”...Kami Juga Ada...”
Judul itu adalah seruan kelompok minoritas di berbagai penjuru dunia. Karena jumlah yang kecil atau tidak memiliki sumber daya ekonomi dan politik yang kuat, kaum minoritas cenderung terpinggirkan. Sering kali, mereka tidak diajak berunding dalam pembuatan kebijakan politis. Akibatnya, mereka terpaksa harus mengalah ketika ada kebijakan yang secara langsung merugikan.
Di sejumlah tempat, kaum minoritas juga menjadi kambing hitam. Mereka dianggap sebagai penyebab dari krisis yang sedang terjadi. Akibatnya, mereka menjadi korban kekerasan. Setelah kekerasan selesai, kerap kali, tidak ada proses yang dilakukan untuk memberikan keadilan bagi mereka.
Di dalam politik penaklukan, kaum minoritas sering kali digunakan untuk menunjang kebijakan adu domba. Negara-negara kolonial, seperti Belanda, Inggris, dan Spanyol, menggunakan taktik adu domba ini untuk menjajah selama ratusan tahun. Tanpa proses rekonsiliasi dan pemenuhan rasa keadilan, kaum minoritas yang tertindas akan mengalami trauma kolektif. Jika dibiarkan, trauma kolektif akan menciptakan peluang konflik dengan pola yang sama di masa depan.
Buku Redem Kono ini adalah sebuah tanggapan atas ketidakadilan tersebut. Dengan berpijak pada pemikiran Will Kymlicka, Redem Kono menawarkan kemungkinan jalan keluar atas penindasan terhadap berbagai kelompok minoritas, terutama di Indonesia.
Pemikiran Kymlicka
Ada empat hal penting yang patut diperhatikan. Pertama, Redem Kono menempatkan pemikiran Kymlicka dalam perdebatan di dalam filsafat politik antara liberalisme dan komunitarianisme. Liberalisme, secara umum, menekankan pentingnya kebebasan individu di hadapan negara dan berbagai institusi sosial lainnya. Sementara komunitarianisme melihat keterkaitan antara individu dan komunitasnya yang tak pernah bisa diabaikan begitu saja. Kymlicka adalah seorang pemikir yang berkembang dari tradisi filsafat Kanada yang amat kental dengan nuansa komunitarianisme dan multikulturalisme. Pemikiran Will Kymlicka, menurut Redem Kono, hendak memberikan jawaban atas perdebatan tersebut.
Kedua, salah satu konsep penting Kymlicka adalah konsep ”budaya kemasyarakatan” (societal culture). Ini adalah konsep untuk menjelaskan keberadaan suatu kelompok yang memiliki sejarah, tata nilai, dan institusi tertentu yang mengatur kehidupan bersama mereka. Bagi Kymlicka, ”budaya kemasyarakatan” adalah tempat pembentukan jati diri dan kebebasan manusia. Masyarakat plural memiliki beragam kelompok yang mempunyai ”budaya kemasyarakatan” masing-masing. Kaum minoritas perlu menyadari dan mengembangkan ”budaya kemasyarakatan” mereka. Negara dan hukum juga perlu menjamin bahwa semua ”budaya kemasyarakatan” yang ada bisa berkembang selayaknya.
Tiga, Redem Kono menegaskan pentingnya pemahaman dan penerapan konsep hak asasi manusia (HAM) dalam kehidupan kaum minoritas. Tujuannya, supaya hak-hak minoritas terpenuhi dalam konteks keadilan, kesetaraan, dan penghormatan terhadap martabat manusia. Tentu saja, muncul diskusi tentang universalitas HAM. Asal dicermati dan diterapkan dengan sikap kritis dan kejernihan, HAM merupakan pedoman yang amat baik untuk memerangi ketidakadilan, dan mengurangi penderitaan. Penolakan terhadap sisi universal HAM sering kali menutupi niat tertentu untuk menindas orang lain. Niat tersembunyi semacam ini yang perlu untuk terus ditanggapi secara kritis.
Empat, kesadaran akan hak-hak minoritas juga perlu diajarkan melalui sistem pendidikan yang resmi. Dalam hal ini, peran mata pelajaran atau mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan amatlah penting. Salah satu hal terpenting yang mesti diperhatikan di dalam Pendidikan Kewarganegaraan adalah pendidikan otonomi diri atau kemampuan pribadi orang untuk berpikir dan membuat keputusan bagi dirinya sendiri dengan mempertimbangkan keadaan sekitar. Jika terbiasa berpikir dan bertindak secara otonom, orang akan memiliki keberanian untuk memperjuangkan hak-haknya sebagai manusia, ataupun hak-hak orang lain yang tertindas. Namun, Pendidikan Kewarganegaraan juga mesti menanamkan nilai-nilai kecintaan pada bangsa. Ia tidak boleh hanya mengajarkan kecintaan ataupun kesetiaan pada ”budaya kemasyarakatan” tertentu.
Catatan kritis
Buku Redem Kono ini menjadi istimewa karena ia tidak hanya menjabarkan teori-teori filsafat politik yang terkait dengan hak-hak minoritas, tetapi juga menunjukkan arti pentingnya teori-teori tersebut di Indonesia. Meski demikian, ada tiga catatan kritis yang bisa diberikan.
Pertama, pemikiran Kymlicka, menurut saya, gagal memberikan terobosan di dalam diskusi tentang hak-hak minoritas. Tidak ada terobosan teoritik ataupun praksis yang mencerahkan dari pemikirannya. Ada dua kemungkinan. Bisa jadi benar, bahwa Kymlicka gagal menawarkan terobosan cemerlang atau Redem Kono gagal menunjukkan terobosan tersebut di dalam bukunya.
Kedua, buku ini sering terjebak pada perdebatan yang amat rumit tentang liberalisme, komunitarianisme, dan multikulturalisme. Perdebatan ini begitu halus, bagaikan memisahkan benang tipis. Apakah ini sungguh diperlukan? Kemungkinannya adalah penjelasan berlebihan atas perdebatan yang rumit ini justru menciptakan kebingungan baru.
Tiga, kesan akademik amat kuat di buku ini, bagaikan menerbitkan karangan ilmiah yang sejatinya ditujukan sebagai ujian akhir mata kuliah tertentu. Perlu usaha lebih jauh untuk membuat buku ini menjadi lebih enak dibaca oleh masyarakat luas. Beberapa kalimat juga tidak menunjukkan logika yang jelas. Penggunaan kata serapan juga amat sering, dan kerap kali tidak dijelaskan terlebih dahulu maksudnya.
Suara kaum minoritas, sejatinya, adalah suara kita semua. Di hadapan alam semesta yang luas, tidak ada kaum minoritas, dan tidak ada kaum mayoritas. Konsep kategori minoritas dan mayoritas adalah ciptaan pikiran manusia yang tidak mengerti hakikat dari kenyataan sebagaimana adanya. Terlebih, kedua konsep itu kerap digunakan untuk membenarkan penindasan dan sikap tidak adil lainnya.
Jika konsep minoritas dan mayoritas dilampaui, hakikat semua makhluk yang hidup ini akan langsung terlihat, yakni sebagai warga negara semesta. Sayang, buku Redem Kono, dan juga pemikiran Kymlicka, belum menyentuh hal yang amat mendasar dan penting ini.