CC Macknight mengungkapkan dalam bukunya The Voyage to Marege’: Pencari Teripang dari Makassar di Australia bahwa, jauh sebelum Kapten Cook melayari pantai timur laut Australia, suku Aborijin, penduduk asli Australia, telah menjalin hubungan dagang dan membangun bisnis bersama para pencari teripang dari Makassar. Macknight menunjukkan fase historis dari wilayah Australia bagian utara.
Memang jumlah orang yang terlibat dalam perputaran bisnis ini tidaklah besar. Wilayah yang dilingkupi hanya wilayah Northern Territory atau yang disebut oleh pelaut Makassar sebagai Marege’. Sebagian kecil pelaut Makassar diketahui juga telah melakukan pencarian teripang di wilayah yang disebut oleh mereka sebagai wilayah Kayu Jawayya atau wilayah Kimberley, Liukang Racunga (Pulau Racun) dan wilayah-wilayah di sekitarnya.
Pada bagian akhir buku, yaitu bab Kesimpulan, Macknight mengajukan pertanyaan ”seberapa signifikan orang Makassar dalam sejarah Australia? Jika pertanyaan itu diajukan menurut istilah sejarah sebagaimana biasa dipahami, maka jawabannya pasti mereka tidak sangat penting.... Pada pengujung abad, industri teripang orang Makassar hanya memiliki andil sangat kecil dalam sejarah pembangunan yang dilakukan Pemerintah Australia selatan di Northern Territory” (hal 220).
Jika hanya mengukur signifikansi orang Makassar dalam sejarah Australia dengan angka-angka dalam catatan pembangunan wilayah Australia bagian utara, tentu tidak penting. Namun, interaksi yang berlangsung satu sama lain bertahun-tahun telah melahirkan perubahan sosial-budaya. Terjadi proses asimilasi dan akulturasi. Muncul kebiasaan-kebiasan baru atau terjadi percampuran dan pembauran budaya antara kelompok etnis Makassar dan orang-orang Aborijin. Dengan demikian, pertanyaan Macknight dalam catatan akhirnya terkesan simplistis. Ini mungkin catatan kritis untuk buku Voyage to Marege ini. Sebab, sebagaimana juga dikemukakan oleh penulisnya sendiri di awal buku bahwa industri teripang orang Makassar di Australia adalah ”industri modern awal” di benua tersebut (hal 1). Bukankah itu cukup signifikan dalam sejarah modern Australia? Mungkin.
Pengaruh budaya
Menarik untuk melihat pengaruh budaya yang lebih dalam pada bahasa Aborijin yang mengadopsi bukan hanya kata per kata, melainkan juga konsep-konsep kebudayaan. Seperti mitologi tentang siapa yang menjadi pemula dalam mendirikan komunitas, yaitu seorang perempuan yang mereka sebut baini (dalam bahasa Makassar: baine). Konsep ini terkait dengan konsep tumanurung di Sulawesi Selatan.
Orang Aborijin menyebut sampan kecil dengan kata lippa-lippa yang diadopsi dari bahasa Makassar, lepa-lepa. Mereka menyebut orang Eropa sebagai Balanda, dan menyebut bunggawa untuk pemerintah yang diadopsi dari kata punggawa (nakhoda), ada perluasan makna kata dalam khazanah bahasa Aborijin. Sebuah kampung orang Aborijin di Teluk Grays diberi nama yang sama dengan kampung renggang di Makassar. Nama tebing karang tinggi disebut Bahdelumba yang berasal dari bahasa Makassar: Batu Lompoa. Sampai sekarang sebutan itu masih digunakan. Sementara bagian tenggara North Island diberi nama Luberjardi yang diadopsi dari bahasa Makassar lemba caddi atau teluk kecil.
Beberapa nama Aborijin kini masih menggunakan penggalan daeng atau kare sebagai nama gelar kebangsawanan orang Makassar yang juga disematkan kepada beberapa orang Aborijin. Beberapa lagu tentang kedatangan orang Makassar juga masih ada dalam ingatan orang-orang Aborijin (hal 168-169). Hal itu merupakan cara mengabadikan hubungan kebudayaan kedua komunitas yang pernah terjadi dalam penggalan sejarah.
Pelaut Makassar
Macknight amat beruntung, sewaktu ia menulis buku ini mendapat bantuan ingatan dari seorang saksi hidup, yaitu Mangngellai Daeng Maro. Bersama ayahnya yang menjadi nakhoda kapal, Mangngellai muda yang waktu itu masih berusia 10 tahun ikut berlayar ke Marege pada tahun 1906, yang menjadi periode akhir bisnis teripang. Setelah itu tidak ada lagi pelayaran ke sana. Mangngellai masih mampu mengingat dengan baik apa yang ia alami dan ke mana saja ia berlayar.
Bagi pembaca sejarah Makassar, hal semacam ini bukanlah suatu kemewahan. Sebab studi-studi lain, seperti yang dilakukan Leonard Y Andaya dalam Warisan Arung Palakka (Ininnawa, 2004) memperlihatkan keterampilan melaut orang-orang Makassar yang dia amati di sekitar perang Makassar pada abad ke-17; tulisan menarik dari Anthony Reid Sejarah Modern Awal Asia Tenggara (LP3ES, 2004) mengenai era modern awal Asia Tenggara yang terutama membahas kontribusi kerajaan Makassar dan tentang kemajuan sistem kelautan orang Makassar; karya-karya antropolog atau sejarawan lokal seperti Edward L Poelingomang dalam Makassar Abad XIX: Studi Tentang Kebijakan Perdagangan Maritim (Kepustakaan Populer Gramedia, 2002), memperlihatkan hal yang tidak jauh berbeda.
Salah satu kontribusi menarik dari buku karya profesor emeritus di Australian National University ini karena berbeda dari karya sejarawan dan antropolog lain. Buku yang berasal dari disertasi Macknight ini terbilang sebagai salah satu karya klasik terkait Sulawesi Selatan, khususnya sejarah perdagangan maritim abad ke-17, yang mampu mengisi satu ruang sejarah meskipun situs penelitian yang dilakukan jauh dari Makassar.
Sebenarnya pencarian teripang sering disinggung dalam ekonomi politik di Asia Tenggara tiga hingga empat abad ke belakang, tetapi sedikit yang mengangkat tema pencarian teripang sebagai obyeknya. Buku ini menggenapi bagian yang sedikit itu. Dengan tekun Macknight selama hampir 10 tahun menelusuri ke sejumlah tempat, bertemu banyak orang, menghimpun data, dan membangun argumentasi studi yang dilakukannya. Saya kira, buku ini layak menemani pengenalan kembali dunia kemaritiman kita yang saat ini sedang digelorakan.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.