Tingkatkan Industri Manufaktur Berorientasi Ekspor
Untuk bertransformasi menjadi negara maju, Indonesia memerlukan struktur neraca pembayaran berkualitas yang ditandai surplus neraca transaksi berjalan. Kondisi tersebut salah satunya dapat dicapai melalui penguatan industri manufaktur berorientasi ekspor. Sebagai penopang ekspor manufaktur menengah tinggi teknologi nasional, potensi industri di Batam perlu dimaksimalkan guna mendukung pencapaian surplus transaksi berjalan.
Itulah kesimpulan yang mengemuka dalam Rapat Koordinasi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah (Rakorpusda) dan Bank Indonesia di Batam, Kepulauan Riau, Jumat (13/4). Rakorpusda diinisiasi bersama oleh Gubernur Bank Indonesia dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.
Rakorpusda ke-13 ini dilakukan untuk memperkuat koordinasi antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Bank Indonesia untuk debottlenecking berbagai permasalahan terkait penguatan industri beriorientasi ekspor sekaligus merumuskan upaya konkret yang secara struktural bisa mengatasi permasalahan yang menghambat penguatan industri.
Rapat tersebut dihadiri oleh Dewan Gubernur Bank Indonesia, Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan, Duta Besar Indonesia untuk Singapura, Gubernur Kepulauan Riau, Kepala Badan Pengusahaan (BP) Batam, serta wali kota dan bupati di Provinsi Kepulauan Riau.
Pertumbuhan ekonomi
Gubernur Bank Indonesia Agus DW Martowardojo menuturkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia selama 4 tahun terakhir terus menunjukkan perbaikan. Hal ini salah satunya ditandai dengan inflasi yang terjaga selama 3 tahun terakhir.
Indikasi lain bisa dilihat dari naiknya peringkat Sovereign Credit Rating (SCR) Indonesia dari Baa3/Outlook Positif menjadi Baa2/Outlook Stabil pada 13 April 2018 oleh lembaga pemeringat Moody’s Investor Service (Moody’s).
Agus menyatakan, melalui perbaikan rating ke level Baa2 oleh Moody’s, kini Indonesia telah diakui oleh empat lembaga rating internasional berada pada satu tingkat lebih tinggi dari level Investment Grade sebelumnya. Namun, Agus menyoroti transaksi berjalan Indonesia yang harus terus diperkuat.
Pada 1998–2011, transaksi berjalan Indonesia surplus di angka rata-rata 2,28 persen. Kondisi tersebut banyak dibantu harga komoditas mentah yang pada 2001–2011 mengalami harga yang cukup tinggi di dunia. Namun, sejak 2012 hingga sekarang, neraca berjalan kembali defisit dengan rata-rata ada di angka minus 2,55 persen terhadap GDP. Kondisi ini yang harus diubah menjadi surplus agar Indonesia berkembang menjadi negara maju.
“Negara yang tidak ingin terperangkap di jebakan middle income harus didukung transaksi berjalan yang surplus. Awal yang ingin didorong adalah melalui neraca perdagangan barang yang surplus. Kami yakin produksi manufaktur dengan menggunakan teknologi menengah ke atas akan membuat neraca perdagangan barang surplus dan nantinya membuat stabilitas dan pertumbuhan ekonomi Indonesia jadi lebih baik,” ungkap Agus.
Kesepakatan
Rakorpusda di Batam menyepakati 4 langkah strategis yang akan diwujudkan dalam bentuk kebijakan yang konsisten dan bersinergi. Pertama, yaitu mendorong berkembangnya industri berorientasi ekspor di daerah melalui pemberian kemudahan perizinan dan insentif fiskal.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menuturkan, melihat ekonomi dan perdagangan dunia yang mulai membaik sejak tahun lalu, Pemerintah mulai fokus ke kebijakan ekonomi yang berorientasi ekspor.
Ada beberapa perubahan yang dilakukan. Salah satunya memformulasikan ulang perizinan dalam berusaha agar lebih mudah dan cepat. Hal ini dilakukan melalui percepatan implementasi program Online Single Submission (OSS) yang terintegrasi antara pusat dan daerah.
Pemerintah memberikan insentif fiskal yang mencakup kegiatan ekspansi bisnis, industri pionir, e-commerce, UMKM kawasan industri, kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas, serta Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
Ada juga penyesuaian tarif bahan baku dan barang impor atau mesin yang memberi insentif berkembangnya industri manufaktur, disertai penyederhanaan proses untuk memperoleh lisensi di lokasi industri dan perizinan ekspor dan impor. “Insentif diberikan agar ada semakin banyak kegiatan ekonomi yang datang ke Indonesia. Insentif tersebut berupa tax holiday, tax allowance, dan super deduction,” tambah Darmin.
Kedua, menurunkan biaya logistik industri domestik melalui peningkatan kapasitas dan efisiensi infrastruktur konektivitas. Khusus untuk Kepulauan Riau diperlukan percepatan realisasi rencana pengembangan Pelabuhan Batu Ampar, Tanjung Sauh, dan Terminal Bandara Hang Nadim dan pembangunan instalasi air dan transmisi listrik.
Ketiga, penguatan SDM untuk mendukung penyediaan tenaga kerja dengan skill yang sejalan dengan kebutuhan perkembangan teknologi dan otomasi proses produksi. Hal ini dilakukan melalui penguatan kerja sama antara dunia industri dengan lembaga pendidikan untuk menyediakan pelatihan di lokasi produksi (teaching factory). Disediakan juga insentif berupa super deduction bagi industri unggulan berbasis ekspor yang melakukan research and development dan mengembangkan pendidikan vokasi.
Keempat, perluasan pasar ekspor industri nasional dengan menambah kerja sama perjanjian perdagangan bilateral/multilateral dengan tetap mempertimbangkan kepentingan nasional. Hal ini dilakukan melalui percepatan proses negosiasi perjanjian kerja sama dengan pasar besar antara lain Indonesia-European Union CEPA (Comprehensive Economic Partnership Agreement), RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership), dan Indonesia-Australia CEPA.
“Indonesia harus membuka akses pasar yang besar terutama di pasar-pasar non tradisional. Pasar yang besar itu, yaitu di Afrika, Asia Selatan, dan Asia Tengah. Potensi pasar dari negara-negara tersebut besar sekali,” jelas Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita. [INO]