logo Kompas.id
TajaLestari Budaya Kamoro dalam...

Lestari Budaya Kamoro dalam Naungan Yayasan Maramowe Weaiku Kamorowe

Papua begitu kaya. Alamnya memiliki harta yang bahkan disebut-sebut menjadi penghidupan bagi modernitas. Namun, sayang, modernitas yang ada belum menjangkau banyak suku di Pulau Cendrawasih ini.

PT Freeport Indonesia
Artikel ini merupakan kerja sama antara harian Kompas dan PT Freeport Indonesia.
· 6 menit baca

Papua begitu kaya. Alamnya memiliki harta yang bahkan disebut-sebut menjadi penghidupan bagi modernitas. Namun, sayang, modernitas yang ada belum menjangkau banyak suku di Pulau Cendrawasih ini.

Banyak suku? Ya, berdasarkan Papua.go.id, suku asli Papua berjumlah 255. Salah satu di antaranya adalah Suku Kamoro. Suku ini mendiami wilayah pesisir Timika. Namun, keberadaan suku ini baru dikenal publik mungkin baru dalam rentang sepuluh tahun belakangan ini. Padahal, budaya dan seni Suku Kamoro tak kalah menakjubkan dari suku-suku lain di Indonesia, Papua pada khususnya.

https://cdn-assetd.kompas.id/ULkwt4L9YCJx3Vo1vxbcRn8NCrI=/1024x576/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F06%2F2406-FREEPORT-KAMORO_14-720x405.jpg
Kompas

Upaya regenerasi melalui lomba ukir bagi para pemuda di Kampung Iwaka. Kegiatan ini diharapkan dapat memotivasi generasi muda Kamoro untuk ikut melestarikan budaya ukir warisan leluhur.

Selain ahli dalam hal berburu dan memancing, rupanya suku ini andal dalam mengukir, tak kalah indah dari seni ukir Suku Asmat yang sudah lebih dulu dikenal. Keandalan Suku Kamoro dalam mengukir menjadi perhatian seorang ahli sejarah dan antropologi kelahiran Hungaria berkebangsaan Amerika Serikat, bernama Kal Muller.

https://cdn-assetd.kompas.id/VvvGc47g9AKQ7I9BWb_x_3Gpf00=/1024x576/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F06%2F2406-FREEPORT-KAMORO_8-720x405.jpg
Kompas

Bagian dari upacara ritual Kaware (pembaruan) kini menjadi bagian dari pertunjukan budaya yang disajikan kepada wisatawan.

Sejak 1996, Kal Muller telah bekerja dengan Suku Kamoro untuk membangkitkan kembali beberapa aspek budaya mereka yang sempat memudar, salah satunya seni ukir. Muller membantu para pengukir Kamoro dengan menggagas event Kamoro Kakuru (Festival Kamoro). Tidak hanya itu, Muller juga membawa ukiran serta seni budaya Kamoro lebih dikenal masyarakat luas melalui berbagai event budaya, baik di dalam dan luar negeri, serta buku-buku yang ditulisnya. Kegiatan ini pun mendapat dukungan besar dari PT Freeport Indonesia (PTFI).

https://cdn-assetd.kompas.id/RmGe3sH6rWi8bL84K7N3WeRYtQo=/1024x576/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F06%2F2406-FREEPORT-KAMORO_6-720x405.jpg
Kompas

Kal Muller melakukan seleksi ukiran di Kampung Mioko untuk dipasarkan melalui Galeri Seni Kamoro dan berbagai kegiatan pameran yang banyak didukung oleh PTFI.

Melalui berbagai event tersebut, hasil ukiran Suku Kamoro diperkenalkan ke publik luas, yang banyak dari mereka merupakan ekspatriat. Hasil penjualan atas karya ukiran di event tersebut, sepenuhnya milik para pengukir Suku Kamoro.

https://cdn-assetd.kompas.id/We4L2vQ4GSU2imdZgdmrnWSZS_Q=/1024x576/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F06%2F2406-FREEPORT-KAMORO_9-720x405.jpg
Kompas

Pameran Seni dan Budaya Kamoro di American Club.

Bukan hanya membantu dari segi pemasaran dan penjualan hasil karya ukiran, Muller dan tim juga membekali para pengukir Suku Kamoro dengan berbagai macam ilmu untuk meningkatkan kualitas hasil ukir yang mereka buat. Hal ini sangat membantu untuk menambah nilai jual hasil karya ukiran mereka.

https://cdn-assetd.kompas.id/PaK61gNE0l-TH3Slsa4iuD_Ogds=/1024x576/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F06%2F2406-FREEPORT-KAMORO_12-720x405.jpg
Kompas

Pendiri Yayasan Waramowe Luluk Intarti mengumpulkan dan menyeleksi ukiran dari Masyarakat Kamoro.

Sebelum Muller memulai kegiatan bantuan ke para pengukir, seni ukir Kamoro jauh dari nilai estetika. Semangat para pengukir untuk menghasilkan karya pun bisa dibilang hampir tidak ada. Hanya beberapa pengukir yang tinggal di seputar kota Timika yang masih memproduksi ukiran karena adanya permintaan dari banyak karyawan PTFI yang mencari suvenir khas Timika. Selain itu, karena masih ada pesanan ukiran dari PTFI ketika membangun kota Kuala Kencana.

https://cdn-assetd.kompas.id/lXmKPA8hvfDmyjXI1f34LNYrxAk=/1024x576/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F06%2F2406-FREEPORT-KAMORO_5-720x405.jpg
Kompas

Kegiatan edukasi di Sekolah YPJ, Papua.

Sementara itu, mereka yang tinggal di kampung-kampung yang jauh dari kota hanya akan membuat ukiran ketika ada kegiatan ritual. Selain itu, jika ada kesempatan ke kota, mereka (pengukir Suku Kamoro) menjual karya mereka melalui beberapa toko suvenir dengan harga sangat murah.

Kehadiran yayasan

Agar upaya pelestarian seni dan budaya Suku Kamoro tetap dapat berjalan dengan baik, atas dukungan yang besar dari PTFI berdiri sebuah yayasan bernama Maramowe Weaiku Kamorowe, yang memiliki arti pengukir muda Kamoro.

Yayasan tempat para pengukir Kamoro bernaung ini didirikan pada September 2014 oleh Luluk Intarti di bawah pembinaan dan pengarahan Muller. Kini, yayasan ini mendukung lebih dari 500 pengukir dan penganyam kerajinan dari sekitar 50 kampung. Beberapa di antaranya juga berasal dari kampung-kampung Sempan dan Asmat.

“Yayasan ini berdiri karena kami mulai memikirkan wadah/rumah bagi seluruh kegiatan yang semula hanya bersifat kelompok kerja. Jadi, pekerjaan ini sudah dimulai jauh sebelum yayasan berdiri. Adanya yayasan ini dapat mempermudah para pengukir/seniman Kamoro untuk mencari kami (pengurus) ketika membutuhkan sesuatu. Yayasan juga menaungi unit usaha, yaitu Galeri Seni Kamoro untuk mempercepat penjualan ukiran, memudahkan pembeli dalam mencari suvenir atau ingin menghias rumah dengan ukiran Kamoro,” jelas Luluk.

https://cdn-assetd.kompas.id/u13lUTVxRZrDpcztVEu3D-za5aI=/1024x576/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F06%2F2406-FREEPORT-KAMORO_A-720x405.jpg
Kompas

Seniman dan pengukir Kamoro tampil di acara APEC di Bali dengan dukungan PTFI.

Yayasan Maramowe Weaiku Kamorowe memiliki galeri di Kota Timika yang menampilkan ratusan karya seni untuk membantu seniman Kamoro menjual produk-produk mereka. Saat ini, mereka tengah mengembangkan kerja sama dalam membuka pasar baru di berbagai kota.

https://cdn-assetd.kompas.id/SymNlA_9_2-efVG5dpKnKmb1Rg0=/1024x576/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F06%2F2406-FREEPORT-KAMORO_B-720x405.jpg
Kompas

Kehadiran stand Kamoro di salah satu sudut Alun-Alun, Grand Indonesia menarik minat pengunjung untuk berinteraksi langsung dengan para pengrajin ukiran Kamoro.

Perwakilan pertama adalah Galeri Seni Ima Camplong di Jalan Sindang Sirna 21, Geger Kalong, Bandung. Diikuti oleh Alenia Coffee & Kitchen di Kemang, Jakarta; dan Pendopo retail shop di Living World Mall, Alam Sutera, Tangerang.

Yayasan ini pun membuka peluang kerja sama di kota-kota lain untuk mempercepat dan membuka peluang bagi penjualan kerajinan Kamoro, baik secara online, galeri, maupun retail shop.

Berbagai program kerja

Program kerja yang dilakukan oleh yayasan ini pun tak sebatas pengembangan seni ukiran, tetapi juga pelestarian budaya Kamoro secara luas. Oleh karena itu, yayasan ini juga sering berkunjung ke sekolah-sekolah untuk memperkenalkan budaya Kamoro di generasi yang lebih muda. Program ini menjadi metode pembelajaran tentang muatan budaya lokal bagi sekolah-sekolah di Timika.

https://cdn-assetd.kompas.id/eWD91brKcSTVSYOdff8vF8il79g=/1024x576/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F06%2F2406-FREEPORT-KAMORO_3-720x405.jpg
Kompas

Ketua Yayasan Waramowe Herman Kiripi terlibat langsung memperkenalkan seni dan budaya Kamoro kepada siswa-siswi di salah satu sekolah di Timika.

Ketua Yayasan Maramowe Weaiku Kamorowe Herman Kiripi menyampaikan, “Yayasan bekerja sama dengan beberapa sekolah di dalam dan luar kota Timika untuk menyediakan informasi bagi siswa-siswi tentang budaya Kamoro. Kami menghadirkan narasumber putra asli Kamoro dan informasi tentang kehidupan keseharian orang Kamoro, seni rupa dan tari, upacara adat, dan banyak lainnya. Kami memiliki program-program yang diperuntukkan bagi siswa-siswi usia dini hingga sekolah menengah atas.”

https://cdn-assetd.kompas.id/Llbw3DdMhoW1e6MqP0IMUUy9fD0=/1024x576/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F06%2F2406-FREEPORT-KAMORO_4-720x405.jpg
Kompas

Belajar memahami keunikan Suku Kamoro melalui seni dan budayanya.

Selain itu, Muller, penasehat Yayasan, telah menerbitkan serangkaian buku panduan tentang Papua dan menulis buku-buku tentang 7 suku (empat di antaranya telah diterbitkan). Buku-buku ini ditulis untuk membantu siswa siswi atau masyarakat yang tertarik untuk memahami budaya-budaya di Papua.

https://cdn-assetd.kompas.id/-9cxsO5z76yxCESHDKsdOMCX1XQ=/1024x576/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F06%2F2406-FREEPORT-KAMORO_2-720x405.jpg
Kompas

Kegiatan bersama siswa-siswi asing – komunitas global di Canggu Community School.

“Kami ingin anak-anak muda lokal sendiri mengenal sejarah dan budayanya. Kami ingin anak-anak muda Papua, mengetahui asal-usul nenek moyang dan budaya yang begitu kaya yang dimiliki,” ungkap Luluk.

Selain beberapa buku, terdapat koleksi video yang memperlihatkan berbagai topik yang berbeda tentang Suku Kamoro dan Suku Amungme, dengan durasi antara 15 hingga 30 menit di setiap sesi. Buku-buku dan video tersedia dalam bahasa Inggris dan Indonesia.

Melengkapi buku-buku yang ditulis oleh Muller, Yayasan Maramowe Weaiku Kamorowe juga menyediakan informasi melalui media sosial agar lebih mudah diakses oleh publik. Informasi ini akan menjadi catatan sejarah bagi generasi selanjutnya untuk belajar tentang budaya Suku Kamoro dan mengetahui perkembangan budaya yang terjadi pada masyarakat Kamoro.

Pusat budaya

Saat ini, Yayasan Maramowe Weaiku Kamorowe sangat membutuhkan bantuan dari pemerintah dan stakeholder terkait lainnya untuk membangun sebuah unit berupa bangunan yang digunakan sebagai Pusat Warisan Budaya Kamoro.

Harapannya, pusat warisan budaya ini akan dapat memamerkan berbagai artefak budaya Kamoro yang telah dikumpulkan oleh Muller dan tim kerja Yayasan Maramowe selama lebih dari dua dasawarsa pengabdian di Kabupaten Mimika, serta berbagai informasi penting tentang budaya Kamoro yang dapat diakses secara elektronik maupun manual (koleksi buku). Di lokasi pusat kebudayaan ini secara berkala akan digelar berbagai pertunjukan budaya Kamoro, baik secara langsung maupun digital.

“Kami sedang mengumpulkan dana bagi pembangunan pusat kebudayaan yang diinginkan oleh masyarakat Kamoro. Pembangunan yang dimaksud berupa sebidang tanah dengan luasan minimal 1 hektar dan unit bangunan bertumbuh untuk menyesuaikan kebutuhan dan ketersediaan artefak yang akan dipamerkan,” tegas Luluk.

Yayasan ini akan terus mengembangkan berbagai program untuk membantu Suku Kamoro dalam melestarikan budaya mereka. Tidak hanya membantu menjual produk-produk kerajinan ukiran dan anyaman, tetapi juga menyebarluaskan informasi tentang budaya Kamoro kepada publik, melalui program edukasi di sekolah-sekolah dan media sosial.

“Ndoro Kamoro Kakuru Waiya Nenekapoka Aemamekamo. Kami menjaga budaya Kamoro dengan segenap hati,” pungkas Herman. [ACH]

*DOKUMEN FOTO: YAYASAN MARAMOWE WEAIKU KAMOROWE & PT FREEPORT INDONESIA.

Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000