Luas daratan Indonesia 1.910.000 kilometer persegi dan luas lautan 6.279.000 kilometer persegi terdiri atas 13.466 pulau. Terbentang dari Aceh hingga Papua. Ribuan pulau yang berjajar panjang di sekitar khatulistiwa tergabung dalam satu negara, sementara di Eropa dalam bentang jarak yang sama terdiri dari sejumlah negara. Tanpa adanya basis toleransi yang kuat yang dibangun nenek moyang, sulit dibayangkan sebanyak 656 suku yang ada di Nusantara dapat bersatu menjadi sebuah negara.
Buku IndonesiaZamrud Toleransi (PSIK-Indonesia, 2017) yang disusun tim Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Indonesia mengungkapkan hidup dalam kebinekaan juga berarti hidup dalam potensi konflik. Ancaman bagi kebersamaan dapat datang dari dalam dan luar negeri. Pengaruh global punya daya besar yang memengaruhi persatuan bangsa. Politik identitas bisa menyatukan perbedaan berbasis etnis, bahasa, dan agama, tetapi juga bisa membuat ikatan sosial rentan perpecahan. Para pendiri bangsa amat sadar hal itu. Mereka sepakat membangun konsensus kebangsaan saat menyusun dasar negara. Bung Hatta pernah berujar, ”Mencintai Indonesia perlu cinta yang amat besar dan luas karena Indonesia juga amat bhineka, besar, dan luas.”
(IGP/LITBANG KOMPAS)
Moro Mencari Keadilan
Andalusia, 1492 M. Benteng pertahanan Islam terakhir Dinasti Bani al-Ahmar runtuh oleh bangsa Spanyol di bawah pimpinan Ratu Isabella. Runtuhnya kerajaan Islam terakhir di Spanyol itu rupanya tidak mengikis kebencian bangsa Spanyol terhadap umat Islam karena pernah menguasai daratan Spanyol. Mereka melakukan hal serupa ketika datang menaklukkan Filipina: memerangi Sultan Sulaiman, Raja Filipina, yang bertakhta di kursi pemerintahan negara Islam di Manila.
Di Filipina, rezim pemerintahan Ferdinand Marcos menjadi perpanjangan tangan kebencian warisan bangsa Spanyol. Ambisi politik Marcos yang penuh dendam dan kebencian terhadap bangsa ”Moro”, sebutan untuk umat Islam di Filipina, mengakibatkan kematian ribuan orang Moro, hancurnya masjid-masjid, rumah-rumah, dan sekolah-sekolah mereka.
Menghadapi kezaliman dan kesewenang-wenangan itu, bangsa Moro bersatu dan membentuk Front Nasional Pembebasan Moro dipimpin Nur Misuari. Dalam buku Moro (Change, 2017), perjuangan bangsa Moro itu digambarkan M Asad Shahab, wartawan yang mempertaruhkan nyawanya untuk terjun langsung ke jantung-jantung perjuangan bangsa Moro. Ia menyuguhkan fakta-fakta lapangan yang saat itu sulit ditemukan di media-media Filipina.
Buku yang sejatinya diterbitkan 45 tahun silam dalam bahasa Arab dan baru pertama kali diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia ini membawa pesan yang jelas bahwa perjuangan bangsa Moro semata-mata untuk mencari keadilan. Meskipun minoritas, mereka menginginkan persamaan hak, sebagaimana yang diterima mayoritas warga lainnya di Filipina.
(AEP/Litbang Kompas)
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.