Pengabaian hak minoritas menjadi isu penting dalam negara yang menganut sistem pemerintahan demokrasi. Berbagai problem multikulturalisme tersebut tecermin dalam buku Hak Minoritas: Ethnos, Demos, dan Batas-batas Multikulturalisme (Yayasan Interseksi, 2009). Kumpulan tulisan hasil kajian sosial budaya di beberapa masyarakat adat di Tanah Air memaksa kita berhenti sejenak dari laju pembangunan nasional dan modernisasi, untuk sudi menengok problem yang dihadapi masyarakat adat sebagai kelompok minoritas. Memberi perhatian kepada mereka yang tertinggal, terasing, atau nomaden, atau secara represif menjadi korban pembangunan.
Buku ini berisi laporan penelitian kritis pada Komunitas Dayak Tidung dan Dayak Agabag (Kaltim), Komunitas Orang Sakai (Riau), Komunitas Kampung Naga (Jawa Barat), dan Komunitas Agama Buddha (Lombok). Dari sini, suara-suara kelompok-kelompok minoritas digaungkan agar didengar para pemangku kekuasaan. (DRA/LITBANG ”KOMPAS”)
Narasi Peminggiran Kelompok Minoritas
Slogan Bhinneka Tunggal Ika adalah refleksi atas adanya kesadaran para pendiri bangsa bahwa keragaman etnik sebagai aset kekayaan budaya yang mendukung kesatuan negara. Sayangnya, pada era berikutnya, Tunggal Ika, sering dimaknai sebagai usaha penyeragaman atau penyatuan, daripada memberi ruang atau merayakan kebebasan bagi keberagamannya. Ekspresi identitas etnik dikebiri melalui kebijakan pemerintah masa itu melalui kebijakan dan program pembangunan yang menekankan uniformitas.
Kelompok-kelompok minoritas sering mengalami paksaan untuk meleburkan identitas partikularnya ke dalam kelompok yang lebih dominan melalui asimilasi kultural. Disebutkan dalam buku Hak Minoritas: Multikulturalisme dan Dilema Negara Bangsa (Yayasan Interseksi, 2007), pemaksaan untuk menganut agama dan/atau tata cara peribadatan kelompok mayoritas merupakan salah satu bagian dari rezim asimilasi ini. Hal itu diperparah dengan pertumbuhan populasi dan modernisasi yang membuat persaingan antarkelompok meluber ke ruang-ruang fisik. Perebutan ruang itu tak urung menegaskan batas-batas fisik primordialitas di antara kelompok yang berbeda-beda, terutama bila menyangkut pendirian bangunan-bangunan yang diyakini menjadi simbol religius kelompok. Di sisi lain, kebijakan pemerintah sering kali diatur oleh kalkulasi kekuatan bercorak maskulin yang mengukur sah-tidaknya atau baik-buruknya kebijakan dinilai dari sedikit-banyaknya dukungan massa.
Buku ini merupakan hasil penelitian kritis yang dilakukan pada Komunitas Tolotang (Sulawesi Selatan), Komunitas Parmalim (Sumatera Utara), Komunitas Tengger (Jawa Timur), dan Komunitas Ahmadiyah di Ciparay (Jawa Barat). (DRA/LITBANG ”KOMPAS”)
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.