logo Kompas.id
Akhir PekanTuberkulosis Kelenjar
Iklan

Tuberkulosis Kelenjar

Oleh
DR SAMSURIDJAL DJAUZI
· 6 menit baca

Suami saya mengalami pembengkakan pada leher. Sebenarnya dia tak merasakan keluhan, baik demam maupun pengurangan nafsu makan. Saya khawatir pembengkakan di leher tersebut akibat kanker. Karena itu, saya mengajaknya berkonsultasi ke dokter spesialis penyakit dalam. Dokter memeriksa dengan teliti serta menganjurkan pemeriksaan foto dada, laboratorium, dan ultrasonografi. Kesimpulan dokter kemungkinan suami saya menderita penyakit infeksi dan kemungkinan yang cukup besar adalah tuberkulosis kelenjar. Untuk mendukung diagnosis tersebut, dokter menganjurkan biopsi dengan jarum. Kami menyetujuinya, dan hasil patologi, menurut dokter, mendukung diagnosis tuberkulosis kelenjar. Terus terang saya ragu. Pertama, di keluarga saya tak ada yang menderita tuberkulosis. Kedua, gizi suami saya sehat, karena setahu saya tuberkulosis biasanya dijumpai pada keluarga yang kurang mampu. Saya juga agak malu jika teman-teman tahu suami saya terjangkit tuberkulosis. Apakah tuberkulosis dapat mengenai keluarga mampu yang gizinya berkecukupan? Dari mana sumber kuman tuberkulosis itu? Apakah pengobatan tuberkulosis sekarang sudah memberikan hasil yang baik? Saya ingat tetangga saya sekitar 10 tahun yang lalu mengalami kelainan paru hebat karena tuberkulosis. Paru-parunya bernanah dan harus dikeluarkan melalui jarum yang cukup besar. Lama baru dia dapat pulih kembali, sekarang pun, menurut dia, fungsi parunya belum kembali normal. Mana yang lebih berbahaya, tuberkulosis paru atau tuberkulosis kelenjar? Apakah pengobatannya sama, dan berapa lama pengobatan tersebut harus dijalani? Untuk pencegahan di keluarga, apa yang harus saya lakukan? Apakah saya dan kedua anak saya juga harus memeriksakan diri untuk kemungkinan penularan penyakit ini? Bagaimana mencegah penularan penyakit ini di rumah, di kantor, atau di tempat umum? Benarkah mereka yang menderita AIDS lebih sering menderita tuberkulosis paru? Terima kasih atas penjelasan dokter. J di B Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit yang sering dijumpai di negeri kita. Angka kekerapan TB pada tahun 1990 mencapai 443 per 100.000 penduduk. Berkat komitmen pemerintah, pengorganisasian yang lebih baik, serta pemahaman masyarakat, diharapkan angka ini dapat diturunkan separuhnya dalam waktu dekat ini. Infeksi TB memang lebih sering dijumpai pada kelompok berpenghasilan rendah, tetapi bukan berarti orang yang berpenghasilan tinggi tak mungkin terinfeksi TB. Kita, di Indonesia, pada umumnya sudah terpapar kuman TB sewaktu kecil. Kuman tersebut masuk ke paru-paru kita. Jika keadaan kekebalan tubuh kita baik, kuman akan dapat dikendalikan badan kita sehingga kita tak menderita sakit. Namun, jika kekebalan tubuh menurun, kuman yang sudah tidak aktif tersebut dapat menjadi aktif serta menimbulkan gejala. Memang benar, pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA), risiko terkena TB meningkat. Kuman yang masuk ke paru-paru selain dapat menimbulkan kelainan pada paru juga dapat menjalar ke luar paru, seperti ke kelenjar limfe, baik di sekitar leher maupun kelenjar limfe di tempat lain. Kelenjar limfe yang terinfeksi akan meradang sehingga membengkak, dan jika ditekan mungkin akan nyeri. Biasanya kelenjar limfe yang terinfeksi tidak hanya satu, tetapi cukup banyak. Seseorang dapat saja terkena infeksi TB paru disertai TB kelenjar, tetapi dapat juga terkena TB kelenjar tapi paru-parunya bersih. Pengobatan TB sekarang ini menjanjikan hasil yang amat baik. Jika penderita minum obat teratur sampai selesai pengobatan, biasanya TB akan sembuh. Namun, acap kali terjadi pasien menghentikan pengobatan karena merasa sudah baik sehingga putus pengobatan. Pemerintah menyadari seringnya kejadian putus obat sehingga memberikan perhatian penuh dengan menjalankan strategi DOTS (Directly Observed Treatment, Short-course) untuk mencegah putus obat. Terapi TB tidak hanya menguntungkan bagi penderita, tetapi juga dapat menurunkan risiko penularan. Dengan terapi TB, dahak yang mengandung kuman TB tidak akan mengandung kuman lagi sehingga risiko penularan kepada lingkungan akan menurun. Tuberkulosis menular melalui butiran ludah di udara yang mengandung kuman TB. Seseorang yang kemasukan kuman TB karena terhirup butiran ludah tersebut belum tentu akan menderita TB. Karena sudah pernah terpapar sewaktu anak-anak, umumnya orang Indonesia mempunyai kekebalan cukup yang akan dapat mencegah timbulnya penyakit. Upaya untuk mencegah penularan TB adalah menerapkan etika batuk bagi penderita yang mempunyai gejala batuk. Penderita jika batuk hendaknya menutup mulut dan hidungnya dengan sapu tangan atau tisu sehingga butiran ludahnya tidak beterbangan. Selain itu, semua orang yang mengalami batuk selama dua minggu atau lebih sebaiknya memeriksakan diri ke dokter. Sementara, anggota keluarga serta teman-teman di sekitar penderita TB dapat menurunkan risiko penularan degan cara mengamalkan gaya hidup sehat, yaitu makan makanan yang bergizi, berolahraga, serta hidup dalam lingkungan yang bersih. Pengobatan TB paru pada umumnya 6 bulan, sedangkan pengobatan TB luar paru umumnya menggunakan obat yang sama dengan TB paru, tetapi lama terapi mungkin lebih panjang. Hal ini dapat ditanyakan kepada dokter yang mengobati, karena dia yang memahami keparahan TB yang diderita. Dalam program penanggulangan TB dikenal angka kesembuhan dan angka keberhasilan pengobatan. Angka kesembuhan adalah angka yang menunjukkan persentase pasien baru TB paru terkonfirmasi yang sembuh setelah selesai pengobatan, sedangkan angka keberhasilan pengobatan adalah angka yang menunjukkan persentase pasien baru TB paru yang terkonfirmasi bakteriologis yang menyelesaikan pengobatan. Secara nasional, angka keberhasilan pengobatan kita 84 persen, angka keberhasilan pengobatan tertinggi dilaporkan di Sulawesi Utara sebesar 93 persen. Meski belum banyak, di negeri kita mulai ditemukan resistensi obat terhadap rifampisin dan isoniazid secara bersamaan. Keadaan ini disebut juga TB multiple drug resistance (MDR). Dari tahun ke tahun, jumlah kasus TB MDR di negeri kita meningkat sehingga kita perlu waspada, karena TB MDR ini tak dapat disembuhkan dengan obat TB yang biasa digunakan. Beberapa rumah sakit di Indonesia sudah dilengkapi peralatan laboratorium untuk mendeteksi TB MDR. Sudah tentu pasien TB MDR di samping perlu diobati, segera juga harus dicegah agar tidak menularkan kepada orang lain. Jika seorang anggota keluarga terdiagnosis TB, ada baiknya anggota keluarga lain memeriksakan diri juga. Jika ditemukan lebih awal, penyakit TB lebih mudah dipulihkan dibandingkan jika sudah ada komplikasi. Kita tak perlu merasa malu menderita TB, karena penyakit ini merupakan penyakit infeksi yang biasa dijumpai dan relatif mudah disembuhkan. Nah, saya berharap suami Anda akan dapat menjalani terapi TB kelenjarnya dengan baik. Jangan lupa minum obat secara teratur serta konsumsi obat sampai masa pengobatan selesai. Anda sebagai istri dapat membantu mengingatkan suami Anda agar jangan lupa minum obat tuberkulosisnya. Kontrol secara teratur ke dokter, dan jika ada perasaan atau gejala yang tak diinginkan akibat minum obat TB, jangan khawatir, laporkan ke dokter Anda. Jika gejala tersebut memang akibat obat TB, dokter akan dapat mengatasinya, jika perlu menggantinya. Jangan menghentikan minum obat sendiri tanpa melapor ke dokter serta membiarkan diri tidak minum obat. Tuberkulosis yang tidak diobati, termasuk TB kelenjar, akan bertambah parah dan mungkin menimbulkan komplikasi yang tak diharapkan.

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000