Merayakan Kebinekaan dalam Bingkai Budaya
Jean-Claude van Damme berkeras ke Tanah Batak, tempat ayahnya pada 1915 dilahirkan. Ditemani istrinya yang bernama Arjuna, mereka tiba di Bandara Kualanamu. Pagi itu, kedatangan mereka disambut Nadeak, si sopir taksi berjas dasi tenunan ulos. Pengalaman, keramahan, dan dialektika Nadeak mampu menarik perhatian pasangan suami-istri (pasutri) yang baru menikah itu untuk menggunakan jasanya.
Pengalaman empat tahun menjadi sopir taksi membuat Nadeak percaya diri menawarkan diri sebagai pemandu pasutri itu menjelajah Tanah Batak: Karo, Toba, Simalungun, Mandailing, dan Angkola.
Taksi melaju kencang membelah jalan menuju Medan. Untuk menemani perjalanan, Nadeak menawarkan penumpangnya lagu-lagu Batak untuk diperdengarkan. ”Batak rohani atau duniawi?”, begitu Nadeak menawarkan pilihan. Dialog demi dialog saling menyambut di dalam taksi yang berwarna khas Batak—merah, putih, hitam—itu. Di mata pasutri itu, Nadeak semakin menarik karena bisa menyanyikan lagu lawas berbahasa Inggris dengan suara bariton.
Oh Tano Batak
Buku ini bisa menjadi alat navigasi bagi pembaca yang ingin mengetahui sejumlah destinasi bersejarah di Tanah Batak. Remy Sylado membingkai sejarah dan peradaban Batak melalui petualangan lima hari tiga tokoh utama— Jean, Arjuna, dan Nadeak.
Dalihan na Tolu sebagai ciri tipikal budaya Batak telah disibak Remy pada bab awal (hal 29). Ciri tipikal itu berperan sebagai asas hubungan kekeluargaan yang dijadikan sebagai falsafah kehidupan masyarakatnya.
Asas itu berkenaan dengan tiga kedudukan fungsional yang terdiri atas tiga posisi, yaknihula-hula, boru, dan dongan tubu. Ketiga fungsi itu bisa dimiliki setiap orang pada kesempatan yang berbeda. Ratusan marga sebagai nama keluarga digunakan untuk menentukan kekerabatan hubungan keluarga.
Dalam Perempuan Bernama Arjuna 4: Batakologi dalam Fiksi, Remy Sylado lebih berfokus pada Batak Toba. Hal itu tampak dari letak geografis Batak Toba yang dikisahkannya. Selain itu, penggalian lebih diarahkan pada agama yang berhasil dibawa Nommensen ke masyarakat Batak Toba, Kristen Protestan.
Selain agama Kristen, buku ini juga mengisahkan sedikit agama asli Batak Toba, Parmalim yang baru dilembagakan awal abad ke-20. Agama ini digagas lingkung guru-guru dari lingkaran Sisingamangaraja. Mereka meyakini bahwa Sisingamangaraja tetap hidup dan akan kembali bertakhta di Bakara (hal 32).
Sejarah dan kebinekaan
Bukanlah Remy Sylado jika berkarya tidak melibatkan tokoh-tokoh penting di dalam karyanya. Kehadiran tokoh-tokoh besar Batak lintas generasi turut melengkapi alur cerita dalam novel ini. Penjelasan tentang tokoh-tokoh tersebut ditulis di catatan akhir untuk memudahkan pembaca memperoleh keterangan lengkap. Hal ini semakin membuat buku ini menarik dan menantang.
Kehadiran buku ini telah menambah nutrisi pemikiran sejarah dan menjadi perangsang gairah pengetahuan budaya nasional. Sebab, kita akan belajar membaca keterkaitan antara budaya, agama, dan sejarah yang tidak dipahami secara benar sehingga menimbulkan polemik nasional. Tak ubahnya seperti polemik yang melanda negeri akhir-akhir ini.
Beberapa kritik dilayangkan penulis dengan argumen-argumen yang disematkan pada dialog antartokoh. Tentang ujaran kebencian dan isu SARA. Dengan gaya khas penulis, buku ini membuka cakrawala pembacanya.
Konflik agama yang sering terjadi bukanlah tentang agama itu sendiri, melainkan tentang politik dan pasar yang dibalut agama. Buku ini mengajak pembaca mempelajari sejarah bahwa perselisihan antara minoritas dan mayoritas awalnya berpangkal pada konkurensi dagang di pasar (hal 72).
Iri dan dengki merasuki individu yang tidak mau belajar. Buku ini telah mempertegas bahwa kealpaan dalam sejarah tidak hanya menyedihkan, melukai, dan membuat konflik horizontal, tetapi juga telah mempertontonkan kebodohan struktural.
Prasangka-prasangka masa lalu masih bersisa. Realitas seolah berkata bahwa kelakuan pasar sering ditandai persaingan yang turut menyebabkan lahirnya manusia ikut-ikutan yang cemar otak dan hati, termasuk keberanian diri mengklaim agama atau suku tertentu yang lebih berperan dalam perjuangan bangsa. Kita terjangkiti.
Buku ini telah mengajak kita merayakan kebinekaan. Arjuna, Jean, dan Nadeak adalah tokoh yang berbeda suku, usia, tingkat pendidikan, dan agama. Nadeak seorang magister adalah seorang advent keturunan Batak. Arjuna seorang doktor, turunan Jawa-Tionghoa beragama Islam. Sementara Profesor Jean yang Kristen lahir dari ayah keturunan Belanda dan ibu asal Tomohon.
Perbedaan membuat mereka terlibat dalam diskusi untuk mengenal dunia dengan sudut pandang yang luas. Rangkaian peristiwa menunjukkan gerakan Bhinneka Tunggal Ika yang benar-benar dihayati. Bukan sebagai slogan-slogan politik.
Bahasa dan kebebasan
Membaca buku ini berarti menyelam ke dalam samudra pengetahuan dan kebijakan penulisnya. Remy kembali menunjukkan dirinya dalam berbagai penguasaan bahasa, budaya, dan falsafah kehidupan.
Ia tidak lupa memainkan gaya selingkungnya saat menuang ide di atas kertas. Berbagai frase sengaja ditulis ”merdeka” sebagai wujud kebebasan berekspresi. Hal tersebut terlihat dalam penggabungan dan pemisahan berbagai frase yang kurang lazim. Selain itu, entah apa alasan Remy tidak pernah menyingkat nama Jean-Claude van Damme.
Hal unik lain yang ditemukan dalam buku ini adalah penyusunan rangkaian kisah. Setiap bab diawali ”tumben” dan diakhiri amsal dan mazmur berbahasa Batak, kecuali bab terakhir yang ditutup dengan mauliate (hal 279). Sebuah keindahan adab sebagai syarat etika dalam bersosial pada masyarakat Batak.
Akan hal itu, pembaca ingin mengakhiri tulisan ini dengan mauliate!