Jika boleh melakukan penghitungan sederhana, rata-rata sastrawan Indonesia berkarya pada kisaran usia 20-30 tahun. Pada rentang usia tersebut, mereka melakukan penjelajahan ide, pelatihan teknik menulis, pengiriman karya ke media massa, serta mengikuti berbagai lomba dan festival. Dengan cara itulah, legitimasi seseorang sebagai ”sastrawan” diperoleh dan dikukuhkan.
Bersamaan dengan hal itu, mereka juga bergiat di sejumlah komunitas dan jaringan kebudayaan demi memperluas pergaulan, meningkatkan wawasan, dan memperkuat statusnya. Di samping karya, faktor komunitas dan jaringan sering kali ikut menentukan legitimasi seseorang sebagai sastrawan sebab teman-teman satu komunitas dan jaringan itulah yang pertama- tema akan mengakui stastusnya dan membelanya apabila mendapat kritik dari jaringan atau komunitas yang lain.
Pada rentang usia 20-25 tahun, prioritas para sastrawan adalah meningkatkan kapasitas intelektual dan artistik serta menembus publikasi karya di beberapa media massa. Jika ia lolos ”ujian” pada tahap ini, ia akan lebih mudah memasuki tahap berikutnya, yaitu memasuki sejumlah komunitas sastra dan lingkaran sastrawan yang lebih mapan. Umumnya, tahap itu dilakukan sastrawan pada rentang usia 25-30 tahun.
Setelah melewati usia 30 tahun, sebagian sastrawan akan memasuki dunia kerja di institusi-institusi formal, seperti perguruan tinggi, birokrasi pemerintah, industri penerbitan, media massa, lembaga swadaya masyarakat, atau menjadi profesional di perusahaan. Sebagian yang lain memasuki sektor informal, seperti sanggar seni, petani, pedagang, atau pekerja serabutan. Pada rentang usia ini, kualitas dan produktivitas sastrawan mulai menurun. Konsentrasi mereka mulai dibagi dengan aktivitas di lingkungan kerja.
Kompleksitas dan kualitas
Dari paparan di atas dapat dilihat betapa kompleks proses yang harus dilalui seseorang untuk menjadi sastrawan di negeri ini. Kompleksitas tersebut dapat dilihat dari beragamnya kemampuan yang perlu dimiliki dan medan yang harus dilalui, yaitu intelektual, artistik, sosial, dan politis. Setiap variabel tersebut memiliki nilai yang berbeda-beda dalam menentukan status seseorang sebagai sastrawan.
Seseorang yang memiliki kapasitas intelektual dan artistik memadai, tetapi kurang dalam hal publikasi dan jaringan, ia akan mendapat respek dari sesama sastrawan meski biasanya tidak mendapat panggung utama. Sebaliknya, seseorang yang rajin melakukan publikasi dan cakap dalam menembus lingkungan sosial sastra akan mendapat panggung utama meski biasanya kurang mendapat respek dari lingkungannya.
Melihat fenomena tersebut, tidak sedikit orang yang menempuh jalan kedua, yaitu memperbanyak publikasi karya dan membangun jaringan antarkomunitas karena legitimasi yang diperoleh lebih signifikan. Sementara jalan kedua, yaitu pencurahan penuh pada aspek intelektual dan artistik, karena kurang memberi legitimasi sesuai kerja keras yang dilakukan, hanya diusahakan dengan ketekunan secukupnya. Meski demikian, sastrawan mesti melalui dua jalan tersebut secara simultan sejak usia muda dengan mengeluarkan banyak energi dan kemampuan.
Implikasinya, mengingat kompleksitas jalan dan besarnya energi yang dibutuhkan, hanya sedikit sastrawan yang mendapatkan skor bagus di semua variabel, yaitu mumpuni secara intelektual, kualitas artistik yang bagus, publikasi di media-media utama, dan mendapat pengakuan serta respek dari semua komunitas. Dari sudut usia, semakin sedikit pula sastrawan yang semakin bagus karyanya seiring usianya semakin bertambah mengingat energinya telah dihabiskan pada usia muda dan konsentrasinya semakin terbagi oleh keluarga dan pekerjaan seiring bertambahnya usia.
Selain itu, kenyataan bahwa sastra tidak menjanjikan secara ekonomi dengan lebih memberikan ”pendapatan simbolis” berupa legitimasi status sosial dari koleganya telah membuat sastra mengalami brain drain. Pribadi-pribadi yang berbakat di usia muda banyak yang meninggalkan sastra pada usia tua karena harus mencukupi kebutuhan hidup dari bidang lain. Sastra pun lebih diminati orang-orang di usia remaja dan muda: mereka berkarya di usia itu, corak karya yang dihasilkan dan peminatnya pun tidak jauh dari rentang usia yang sama. Karya-karya yang matang, dengan peminat-peminat yang matang, menjadi sedikit dihasilkan.
Perubahan kultural dan struktural
Idealnya, proses yang ditempuh tidak harus sekompleks itu. Pada rentang usia 20-24 tahun, seorang sastrawan melakukan penjelajahan ide dan artistik seluas-luasnya dan sebanyak-banyaknya sebagai bekal berkarya hingga usia 35-50 tahun, yaitu usia ketika seseorang sedang memasuki kematangan secara kepribadian. Selain itu, faktor di luar sastra, seperti politik komunitas dan jaringan, juga perlu dikurangi dengan lebih mengedepankan aspek intelektual dan artistik. Singkatnya, perlu dilakukan meritokrasi di dunia sastra, yaitu sistem yang memberikan posisi kepada seseorang berdasarkan merit atau manfaat yang diberikan atau prestasi yang diraih.
Untuk melakukan meritokrasi di lingkungan sastra, minimal dibutuhkan perubahan kultural dan struktural. Secara kultural, nilai-nilai yang lebih mengedepankan produktivitas dan komunalisme perlu diganti dengan nilai-nilai yang lebih mengedepankan kualitas dan profesionalisme. Dengan kultur tersebut, sastrawan akan berkonsentrasi melahirkan karya berkualitas daripada melakukan penggalangan komunitas dan jaringan yang sudah diurus oleh individu yang secara spesifik mengurusi bidang tersebut.
Sementara secara struktural, perlu dilakukan pembagian kerja yang lebih spesifik. Di lingkungan sastra, seseorang bisa menjadi sastrawan, kritikus, peneliti, redaktur, editor, sekaligus penerbit. Akumulasi profesi tersebut sering tanpa melewati tahap kualifikasi yang seharusnya. Akibatnya, setiap bidang kerja di dunia sastra kurang mendapatkan sumber daya manusia yang dapat diandalkan dan dipertanggungjawabkan, di samping sering terjadi tumpang tindih pekerjaan.
Di samping itu, tradisi generalis yang berlebihan juga membuat dunia sastra rentan konflik kepentingan. Jika sastrawan merasa ”ahli semuanya”, mereka akan bersaing di ”semua bidang keahlian” yang berkaitan dengan sastra. Alih-alih membatasi konflik di bidang tertentu berdasarkan keahlian spesifiknya, dunia sastra justru memperluas konflik di semua arena sehingga lingkungan sastra mengalami involusi atau kompleksitas internal.
Dalam realitas semacam itu, spesifikasi keahlian di satu sisi dapat memaksimalkan kemampuan individu-individu dalam sastra sesuai potensi dan minat khususnya, dan di sisi lain dapat mengurangi konflik kepentingan di lingkungan sastra melalui segmentasi berdasarkan keahlian yang ada. Proses tersebut perlu dicoba dan diuji di semua bidang dan institusi terkait sastra dalam rangka menciptakan lingkungan sastra yang lebih sehat sehingga memudahkan sastrawan melahirkan karya yang lebih bermutu.