Ragam Pustaka
Memilih Berpihak pada Rakyat Jelata
Meskipun seorang pastor, YB Mangunwijaya dikenal sebagai tokoh gerakan sosial yang ikut memperjuangkan demokrasi, penegakan keadilan, dan pembelaan martabat manusia. Dia salah satu tokoh yang berani bersikap kritis terhadap rezim Orde Baru, lantang berpihak pada kaum miskin.
Kepedulian Romo Mangun terhadap rakyat kecil ditunjukkan dengan keterlibatan berjuang langsung bersama mereka. Sejarah mencatat bagaimana Romo Mangun gigih membela warga korban pembangunan Waduk Kedung Ombo, Jawa Tengah. Bersama beberapa aktivis lain, ia meneruskan pendidikan bagi anak-anak korban pembangunan waduk, yang sekolahnya mulai digenangi air. Ia tak menyerah meski aparat menghalanginya masuk ke Kedung Ombo.
Romo Mangun memang sangat peduli pada pendidikan anak-anak, khususnya dari keluarga miskin. Baginya pendidikan adalah sarana atau jalan pemerdekaan, yang memungkinkan anak-anak bertumbuh menjadi pribadi yang berkarakter. Bersama aktivis pendidikan dan Kelompok Kompas Gramedia, Romo Mangun mendirikan Yayasan Dinamika Edukasi Dasar di Yogyakarta, yang berfokus pada karya pelayanan pendidikan dasar alternatif.
Dari buku Saya Ingin Membayar Utang kepada Rakyat (Penerbit Kanisius, 1999), Romo Mangun mengungkapkan alasannya berpihak pada rakyat jelata. Pertama karena tugasnya sebagai pastor Gereja Katolik di Asia menjalankan karya pelayanan option for the poor. Kedua, pengalaman hidup saat perang gerilya yang tak pernah lupa bahwa rakyat desa banyak berperan dan berkorban menyelamatkan dirinya sebagai tentara republik.
(YKR/Litbang Kompas)
Gereja Diaspora, Gereja Metropolitan
Manusia dan kehidupan masyarakat bukan batu. Batu pun susunannya dalam sekian juta tahun dapat berubah, tulis YB Mangunwijaya di awal buku Gereja Diaspora (Penerbit Kanisius, 1999). Nah, apalagi manusia, tumbuhan, dan hewan terus berubah secara alami, baik bentuk maupun sifatnya. Ada yang berubah cepat, ada yang lambat. Begitu pula Gereja Katolik dalam hakikat kepercayaan atau imannya tetap sama, tetapi bentuk, ungkapan, bahasa, dan simbolisasinya amat dinamis. Selalu menyesuaikan diri dengan zaman. Fleksibel, namun teguh dalam prinsip (hal 18).
Di zaman industri-modern, wajah Gereja tak lagi berciri Gereja teritorial tradisional, di mana komunitas umat relatif homogen, berbudaya perdesaan, keluarga utuh hidup bersama pagi sampai malam, umat saling kenal akrab, mudah kumpul ibadat bersama, dan seterusnya. Gereja di zaman modern, bahkan pascamodern, berciri Gereja metropolitan. Gereja yang berkembang seiring urbanisasi, berubahnya desa menjadi kota-kota juga penetrasi gaya hidup atau metropolitan way of life ke desa-desa.
Gereja metropolitan adalah Gereja diaspora. Komunitas umat amat heterogen, serba tersebar dan terpencar, terbuka pada mobilitas perpindahan umat yang tinggi karena tidak tinggal menetap lama. Keluarga tidak selalu dapat berkumpul bersama karena aktivitas sehari-hari serba sibuk. Umat jarang saling kenal akrab dan irama hidup mengikuti tempat bekerja, sekolah, atau aktivitas sosial lainnya. Lewat buku ini, Romo Mangun ingin mengajak umat Katolik berani memasuki situasi diaspora yang penuh kesulitan, tetapi juga tetap menawarkan kebahagiaan mendalam. (YKR/Litbang Kompas)