logo Kompas.id
Akhir PekanSapardi Menulis Suti
Iklan

Sapardi Menulis Suti

Oleh
Kurnia JR
· 6 menit baca

Novel Suti karya Sapardi Djoko Damono tidak terlalu tebal, hanya 159 halaman format buku saku dan tata letak moderat, huruf- hurufnya tidak terlampau sesak. Di atas sampul hijau itu tertera tulisan "Sebuah Dongeng". Itu seperti kode yang ingin menyiapkan persepsi pembaca untuk memasuki dunia dongeng di sebuah tempat pada suatu masa.Produktivitas Sapardi sebagai penulis tampaknya tidak membatasi dia sebagai penyair belaka. Selain esai, dia juga rajin menulis cerita pendek dan novel. Suti mengingatkan orang yang pernah mendengar pandangan Sapardi tentang karya sastra-katakanlah, teori cerita rekaan yang berpretensi sastra-yang kerap kali dia utarakan pada berbagai kesempatan informal.Tampak jelas bahwa Suti merupakan penerapan keyakinan Sapardi tentang karya sastra: tidak menggurui soal perbuatan baik dan buruk, tidak ada tokoh yang baik melulu atau buruk total, pola hidup baik dan buruk persis. Sastra hanya menyuguhkan para tokoh dalam cerita tanpa penghakiman hitam-putih, jahat-baik. Ada sepercik kebijaksanaan dalam kemesuman, ada ketulusan dalam kejahatan, ada kepolosan dalam kedengkian, ada egoisme dalam perbuatan baik, ada perhitungan yang kritis dalam kedermawanan, dan seterusnya. Manusia tidak hanya hitam atau putih yang berpose beku ala pasfoto.Alkisah, keluarga Sastro, priayi dari Ngadijayan, pindah ke Kampung Tungkal di pinggiran kota Solo pada 1960-an. Di lingkungan perdesaan itulah mereka baru merasakan enaknya tinggal di rumah milik sendiri meski harus hidup tanpa listrik. Walau begitu, toh priayi tetap priayi. Di mata orang kampung, mereka bukan orang sembarangan. Nah, dari cara pandang beginilah ketoprak dimulai. Magnet cerita ambil titik tolak bagi segala konflik dan banyolan, sindiran dan ketakacuhan, kebinalan dan kelumrahan dalam pandangan tipikal orang Jawa pada masa itu yang santrinya adalah "priayi yang abangan". Dalam disertasinya, "Novel Jawa Tahun 1950-an: Telaah Fungsi, Isi, dan Struktur" (1989), Sapardi menyatakan bahwa dunia rekaan dalam novel-novel Jawa kala itu adalah milik kaum priayi yang abangan. Meski priayi dan abangan merupakan dua pengertian dalam kategori yang berbeda, kata Sapardi menukil pandangan para novelis Jawa yang dia kaji, kombinasi antara priayi dan santri itu aneh, sebab kombinasi santri dan wayang itu juga aneh. Padahal, wayang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan kaum priayi. Priayi yang ideal sudah seyogianya menguasai kesenian, dan wayang merupakan bagian penting dari pengetahuannya.Pandangan para novelis Jawa 1950-an yang tampaknya memengaruhi Sapardi dalam teori novelnya itu menghasilkan potret kehidupan priayi yang lebih menarik. Sebagai potret sebuah model budaya, ini adalah narasi fiksi, bukan tesis atau esai ilmiah. Tentu pemilihan perspektif jadi poin yang menentukan bentukan konflik dan jalannya alur cerita yang diharapkan bakal seru dan sedikit menggemaskan. Kalau Anda tidak percaya baca saja petikan narasi dua baris di sampul belakang: "Anakmu itu anak siapa, Sut?" | "Anakku ya anakku, anak siapa lagi?"Sensualitas Sejak awal, novel ini sudah menebar isyarat sensualitas sebagai kewajaran hidup. Diawali dengan celoteh para tokoh di sana-sini, lalu pelukisan tentang kuda-kuda yang dikawinkan, dan pada akhirnya sampai kepada pola hidup liar Pak Sastro, "Prabu Kresno" yang ganteng. Suti, warga setempat yang bekerja sebagai pembantu di rumah itu, pun tak lepas dari godaan sang majikan, tak peduli dia sudah bersuami. Pada suatu ketika, pria paruh baya itu didatangi dan dipukuli orang yang murka karena istrinya dia nodai. Narator cerita sekadar berkomentar datar, "Ia [Suti] tahu, ini bukan ketoprak bukan wayang bukan film, ini tindakan sewenang-wenang atas seorang ksatria yang mungkin telah berbuat keliru dalam hidupnya."Bahkan, ketika akhirnya Suti menghilang dari Tungkal dan beberapa tahun kemudian muncul kembali bersama seorang anak perempuan, Bu Sastro maklum tanpa bicara bahwa itu anak suaminya sendiri. Bahkan, seperti dikhususkan adegan ini: di makam sang suami, Bu Sastro mencium anak itu. Lagi-lagi, narator muncul dengan suara konsisten: "Saat itulah Suti seperti mendengar suara [Bu Sastro], Bapak telah memenuhi janjinya memberiku anak perempuan."Para perempuan di dalam novel ini memiliki jiwa seluas samudra memaklumi keliaran fantasi lelaki. Di samping encernya bahasa yang seharusnya mengemban kekuatan penyair seunggul Sapardi Djoko Damono, novel ini berjalan lancar belaka. Suasana Surakarta yang khas tidak berhasil terukir menjadi lukisan yang hidup meski Sapardi berusaha menebar detail pada latarnya, di dalam monolog ataupun dialog. Dalam hal penciptaan suasana Surakarta tempo dulu yang semestinya penuh pesona berwarna sepia, justru Sapardi kurang unggul kalau dibandingkan dengan apa yang dicapai Sugiarta Sriwibawa dengan cerpen panjangnya yang mengesankan, "Awan-awan Senja". Cerpen itu juga berlatar kota Solo masa silam. Dalam kesederhanaan gaya, Sugiarta tak mengumbar terlalu banyak kosakata dan ungkapan Jawa sebagaimana yang dilakukan Sapardi dalam Suti. Boleh jadi, kelebihan Sugiarta untuk mengajak pembaca memasuki suasana latar ceritanya secara utuh adalah penguasaannya yang relatif baik tentang spiritualitas para tokoh yang khas Jawa sehingga pelukisannya kuat.Kita maklum, cerpen Sugiarta menyelinap ke itikad pelukisan mistik kejiwaan para tokohnya. Sementara Sapardi rupanya lebih nyaman berseliweran di permukaan tanahnya. Antara lain, dia bergurau tentang sebuah makam yang dikeramatkan orang kampung, padahal boleh jadi orang yang dimakamkan di situ sebetulnya orang biasa saja, bukan tokoh mistik atau pemuka rohani yang memiliki keramat tertentu. Kembali ke pengaruh para novelis Jawa 1950-an, Sapardi rupanya juga berlaku pendeta.Dalam disertasinya, Sapardi merumuskan bahwa novelis Jawa ambil peranan ganda. Bukan cuma penghibur, melainkan juga nabi atau pendeta yang memimpin khalayak. Sang penulis harus menciptakan karya bertendens, kritis terhadap keadaan masyarakat yang dianggap tidak beres semacam takhayul, kebodohan, fanatisisme beragama. Di sini Sapardi memang tidak secara banal mengecam atau kepingin mengatur-atur orang Jawa yang lumrah mengeramatkan situs tua semacam kuburan. Dia sekadar melemparkan banyolan dengan skeptisisme yang khas. Perbedaan kecenderungan itu tidak berarti kelemahan. Boleh jadi, Sapardi telah menentukan sikap bahwa ceritanya membawa amanat universal yang kebetulan berlatar masa dan tempat yang sangat dia kenal, yang pernah menjadi bagian dari masa kecilnya. Dalam cara atau gaya penyampaian, tampak bahwa dia sengaja untuk tidak bertendensi menyusun tata kalimat yang kental padat. Sebaliknya, gaya bahasa dan dialog dalam novel ini cenderung santai, ngepop, seperti mengajak pembaca agar jangan terlalu banyak pikiran. Jadi, nikmati saja cerita ini, toh hanya sebuah dongeng. Enteng saja bawaannya. Gaya prosa ini beda dengan arus yang sedang menghanyutkan banyak penulis generasi masa kini-bahkan dalam novel-novel pop dengan aura romantis berdenyut berpendaran-yang dengan serius menata klausa-klausa mereka agar "nancep ke hati". Boleh saja diduga bahwa Sapardi berbuat demikian karena dia sadar betul akan kepenyairannya. Di alam bawah sadar sejak awal agaknya dia menegaskan pada dirinya sendiri bahwa di sini dia sedang berperan sebagai novelis, bukan penyair yang lumrah bergaya dengan sintaksis. Tesis formalnya, dia ingin keluar dari bingkai tatanan ujaran puitis. Di titik ini, terjadi persinggungan dengan puitika Goenawan Mohamad. Pembaca Goenawan yang setia tentu kenal bagaimana aksen puisinya dan bagaimana logat prosanya. Tidak terlalu sulit untuk menyebutkan sepintas lalu bahwa kedua bentuk tersebut mengusung gaya serupa. Bedanya mungkin dalam hal kepadatan makna. Di dalam puisinya makna dipadatkan dengan sedikit kata, sedangkan pada prosanya makna ditebar merata. Bayangkan bibit tanaman yang disemai pada sepetak tanah. Keseluruhan bidang harus mendapatkan bagian sama rata. Bibit tidak ditumpuk di satu bagian saja. Jejak makna dimulai pada kata pembuka dan baru utuh di ujung tulisan.Lain halnya dengan Sapardi. Dalam Suti, dia bercerita sebagaimana dia bercerita dalam suatu obrolan santai dengan teman duduk. Yang penting cerita sampai kepada sang teman-dalam konteks novel ini, cerita disampaikan tanpa verbalisme yang dipatut-patutkan dengan takzim. Tidak ada problem apa-apa jika novel ini ditinjau dari niat sederhana pengarangnya bahwa ini tidak lebih dari dongeng. Sekadar pengisi waktu yang mudah-mudahan bermanfaat. Maka dari itu, pembaca tidak usah mengharapkan yang muluk-muluk, lebih dari kenikmatan sebuah cerita tentang kehidupan manusia di suatu tempat pada suatu ketika.

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000