Skema Pembiayaan Inovatif Dorong Pembangunan Infrastruktur
Dalam rangka menggenjot pembangunan infrastruktur, pemerintah berinovasi merancang skema pembiayaan yang lebih luwes. Oleh karena itu, selain badan usaha milik negara (BUMN), pihak swasta diajak terlibat aktif mendanai infrastruktur.
Hasil studi Dana Moneter Internasional (2014) menunjukkan, kenaikan investasi infrastruktur publik akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, baik jangka pendek maupun menengah.
Kenaikan 1 persen investasi infrastruktur publik di negara berkembang bakal meningkatkan output sebesar 0,1 persen pada tahun tersebut dan 0,25 persen empat tahun kemudian.
Menurut Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Robert Pakpahan, pembiayaan inovatif diperlukan untuk menggenjot infrastruktur. Bekerja sama dengan swasta atau public private partnership dapat menjadi alternatif selain pembiayaan APBN dan penugasan terhadap BUMN. Dengan begitu, pemerintah bisa lebih fokus pada pengembangan proyek infrastruktur yang kurang diminati investor, misalnya proyek air minum dan irigasi.
"Saat ini pun sudah ada sejumlah proyek pemerintah yang bekerja sama dengan swasta, seperti Palapa Ring dan pembangkit listrik di Batam," ujar Pakpahan pada diskusi Forum Merdeka Barat 9, Jumat (17/11), bertajuk "Amankah Pembiayaan Infrastruktur Negara?".
Sementara itu, terkait beragamnya skema pembiayaan, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan, hal tersebut baik untuk mempercepat konektivitas transportasi Tanah Air. Budi menuturkan, kebutuhan anggaran sektor transportasi setiap tahunnya dapat mencapai Rp 1.500 triliun. Dari jumlah tersebut, pembiayaan dari APBN per tahun sekitar Rp 250 triliun. "Ada gap antara kebutuhan dan anggaran yang ada sehingga diperlukan kerja sama dengan swasta," ujar Budi.
Budi melanjutkan, Kementerian Perhubungan senantiasa mendorong kerja sama BUMN dan swasta dalam mengelola aset negara di wilayah kerja Kementerian Perhubungan. Kerja sama itu untuk meningkatkan pelayanan, daya saing ekonomi, dan partisipasi modal untuk mengembangkan aset.
Meski begitu, pemerintah memiliki tiga klasifikasi proyek infrastruktur sebelum melakukan kerja sama dengan swasta. Pertama, jika suatu proyek kurang layak secara ekonomi (feasible), akan dibangun menggunakan APBN murni.
Klasifikasi kedua adalah jika proyek di antara layak dan tidak. Untuk kategori ini, proyek pembangunan akan didanai dengan cara kerja sama operasi (KSO) antara pemerintah daerah atau BUMN dan swasta.
Adapun yang terakhir adalah jika proyek itu berpotensi menguntungkan secara ekonomi, yang mana proyek tersebut bisa dikerjakan oleh swasta. Tentunya, untuk pengelolaan aset tersebut, ada jaminan bagi swasta dari pemerintah.
Sejauh ini, lanjut Budi, ada 10 bandara dan 20 pelabuhan yang pengelolaannya bakal ditawarkan pada swasta. Tentunya, bandara dan pelabuhan yang ditawarkan pengelolaannya itu berpotensi menguntungkan secara ekonomi.
Bandara itu antara lain Labuan Bajo, Sentani, Radin Inten, Tarakan, Palu, Sabang, Sibolga, dan Bengkulu. Sementara itu, pelabuhan tersebut antara lain Bitung, Ternate, Manokwari, Kendari, dan Biak.
Kerja sama itu bakal menggunakan skema pengelolaan aset milik negara. Adapun jangka waktu kerja sama operasional terbatas maksimal 30 tahun. Selain itu, semua aset tetap dikuasai negara. Dari kerja sama dengan swasta itu, imbuh Budi, anggaran negara bahkan dapat dihemat hingga Rp 1 triliun. [*]