kontrasepsi Baru yang Efektif dan Memenuhi Keseimbangan Jender
Karena risiko sosial-budaya vasektomi relatif lebih besar dibanding risiko medisnya, pengambilan keputusan untuk vasektomi tetap harus dilakukan dengan pikiran jernih, tidak emosi, apalagi hanya ikut-ikutan tren.
Meski undang-undang dan aturan negara membolehkan dilakukannya vasektomi, spek sosial-budaya terkait vasektomi tetap perlu diperhatikan.