Mutan Jawa Melintas di New York
Saya berkesempatan menyaksikan pementasan mereka di New York City (NYC) pada hari yang terakhir. Pementasan beberapa waktu lalu itu merupakan yang paling ramai ditonton dibandingkan dengan dua pementasan sebelumnya. Penampilan para aktor sangat mengalir dan tidak tampak jetlag walau baru tiba di NYC dua hari sebelum pentas pertama dilakukan. Apalagi, seluruh aktor dan penampil juga harus merangkap sebagai juru teknis persiapan pementasan.
God Bliss, yang ditulis dan disutradarai oleh Gunawan Maryanto, bercerita tentang kedatangan Islam di Jawa pada abad ke-15. Diawali adegan selamatan di mana masyarakat guyub dan makan bersama, lalu terjadilah peperangan antara bala tentara Kerajaan Majapahit, yang hampir runtuh dan kebanyakan menganut agama Hindu, dan Kerajaan Demak yang menganut agama Islam.
Pada masa itu, terdapatlah seorang pemuda yang bernama Sahid. Ia gemar menolong masyarakat miskin dengan membagikan harta hasil curian dari orang berpunya. Karena merasa sebenarnya Sahid berjiwa mulia, orang-orang di desa memanggilnya Maling Aguna. Dalam satu upaya pencurian, Sahid terlibat perkelahian dengan salah seorang pemilik harta yang akan dicurinya dan berakhir dengan kekalahan bagi Sahid.
Kekalahan tersebut justru membuat Sahid ingin berguru kepada si empunya harta tersebut yang ternyata adalah Sunan Bonang. Oleh Sunan Bonang, Sahid diberi tugas bermeditasi dan menjaga barang yang hendak dia curi, yaitu sebuah tongkat emas. Dalam meditasi tersebut, Sahid mendapat panggilan untuk memeluk agama Islam dan kemudian orang-orang memanggilnya Sunan Kalijogo. Selanjutnya, Sunan Kalijogo menyebarkan agama Islam di penjuru tanah Jawa melalui pendekatan kultural dan seni.
Yang membuat pementasan wayang ini ”bocor” adalah elemen penting pementasan, seperti wayang, kostum, topeng, bordir, dan dekorasi panggung, semuanya berkarakter karya Eko Nugroho, yaitu tokoh yang ganjil dan kadang menyerupai mutan. Selain itu, tata cahaya yang biasanya hanya menggunakan satu lampu, kali ini seperti layaknya pertunjukan teater, menggunakan banyak lampu sesuai dengan kebutuhan cerita.
Musik yang dalam pementasan wayang biasa dimainkan dan dinyanyikan secara langsung oleh para panjak (pemain musik) dan pesinden, digantikan dengan musik digital gubahan Ari Wulu yang banyak menggunakan sampling gamelan dan mengaduknya dengan entakan hip-hop dan disko koplo seperti layaknya lagu-lagu pop Jawa yang sedang mewabah sekarang ini.
Cepat selesai
Bagi penonton yang terbiasa menonton pementasan wayang konvensional yang berdurasi panjang, pementasan wayang bocor yang berdurasi satu jam tentu saja terasa sangat pendek. Penambahan durasi pementasan tentu saja akan menimbulkan konsekuensi dalam banyak hal, salah satunya meningkatnya biaya pementasan, sehingga pilihan durasi satu jam adalah yang paling memungkinkan untuk dilakukan. Namun, akibatnya, jalinan cerita yang dibangun sepertinya terlalu cepat selesai.
Penggunaan alih bahasa berupa teks yang ditampilkan di layar untuk mendukung pementasan, sayangnya kadang hilang dari layar dan tidak sesuai dengan apa yang secara spontan diucapkan oleh para aktor. Hal ini, menurut saya, mempersulit penonton untuk mengerti jalan cerita pementasan. Bukan hanya bagi penonton yang tidak mengerti bahasa Indonesia, tetapi juga bagi yang mengerti. Sebab, selayaknya pertunjukan wayang, sang dalang (Catur Kuncoro) dan narator secara bergantian menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa halus sehingga bagi penonton yang tidak akrab dan mengerti bahasa itu akan sangat mengandalkan keberadaan dan kelengkapan alih bahasa tersebut.
Di luar keterbatasan tadi, pementasan wayang bocor dibutuhkan oleh kita untuk melihat kembali bagaimana kelenturan ajaran Islam dalam menyikapi kebudayaan yang tumbuh dalam suatu masyarakat. Indonesia menjadi negara dengan pemeluk Islam terbanyak di dunia, salah satunya berkat penyebaran Islam melalui pendekatan kebudayaan, seperti melalui wayang dan tembang.
Buat saya, pementasan ini juga bisa dianggap sebagai jawaban atas beredarnya spanduk pelarangan pertunjukan wayang kulit karena dianggap bukan bagian dari syariat Islam baru-baru ini. Penyangkalan terhadap wayang adalah penyangkalan terhadap keberhasilan Wali Songo dalam menyebarkan Islam di Indonesia.
Selain itu, melalui pendekatan kontemporer dan kekinian, wayang bocor bisa menjadi tontonan alternatif dan pintu masuk bagi kita untuk lebih mengenal wayang kontemporer itu sendiri dan wayang konvensional yang makin hari makin jarang kita jumpai.
Oleh karena itu, saya rasa pementasan wayang bocor sangat layak untuk lebih banyak dipertontonkan kepada masyarakat luas untuk memberi argumentasi bantahan kepada kaum fundamentalis bahwa Islam yang moderat dan tidak abai terhadap kebudayaanlah yang membuat Indonesia menjadi lahan subur bagi persemaian Islam selama ini. Dan, identitas kebanyakan pemeluk Islam di Indonesia itu bukanlah Islam yang anti akan berbagai macam hal baru, yang mungkin belum ada pada masa-masa awal Islam berkembang.
Pementasan wayang bocor ini mengingatkan kembali akan kekayaan itu.