Piagam Palembang Perlu Ditinjau Ulang untuk Menjamin Kemerdekaan Pers
Harus ada kode etik yang mengatur pemilik perusahaan pers demi menjamin kemerdekaan pers.
PALEMBANG, KOMPAS — Setelah 14 tahun, ratifikasi standar perusahaan pers yang tertuang dalam Piagam Palembang belum sepenuhnya menjamin kemerdekaan pers. Belum adanya kode etik yang mengatur pemilik perusahaan pers membuat jurnalis suatu media bekerja di bawah bayang-bayang intervensi sehingga produk jurnalistik yang dihasilkan masih dilingkupi kepentingan tertentu.
Demikian mengemuka dalam diskusi bertema ”Refleksi Piagam Palembang dan Praktik Etika Media di Tahun Politik” di Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel), Jumat (3/5/2024). Kegiatan itu menjadi bagian dari rangkaian Kongres XII Aliansi Jurnalis Independen (AJI) di Palembang selama 3-5 Mei 2024.
Baca juga: Penyebaran Berita Hoaks Meningkat Selama Pemilu 2024
Piagam Palembang adalah ratifikasi standar perusahaan pers yang ditandatangani oleh 18 pimpinan perusahaan pers saat puncak peringatan Hari Pers Nasional ke-64 di Palembang, 9 Februari 2010. Tujuan utamanya adalah memberikan standar kualitas pers dari sisi pemberitaan, sumber daya manusia, dan organisasi perusahaan agar menjadi lebih baik.
Ketua Umum AJI Sasmito Madrim mengatakan, merujuk Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Piagam Palembang, kode etik ataupun pedoman yang ada belum mengatur pemilik media. Bahkan, menurut Pasal 9 pada Bab IV mengenai Perusahaan Pers dalam UU Nomor 40 Tahun 1999, setiap warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers.
Syaratnya, relatif hanya mewajibkan perusahaan pers atau media berbentuk badan hukum Indonesia. Dengan demikian, itu memungkinkan partai politik ataupun politikus dan pemilik modal mendirikan media guna menyukseskan kepentingannya.
”Itu menyakitkan kita semua karena kode etik yang ada hanya mengatur kerja jurnalis dan ruang redaksi, tetapi belum menyentuh pemilik medianya. Sejauh ini, belum ada pula kesepakatan dari para pemilik media untuk menandatangani pakta integritas bebas dari kepentingan politik dan ekonomi,” ujar Sasmito.
Itu menyakitkan kita semua karena kode etik yang ada hanya mengatur kerja jurnalis dan ruang redaksi, tetapi belum menyentuh pemilik medianya.
Sebagai jalan tengah dari fenomena itu, lanjut Sasmito, Indonesia sepatutnya meniru kebijakan di Jerman. Di sana, media-media yang punya afiliasi politik harus mendeklarasikan diri bahwa mereka adalah media milik suatu partai politik ataupun politikus.
”Tujuannya agar publik (masyarakat) tahu bahwa media bersangkutan punya kepentingan politik tertentu,” katanya.
Ketua AJI Palembang Muhammad Fajar Wiko menuturkan, dari Piagam Palembang, 18 pimpinan perusahaan pers setidaknya bersepakat dan bersedia menjalankan kode etik jurnalistik, meningkatkan standardisasi kompetisi jurnalis, dan meningkatkan kesejahteraan jurnalis. Ketiga hal itu sangat berkaitan yang memengaruhi kemerdekaan ataupun profesionalisme jurnalis.
Faktanya saat ini, hal itu belum berjalan sesuai harapan. Salah satu buktinya, Sumsel sebagai tempat lahirnya Piagam Palembang justru mengalami kemerosotan dalam Indeks Kemerdekaan Pers (IKP). Pada 2022, Sumsel berada di urutan kesepuluh dari 34 provinsi dengan nilai 81,40. Namun, pada 2023 peringkatnya turun menjadi ke-31 dari 34 provinsi dengan nilai 70,83.
Di tingkat dareah, dari tinjauan yang dilakukan AJI Palembang enam bulan terakhir atau sebelum, saat, dan sesudah Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, penurunan posisi Sumsel tidak terlepas dari tiga indikator, yakni lingkungan politik, ekonomi, dan hukum. Dari aspek hukum, memang terjadi penurunan drastis pelaporan kekerasan terhadap jurnalis di Palembang ataupun Sumsel.
Namun, dari aspek politik dan hukum, ada upaya-upaya mengintervensi ruang redaksi sejumlah media melalui iklan dari pemerintah yang terjadi secara masif. Iklan-iklan itu coba mengunci pemberitaan agar sesuai harapan pemberi iklan. Akibatnya, jurnalis ataupun ruang redaksi tidak bebas memberitakan suatu peristiwa.
Baca juga: Menguatnya Ancaman Kebebasan Pers di Tengah Darurat Lingkungan
”Dengan pola itu, pemberi iklan telah menyiapkan siaran pers dan foto sendiri yang harus diberitakan. Hal itu membuat jurnalis tidak ada ruang mengaktualisasikan informasi atau berita yang mereka terima. Kalau ada pemberitaan yang dianggap negatif, pemberi iklan akan langsung melakukan kontak boss to boss untuk meminta berita itu dicabut atau diperhalus,” tutur Wiko.
Kenapa sejumlah media terjebak dengan pola-pola tersebut, menurut dia, itu tidak lepas dari kegagalan mereka mewujudkan kesejahteraan bagi jurnalis. Mau tidak mau, pemilik media bersangkutan bergantung kepada iklan pemerintah yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Maka itu, selain peningkatan kapasitas jurnalis, butuh peningkatan kapasitas organisasi media atau pemilik media. Mereka harus mampu melakukan pengembangan untuk mencari pemasukan di luar kerja sama dengan pemerintah.
”Itu butuh intervensi dari semua pihak, terutama Dewan Pers. Tujuannya, untuk mencapai target Piagam Palembang, antara lain melahirkan iklim jurnalisme yang berkualitas,” ujar Wiko.
Pengaruh politik meningkat
Wakil Ketua Dewan Pers sekaligus Ketua Komisi Informasi dan Komunikasi Dewan Pers Muhamad Agung Dharmajaya mengatakan, melihat fenomena itu, pihaknya menilai Piagam Palembang perlu ditinjau ulang. Sebagaimana diungkapkan AJI, itu karena Piagam Palembang belum menjamah pemilik perusahaan pers ataupun media.
Baca juga: Indeks Demokrasi Turun, Kebebasan Pers Turut Terancam
Akibatnya, dalam empat pemilu terakhir, fenomena pemilik partai ataupun politikus menjadi pemilih perusahaan pers semakin meningkat. Hal itu menimbulkan intervensi bagi jurnalis ataupun ruang redaksi di media bersangkutan.
”Selama ini, para jurnalis disuruh taat dengan kode etik yang berlaku. Namun, saat memasuki ruang redaksi, produk jurnalistik yang dibuat sesuai kode etik itu bisa berubah kalau ada tekanan dari pimpinan,” katanya.
Sejatinya, Agung menyampaikan, itu akan berdampak negatif bagi jurnalis ataupun media bersangkutan. Di lapangan, fenomena keberpihakan politik suatu media bisa mengancam keselamatan jurnalisnya. Secara bisnis, itu akan menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap media tersebut.
Selama ini, para jurnalis disuruh taat dengan kode etik yang berlaku. Namun, saat memasuki ruang redaksi, produk jurnalistik yang dibuat sesuai kode etik itu bisa berubah kalau ada tekanan dari pimpinan.
Situasi diperburuk dengan tidak adanya pembatasan kepada pemilik modal yang membuat siapa pun ingin dan bisa mendirikan media. Padahal, pendirian media butuh modal tidak sedikit. Tak pelak, dalam perjalanannya, praktik cawe-cawe dengan pihak yang memiliki kepentingan tertentu dilakukan demi menjaga keberlanjutan media tersebut.
”Jadi, kita harus realistis. Kode etik yang ada harus ditinjau ulang, terlebih memasuki masa pemilu dan pilkada (pemilihan kepala daerah). Kita mesti bersikap tegas dengan persoalan ini karena itu akan sangat mencederai diri sendiri (dunia jurnalistik),” tutur Agung.
Wakil Pimpinan Redaksi Harian Kompas Adi Prinantyo menuturkan, Piagam Palembang adalah wujud keniscayaan pers yang harus diwujudkan. Tujuannya untuk memperkuat peran pers sebagai kekuatan keempat demokrasi di luar trias politika, yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pers berperan sebagai kontrol terhadap kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Itu adalah posisi yang istimewa dan strategis yang harus dijalankan sampai kapan pun. ”Dengan peran itu, pers menjadi penyambung aspirasi masyarakat. Itu karena peran eksekutif, legislatif, dan yudikatif bisa saja berjalan dengan penuh tanda tanya atau tidak sesuai harapan,” ujarnya.
Oleh karena itu, Adi menegaskan, pers sejatinya harus menjaga jarak dengan pihak-pihak eksternal, terutama dalam konteks kenegaraan, seperti partai politik ataupun politikus. Hal itu berlaku di semua tingkatan, dari pusat hingga ke daerah.
Jadi, kita harus realistis. Kode etik yang ada harus ditinjau ulang, terlebih memasuki masa pemilu dan pilkada. Kita mesti bersikap tegas dengan persoalan ini karena itu akan sangat mencederai diri sendiri (dunia jurnalistik).
Di tahun-tahun politik seperti sekarang, pers harus menjaga komitmen dalam menjalankan perannya. Hal itu diwujudkan dengan pemberitaan yang bisa memberikan pendidikan dan wawasan kepada masyarakat mengenai isu politik yang sedang terjadi, serta mengawal proses politik yang sedang berjalan.
Baca juga: Upaya Menegakkan Harkat Pers
”Bersama masyarakat sipil dan akademisi, pers harus bisa menjalankan fungsi kontrol sosialnya. Secara sistem, negara terus mengupayakannya menjadi lebih baik. Namun, dalam penyelenggaraannya, terkadang ada ketidaksesuaian,” kata Adi.
Khusus untuk Kompas, Adi menyampaikan, ruang redaksi berkomitmen menjaga integritas dan independensi dalam pemberitaan. Paling tidak, sebelum Pemilu 2024, Kompas menerbitkan pedoman untuk peliputan dan publikasi. Isinya, antara lain, melarang jurnalis/wartawan mereka menjadi pengurus dan atau anggota partai politik serta organisasi masyarakat di bawah naungan partai politik atau sejenisnya.
Mereka pun melarang jurnalis menjadi calon atau dicalonkan sebagai anggota legislatif di tingkat kabupaten/kota, provinsi, hingga nasional, serta dicalonkan sebagai bupati/wakil bupati, wali kota/wakil wali kota, gubernur/wakil gubernur, hingga presiden/wakil presiden. Jurnalis dan jajaran redaksi dilarang mengunggah konten terkait pandangan, sikap, dan preferensi politiknya, atau rencana tindakan terkait pandangan, sikap, preferensi politiknya di media sosial.
Jurnalis Kompas juga dilarang menjadi pengurus dan atau anggota tim pemenangan ataupun relawan bagi partai politik, calon kepala daerah, calon anggota legislatif, dan calon presiden/wakil presiden. Jurnalis dan jajaran redaksi dilarang berperan sebagai konsultan politik yang memberikan data, analisis, ataupun rekomendasi politik kepada tiap institusi politik dan tokoh-tokoh politik, atau pihak terkait dalam Pemilu 2024.
Baca juga: Apresiasi untuk Para Insan Pendukung Kemerdekaan Pers
”Secara institusi, Kompas mempunyai data hasil survei kepemimpinan partai politik, calon presiden/wakil presiden, dan lainnya. Kalau ada pihak yang bertanya bagaimana proses pengumpulan datanya atau ingin mengetahui lebih dalam mengenai hasil survei itu, kami pun meminta mereka yang datang bertanya ke Kompas bukan sebaliknya,” papar Adi.