Kerja Gigih Mereka yang Melumasi Ekonomi
Tanpa pendapatan UMP dan kemeriahan May Day, sejumlah pekerja informal turut melumasi perputaran roda ekonomi Jakarta.
Sejak pukul 10.00 sampai 15.00 WIB, sudah puluhan orang memesan kopi Fahrul (27), pedagang kopi dan minuman saset keliling di sekitar Stasiun Sudirman, Jakarta Pusat, Kamis (2/5/2024). FhDengan lihai, Fahrul meracik kopi saset dengan tambahan es batu, air, dan gula tersebut.
Fahrul biasanya mulai bekerja dari pukul 10 pagi hingga pukul 10 malam. Artinya, ia menghabiskan waktu sekitar 12 jam untuk menjadi penjual minuman saset keliling.
Dalam sehari, warga Jakarta Selatan ini bisa menghasilkan uang hingga Rp 200.000. Harga minuman yang ditawarkan variatif, mulai dari Rp 5.000 hingga Rp 10.000.
”Namun, itu hanya penghasilan kotor. Bukan keuntungan bersih,” seloroh Fahrul di tengah-tengah melayani pembeli.
Bermodal Rp 1 juta, Fahrul memulai usaha tersebut pada 2022. Ia mengakui, menjadi pedagang starling, yang merupakan pelesetan dari Starbucks keliling, memang tak memberikan penghasilan yang menentu. Jika lagi beruntung, ia bisa membawa pulang Rp 250.000 per hari. Namun, jika sepi, ia hanya bisa mengantongi kurang lebih Rp 100.000.
Meski begitu, di umur yang masih terbilang muda, Fahrul belum ada niat untuk mencari pekerjaan lain. Ia tetap mensyukuri hasil itu. Paling tidak ia bisa bertahan hidup di Jakarta.
Berbeda dengan Fahrul yang tak ada niat untuk beralih pekerjaan, Muhammad Yasin (40) mengatakan, jika ada kesempatan, ia ingin berhenti menjadi pengemudi ojek daring dan beralih menjadi pekerja kantoran.
Awalnya, warga Jakarta Pusat yang berasal dari Magelang, Jawa Tengah, itu bekerja di sebuah hotel. Ia juga sempat merasakan menjadi bagian dari human resource development saat bekerja. Namun, ia terkena dampak pandemi dengan merasakan pemutusan hubungan kerja.
Saat ini penghasilan yang Yasin peroleh per hari dari bekerja menjadi pengemudi ojek daring Rp 150.000 hingga Rp 200.000 dengan jam kerja 9-10 jam per hari dan 6 hari kerja dalam seminggu.
”Kalau sedang banyak orderan bisa mencapai Rp 300.000 per hari, tapi itu jarang sekali. Kalau dulu saat kerja di hotel, sehari bisa Rp 400.000,” ujarnya.
Pernah suatu ketika Yasin hanya mengantongi Rp 50.000 sehari. Jika sudah begitu, ia merasa malu untuk pulang ke rumah. Ia hanya menghabiskan waktu untuk mangkal di sejumlah stasiun dengan harapan bisa menarik penumpang.
Begitu pun dengan Siti Nurhayati (31), warga Jakarta Selatan. Setelah setahun menganggur, sejak tiga bulan yang lalu ibu satu anak itu sudah kembali bekerja di salah satu pabrik tekstil di kawasan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Namun, ia hanya diupah sebesar Rp 150.000 per hari.
Setiap hari, Siti bekerja selama delapan jam, dari pukul 08.00 WIB hingga pukul 16.00 WIB. Jika hari libur, ia tidak mendapatkan upah. Jaminan sosial seperti BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan pun tak ia dapatkan.
Dalam seminggu Siti masuk lima hari kerja dengan estimasi sebulan masuk selama 22-23 hari. Dengan begitu, ia membawa pulang pendapatan Rp 3.300.000 hingga Rp 3.450.000.
Baca juga: Bertahan Hidup dengan Terus Bekerja
”Gaji masih di bawah UMP. Kalau ada kebutuhan mendadak, gaji lewat gitu aja,” ucapnya.
Meski tak sesuai aturan UMP, Siti hanya bisa berdiam dan tidak memperjuangkan haknya. Sebagai pegawai baru, ia merasa sungkan jika banyak protes.
Jika pesanan yang datang ke pabrik sedang membeludak, Siti sering kali bekerja lembur agar mendapatkan tambahan penghasilan. Di hari libur pun ia biasanya berjualan nasi untuk menambah pundi-pundi rupiah.
Meski penghasilannya terbilang kecil, Siti tetap bersyukur lantaran masih memiliki pemasukan setiap bulannya. Apalagi, ia sudah bercerai dan kini harus memenuhi kebutuhan hidupnya dan anaknya yang baru berusia tiga tahun.
Rasa malu yang Siti rasakan juga dirasakan Sella (19), seorang pelayan di Jakarta Pusat. Menjadi pelayan di warung makan, ia hanya digaji sebesar Rp 80.000 per hari dengan jam kerja 8 jam.
”Sempat mengajukan kenaikan biar genap Rp 100.000 per hari, tapi ditolak. Setelah itu sudah tidak pernah membahas masalah gaji lagi,” kata perantau dari Madura itu.
Sejak lulus SMA, Sella memang merantau ke Jakarta. Awalnya ia ingin bekerja menjadi seorang pelayan di restoran besar dengan harapan memiliki gaji layak. Akan tetapi, tantenya memberikan penawaran kerja di warteg miliknya dengan gaji tak lebih dari separuh UMP Jakarta.
Di sisi lain, Sella tidak perlu mengeluarkan biaya untuk tempat tinggal. Sebab, tantenya mengajaknya untuk tinggal bersamanya. Urusan makan pun Sella tak perlu khawatir.
”Tante saya sedang hamil besar dan butuh tambahan karyawan. Jadi, saya berniat membantunya. Mungkin kalau anaknya sudah lahir dan lumayan besar, saya akan cari kerja lain dengan gaji yang lebih tinggi tentunya,” kata Sella.
Saat ini upah minimum provinsi (UMP) Jakarta 2024 bertambah dari Rp 4,90 juta menjadi Rp 5,06 juta. Nilai ini masih cukup tinggi dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Akan tetapi, tidak semua pekerja di Jakarta memiliki penghasilan senilai UMP tersebut.
Tren digitalisasi juga membuat banyak pekerja kini memiliki jenis pekerjaan lebih fleksibel dibandingkan dengansebelumnya.
Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono menetapkan kenaikan UMP itu pada Selasa (21/11/2023) sore di Balai Kota Jakarta. Kenaikan itu tertuang dalam Keputusan Gubernur Nomor 818 Tahun 2023 tentang Upah Minimum Provinsi Tahun 2024.
Sementara berdasarkan Survei Biaya Hidup 2022 oleh Badan Pusat Statistik menempatkan Jakarta sebagai kota dengan biaya hidup termahal, yakni Rp 14,88 juta per bulan. Survei ini menyasar 240.000 rumah tangga dan 847 komoditas di 150 kabupaten/kota.
Meski begitu, tak sedikit warga dari luar daerah berbondong-bondong datang ke Jakarta untuk mencari pekerjaan. Padahal, penghasilan yang mereka dapat belum mencapai UMP di Jakarta.
Perlindungan
Badan Pusat Statistik mencatat, hingga Agustus 2023, mayoritas tenaga kerja Indonesia bekerja di sektor informal sebanyak 59,11 persen. Sementara sisanya, 40,89 persen, pekerja di sektor formal.
Menurut Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal, fenomena banyaknya pekerja informal yang sampai sekarang terjadi adalah warisan dari pandemi Covid-19. Selain itu, gejala informalitas pekerja sejalan dengan fenomena penurunan upah riil.
Namun, pekerja informal umumnya rentan karena jauh dari akses jaminan sosial dan upah layak berkelanjutan. Pemerintah dinilai bisa menyalurkan subsidi dan mengubah skema kepesertaan jaminan sosial yang lebih inklusif bagi mereka.
Baca juga: ”May Day”, Jeritan Buruh Penggerak Roda Ekonomi
Selain itu, maraknya pemutusan hubungan kerja pekerja formal belakangan mendorong pekerja informal tumbuh. Namun, apabila geliat pekerja informal ini bagus, bisa membantu keuangan pekerja tetap terjaga.
Pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada, Tadjuddin Noer Effendi, menyoroti perlunya perlindungan hukum demi memastikan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) bagi pekerja informal dan individu dengan pekerjaan yang memiliki fleksibilitas.
Tadjuddin memberikan contoh pekerjaan informal pengemudi daring yang memiliki status sebagai mitra sehingga perlu memiliki perlindungan berbeda dengan pekerja yang memiliki hubungan kerja dan di bawah naungan perusahaan. Padahal, pekerja seperti pengemudi daring juga memiliki risiko pekerjaan yang cukup tinggi.
Selain itu, lanjutnya, tren digitalisasi juga membuat banyak pekerja kini memiliki jenis pekerjaan lebih fleksibel dibandingkan dengansebelumnya. Kebanyakan dari mereka memiliki jam dan tempat kerja serta periode waktu kerja yang lebih beragam jika dibandingkan dengan pekerjaan-pekerjaan lainnya.
Perlindungan hukum, menurut dia, diperlukan untuk memastikan budaya K3 dapat diterapkan untuk para pekerja jenis informal dan jenis pekerjaan fleksibel tersebut. Apalagi mengingat potensi jenis-jenis pekerjaan dengan fleksibilitas itu akan meningkat pada masa depan.
”Dalam artian perlindungan dari segi hukum supaya mereka bekerja itu benar-benar terlindungi dari kejadian-kejadian yang mungkin tidak pernah terpikirkan,” kata Tadjuddin.
Meski tanpa pendapatan UMP dan kemeriahan May Day pada 1 Mei lalu, pekerja informal mulai dari penjaga warung makan, pengemudi ojek daring, hingga pedagang kopi keliling ini turut melumasi perputaran roda perekonomian kota Jakarta. Merekalah orang-orang yang kerap dicari dalam kehidupan warga Jakarta sehari-hari.