logo Kompas.id
Akhir Pekan118 Monolog Putu Wijaya
Iklan

118 Monolog Putu Wijaya

Oleh
Jakob Sumardjo Peneliti Kebudayaan; Tinggal di Bandung
· 4 menit baca

Jakob SumardjoJohn Steinbeck, sastrawan Amerika pemenang Hadiah Nobel Sastra tahun 1962, pernah berlibur di Bali. Dalam wawancaranya dengan majalah sastra Horison, Steinbeck, antara lain, menyatakan bahwa di Bali semua barang dapat dijadikan seni. Dengan kata lain, seni Bali bertolak dari apa yang ada, persis konsep seni Putu Wijaya.Konsep ini dapat dijelaskan panjang lebar, meluas, dan mendalam dalam karya-karya seni Putu Wijaya, baik kerja teaternya, lakon-lakonnya, fiksinya, dan jangan-jangan juga lukisan-lukisannya. Dalam bukunya ini, 100 Monolog, cerpen dapat dijadikan monolog dan monolog dijadikan cerpen. Bukan hanya soal bentuk, tetapi juga teknik. "Karena setiap kesalahan selalu saya posisikan sebagai peluang/berkah berbuat lain. Dengan cara berpikir begitu, kesalahan tak membuat panik. Kesalahan tak perlu diperbaiki. Justru ditegaskan sebagai kesalahan dan ini selalu membuat penonton tertawa senang," begitu Catatan Kaki Putu.Lebih mendasar dari itu adalah soal nilai. Pegangan Putu adalah kearifan lokal Bali, desa-kala-patra. Bahwa setiap nilai tergantung dari tempat dan waktunya. Tidak ada nilai tanpa konteks. Sesuatu dapat dinilai benar di sana, tetapi salah untuk di sini. Benar pada masa lalu, tak benar lagi pada masa sekarang. Dengan demikian, nilai universal-obyektif itu tidak ada. Dalam masyarakat Jawa atau Bali, ada ungkapan yang berbunyi: tidak ada yang salah dalam kontradiksi nilai. Semua itu tergantung dari tempat di mana seseorang menilai realitas.Pandangan demikian itu asing bagi manusia modern. Dalam setiap kontradiksi nilai, seseorang memilih dan menentukan mana yang benar dan mana yang salah. Itulah sebabnya manusia modern menyebutnya sebagai ambigu, paradoks, yang jelas-jelas tidak dibenarkan. Putu Wijaya cukup hati-hati dalam membahas ambigu nilai dengan konsep desa-kala-patranya. Itulah yang pernah saya sebut sebagai metode pembalikan dalam berbagai karya sastranya.Dalam monolog Anjing dalam buku ini, Putu menggambarkan tokoh anjing yang diikat majikannya dan hanya dapat melolongkan penderitaan ketidakbebasannya. Anjing memprotes ketidakadilan manusia ini. Ketika doanya dikabulkan ia menjadi manusia, maka disadari bahwa tindakan tidak adil manusia itu ternyata membawa dampak yang baik bagi anjing juga. Kebaikan penguasa dipandang kejahatan bagi yang dikuasai. Kebenaran hanya dapat ditemui ketika anjing menjadi manusia dan manusia menjadi anjing.Monolog Ah juga memasang dualitas dokter (modern) dan dukun (tradisional) di pedalaman Kalimantan. Pada mulanya dokter memecahkan kontradiksi cara berpikir ini dengan memasuki  cara berpikir dukun tradisional, dan berhasil. Namun, keberhasilan dokter justru dinilai kesalahan fatal seorang dokter oleh para pejabat Jakarta. Dokter itu dimutasi karena telah berpraktik sebagai dokter-dukun.Konsep dasar kebenaran paradoks ini adalah paham teologis masyarakat Indonesia yang pada masa lampau menganut agama Hindu-Buddha, yaitu konsep "ana tan ana", "kosong dan isi", adanya "ada" serta adanya "bukan-ada". Sebagai keturunan bangsawan Bali, Putu Wijaya tentu sangat mengenal konsep ini. Ia mempraktikkan konsep ini dengan tidak harus berbicara tentang masyarakat Bali. Justru ia membongkar kehidupan modern kontemporer Indonesia dengan kearifan lokalnya ini.Putu Wijaya menawarkan kearifan lokal pra-modern ini untuk memahami dan memecahkan masalah-masalah modern kita. Beberapa monolog ditulis tahun 1980-an ketika dunia Barat sedang gandrung post-modernisme yang kontradiksi dengan modernitas. Pra-modern yang kontradiksi dengan modern, dan port-modern yang kontradiksi dengan modern, jangan-jangan Putu Wijaya salah satu perintis post-modern yang kita miliki.Dalam "Catatan Kaki" pada akhir buku ini, Putu Wijaya mengakui dirinya sebagai "malas, tidak cermat, tidak banyak membaca, tak pernah riset", dan "lebih bersandar pada rasa, emosi dan intuisi". Putu Wijaya lebih mengandalkan pada kedalaman pengalaman lokal dan kontemporernya. Keambiguan dan paradoks hanya dapat dikuasai oleh mereka yang berkemampuan memasuki kebenaran-kebenaran kontradiktif, dari mana pun asalnya. Putu yang dibesarkan dalam kearifan lokal Bali yang ana tan ana, kosong-isi, isi-kosong, desa-kala-patra, membuat dirinya bebas dari ketegangan kontradiksi nilai manusia modern karena memiliki sikap toleransi yang tinggi.HumorisSikap humorisnya yang menyelinap di setiap karyanya menunjukkan dirinya sebagai tokoh punakawan Bali, Tualen alias Semar dalam wayang Jawa. Semar sebenarnya Batara Ismaya kembaran Batara Guru, tetapi ia memilih hidup sebagai hamba sahaya manusia. Orang semacam ini hanya ketawa saja menyaksikan pertengkaran sengit manusia dalam pertentangan kebenaran.Dibaca secara permukaan, karya sastra ataupun teater Putu tampak keras, kasar, ganas, teror, kadang kejam, tetapi inti persoalan yang digarapnya penuh pemahaman, kejujuran, kesederhanaan pola ambigu dalam menyelesaikan kontradiksi-kontradiksi nilai.Monolog Y dan XX berkisah tentang obsesi seksual seorang guru yang suka ngintip dan seorang suami yang cemburuan. Putu Wijaya, seperti halnya para dalang wayang dan Shakespeare, mampu mengolok-olok "kesalahan" semacam itu, bukan menghujatnya.

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000