Puskapol UI: Wacana Revisi UU Kepemiluan Perlu Diwaspadai
Wacana revisi kepemiluan yang dilontarkan Ketua Komisi II DPR perlu diantisipasi jika ada kepentingan pragmatis elite.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Wacana penyempurnaan sistem politik melalui revisi sejumlah undang-undang harus diwaspadai oleh publik. Ia khawatir penyempurnaan sistem politik justru ada kepentingan terselubung untuk mengamankan Pemilihan Kepala Daerah 2024 pada November mendatang.
”Kalau saya melihat pada konteks yang lebih besar, pola pembajakan regulasi dan demokrasi di Indonesia itu dilakukan melalui tiga cara, yaitu legal formal atau prosedural dengan membuat aturan main yang menguntungkan elite, mengakali cara yang sudah ada, atau mengubah aturan main demi kepentingan pragmatis elite,” ujar Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) Hurriyah saat dihubungi, Sabtu (27/4/2024).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Ia mencontohkan, pada saat pembahasan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, pembentuk UU, yaitu pemerintah dan DPR, bersikeras menerapkan ambang batas parlemen (parliamentary threshold/PT). Namun, saat dirugikan dengan aturan itu, mereka kemudian menggugat ke Mahkamah Konstitusi. MK mengabulkan penghapusan PT untuk pemilu lima tahun mendatang pada 2029.
”Wacana-wacana yang tidak demokratis sering kali dilontarkan oleh politikus kita. Ketika mereka melihat masalah dalam pemilu, solusi yang ditawarkan bukan mengatasi akar masalahnya, melainkan masalah yang muncul dijadikan sebagai justifikasi atau pembenaran mereka mendorong agenda sendiri,” jelasnya.
Pendapat Hurriyah itu menanggapi pernyataan Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung yang bersilaturahmi dengan Menteri Sekretaris Negara Pratikno di kantor Sekretariat Negara, Jakarta, Kamis (25/4/2024). Politikus Partai Golkar itu menyebut, dalam perbincangan tersebut, keduanya membahas penyempurnaan sistem politik lewat revisi sejumlah undang-undang. Penyempurnaan itu idealnya dilakukan pada bulan-bulan pertama pemerintahan baru (Kompas.id, 25/4/2024).
Kepatuhan terhadap UU
Menurut Hurriyah, jika memang pembentuk UU ingin menyempurnakan regulasi yang sudah ada, pada penyelenggaraan pilkada serentak 2024, yang harus dikoreksi adalah kepatuhan terhadap regulasi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Catatan saat Pemilu Presiden 2024 lalu, pelanggar utama regulasi adalah negara. Hal itu terjadi karena ada konflik kepentingan yang bermain dan dibiarkan oleh pihak yang berwenang menindak.
Wacana-wacana yang tidak demokratis sering kali dilontarkan oleh politikus kita.
”Dalam konteks pilkada, kebijakan penunjukan penjabat kepala daerah itu dikritik keras oleh publik karena rentan dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Kalau pada pilkada sebelumnya ancamannya adalah pejabat petahana, sekarang ada penjabat yang ditunjuk langsung oleh pemerintah pusat sehingga ada kekhawatiran mereka tidak netral dan menjadi proxy politik tingkat nasional,” ungkapnya.
Jika sebelumnya pilkada menjadi konstestasi untuk sirkulasi elite level daerah atau lokal, sekarang elite lokal juga harus bersaing dengan perpanjangan tangan pemerintah pusat. Kebijakan dari Kemendagri, dinilainya, membawa pengaruh politik tingkat nasional ke level daerah. Jika kemudian pola cawe-cawe atau intervensi politik melalui mobilisasi aparat negara dan aparatur sipil negara seperti saat pilpres lalu, ia khawatir pilkada juga masih akan menciptakan pertarungan yang tidak setara bagi para kandidat.
”Pola politik gentong babi masih rawan dimainkan kembali saat pilkada. Sebab, dari sisi regulasi juga belum jelas, terutama yang memuat sanksi bagi pelanggaran netralitas ASN. Kepala daerah sebagai pejabat pembina komitmen biasanya akan tidak tegas menindak pelanggaran netralitas ASN,” ujarnya.
Kinerja Bawaslu
Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga Ramlan Surbakti menambahkan, masalah yang paling ia soroti selama pilpres lalu adalah manipulasi hukum syarat pencalonan wakil presiden dan manipulasi pemilih melalui intervensi kekuasaan. Oleh sebab itu, kinerja Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) perlu ditingkatkan. Bawaslu seharusnya tidak perlu mengeluarkan Indeks Kerawanan Pemilu yang menjadi urusan aparat keamanan, yaitu kepolisian. Bawaslu idealnya bisa lebih fokus pada indeks pelanggaran pemilu atau malapraktik elektoral.
”Manipulasi pemilu ada tiga tipologi, yaitu manipulasi hukum, manipulasi persyaratan peserta pemilu atau partai politik di Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan manipulasi pilihan pemilih. Manipulasi pilihan pemilih itu menjadikan pemilih tidak bisa memberikan suara sesuai hati nurani dan pikirannya karena diberi uang, bantuan sosial, hingga ancaman aparat,” jelasnya.
Dengan persoalan itu, menurut Ramlan, kinerja Bawaslu bisa lebih difokuskan pada pencegahan dan penindakan berbagai bentuk manipulasi politik. Jika kinerja Bawaslu optimal, MK tidak perlu menjadi keranjang sampah sengketa hasil pilkada. Dalam pilkada, MK berpotensi lebih untuk menjadi mahkamah kalkulator karena ada syarat selisih perolehan suara bagi kandidat yang ingin menggugat hasil pemilu.
Bawaslu idealnya bisa lebih fokus pada indeks pelanggaran pemilu atau malapraktik elektoral.
”MK juga harus lebih fokus pada proses pemilu seperti apa sehingga hasil produknya seperti itu. Pilkada pada November besok itu tidak ujug-ujug hari pemilihan, tetapi proses panjang yang jangan sampai ada manipulasi hukum dan manipulasi pilihan pemilih lagi,” jelasnya.
Manipulasi pilihan pemilih itu, menurut Ketua KPU periode 2004-2007 tersebut, adalah seperti politik uang (money politics), bansos, dan intimidasi aparat. Dengan manipulasi itu, pemilih menjadi tidak bisa memberikan hak pilihnya di bilik suara dengan murni.
”Dissenting opinion atau pendapat berbeda dari tiga hakim konstitusi, yaitu Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat, soal manipulasi pilihan pemilih perlu diperhatikan di Pilkada 2024. Pengawasan Bawaslu harus lebih aktif agar pelanggaran etik yang seperti kentut karena baunya terasa, tetapi bentuknya tidak bisa dilihat itu bisa diketahui dan diproses hukum,” ungkapnya.