logo Kompas.id
Akhir PekanKetakindahan Pun Seni
Iklan

Ketakindahan Pun Seni

Oleh
Herry Dim
· 6 menit baca

Seorang kolektor karya seni, BSH, menulis di Facebook: "Seni adalah keindahan. Seni yang indah mampu membuat jiwa keluar dari tubuh dan menyatu dengan keindahan... dst". Jika kita tanya 100 orang lainnya secara acak atau bisa juga bertanya kepada seluruh orang Indonesia tentang pengertian seni, niscaya umumnya akan memberikan jawaban yang sama: "Seni adalah keindahan." Maklum karena sejak awal kita berkenalan dengan seni, baik di pendidikan dasar, menengah, bahkan hingga perguruan tinggi; senantiasa dibimbing dengan definisi seperti itu. Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Seni Budaya tingkat SMP, misalnya, di dalam Bab "Pengertian Seni" langsung dimulai dengan subjudul "Seni dan Keindahan", dan rujukan utamanya adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang definisinya sebagai berikut: seni/se·ni/ (1) halus (tentang rabaan); kecil dan halus; tipis dan halus: benda -- , benda yang halus bahannya dan buatannya; bercelak -- , memakai celak yang halus; jarum yang -- , jarum yang halus sekali; seorang putri yang -- , putri yang halus kulitnya; ular -- , ular yang kecil; (2) lembut dan tinggi (tentang suara): suara biduanita itu sungguh -- , suara yang kecil tinggi; (3) mungil dan Élok (tentang badan): burung yang -- burung yang kecil dan Élok. Selanjutnya pada penjelasan tambahan adalah menyeni/me·nye·ni/ a halus; lembut: lagunya.Rumusan KBBI itu sama dengan definisi Énsiklopedia Indonesia: seni adalah penciptaan segala hal atau benda yang karena keindahannya orang senang melihatnya atau mendengarnya. Demikianlah pengertian seni menjadi hanya memiliki satu-satunya pengertian, yaitu indah atau keindahan.Tunggal pengertian tersebut diperkirakan didasari oleh pemikiran Ki Hajar Dewantara (1889-1959) yang memang paling awal merumuskan arti seni. Rumusan Sang Bapak Pendidikan Nasional Indonesia berbunyi: seni merupakan hasil dari keindahan yang dapat menggerakkan rasa keindahan bagi yang melihatnya.Catatan ini tidak bermaksud mempersalahkan rumusan seni dari Ki Hajar Dewantara (KHD) yang demikian berpengaruh dan bahkan berjejak hingga sekarang. Seperti umumnya di dalam tradisi ilmu, segala hal yang menjadi awal itu tetaplah penting dan justru melandasi perkembangan "temuan" berikutnya. Maka, yang menjadi inti dari catatan ini adalah pertanyaan: mengapa rumusan seni tersebut tidak mengalami perkembangan? Apakah karena seninya itu sendiri tidak berkembang atau karena kita tidak memiliki tradisi pemikiran hingga perkembangan tersebut tidak terbaca, yang akibatnya apa pun yang berkembang itu hanya "dibaca" dengan satu penglihatan bahwa seni itu indah? Pasca-seni indah Kita tidak/belum memiliki catatan sejarah sekurang-kurangnya yang bisa menjelaskan kapan dan berlandas pada pemikiran siapakah rumusan seni KHD itu. Dugaan sementara tumbuhnya pemikiran KHD adalah semasa dalam pengasingan di Belanda, pada masa itu KHD masuk dan aktif dalam organisasi para pelajar asal Indonesia, Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia), pada 1913. Untuk bidang pendidikan, KHD banyak mempelajari gagasan-gagasan Friedrich FrÖbel (1782-1852) dan Maria Montessori (1870-1952).Tak jauh dari saat itu, seni sebagai ilmu/filsafat tentang keindahan (estetika) baru saja ditegakkan oleh Alexander Gottlieb Baumgarten (1714- 1762), bukunya yang berjudul Aesthetica diterbitkan pada 1750. Pemikiran Baumgarten demikian berpengaruh, bahkan tak lama kemudian menimbulkan reaksi pemikiran Immanuel Kant (1724-1804), ia menulis "Critique of Pure Reason" yang terbit pada 1781. Ringkasnya, pemikiran Baumgarten saat itu memang sedang "menguasai" pemikiran seni di Eropa dan cukup kuat dugaan bahwa sampai pula kepada KHD.Pusat perhatian Baumgarten adalah kepada mata rantai cita rasa yang baik dengan keelokan (linking good taste with beauty), berdasarkan itu kemudian mengajukan pertanyaan filosofis: apa seni yang baik itu (what is good art)? Hingga di ujungnya ia membangun rumusan-rumusan tentang seni yang baik dan seni yang buruk (good and bad art). Dengan kata lain, yang diakui sebagai seni itu adalah seni yang baik atau seni yang indah. Ini tecermin di dalam pertanyaan-pertanyaan filosofisnya seperti: kuda putih itu indah dan gadis cantik itu pun indah, jadi apa sesungguhnya keindahan tersebut?Atas dasar pertanyaan itu, sibuklah pemikir-pemikir hingga sejumlah seniman demi menemukan rumusan keindahan, di antaranya adalah "gerakan mundur" ke masa Yunani kuno hingga ditemukannya rumusan "perbandingan keemasan" (golden section atau golden ratio) yang bahkan sangat dianut oleh seniman Le Corbusier (1887-1965) dan Salvador Dali (1904-1989), atau temuan-temuan keindahan anatomi tubuh manusia seperti yang dikembangkan oleh Leonardo da Vinci (1452-1519) sekaligus yang menjadi referensi studinya Baumgarten. Seni pun kemudian bergerak bahkan berlari cepat hingga begitu jauh. Khususnya dari arah pemikiran Kant yang berkeyakinan bahwa seni itu tidak ditentukan oleh obyektivitas (apalagi matematis), melainkan bergantung pada subyektivitas si pembuat (seniman) dan subyektivitas si penglihat, lahirlah antara lain pemikiran Realisme, Ékspresionisme, hingga Abstrak Ékspresionis. Di ujung terjauh adalah "Fountain" karya Marcel Duchamp (1887-1968) dan "Fat Chair" karya Joseph Beuys (1921-1986), yang tidak berpihak kepada keindahan, bahkan tak hirau pada obyektivitas kebendaan, melainkan berdasar kepada konsep (pemikiran), atau karya-karya Jean Michel Basquiat (1960-1988) yang beranjak dari keliaran sekaligus kebebasan seni jalanan.Ketakindahan Jika ukurannya sebatas pernyataan (statement), memang terlihat ada perkembangan dalam hal rumusan hingga kemungkinan pemahaman kita terhadap seni. Sindoesoedarsono Soedjojono (1913-1985), misalnya, menyatakan: seni adalah produk ekspresi jiwa, seni tanpa jiwa ibarat masakan tanpa garam. Pun Popo Iskandar (1927-2000) berpendapat: seni merupakan hasil ungkapan emosi seseorang yang ingin disampaikan kepada orang lain, dilakukan dengan kesengajaan dan kesadaran hidup bermasyarakat. Keduanya tidak lagi berdasar kepada "indah", melainkan kepada jiwa dan/atau gejolak emosi, pernyataan yang relatif berkait dengan gerakan seni ekspresionis.Sementara jika memperhatikan seni berdasar khazanah kebudayaan kita sendiri, terbukti bahwa sejak dahulu kala kita mengakui "indah" dan sekaligus "ketakindahan" itu berada di dalam satu kemungkinan seni. Sebut, misalnya, seni wayang (kulit ataupun golek), di dalamnya adalah tokoh-tokoh yang tergolong satria dan juga tokoh-tokoh danawa atau raksasa. Tokoh Arjuna, misalnya, berwajah halus, tubuh relatif kecil, wajah putih, merunduk, Élok, indah. Sebaliknya tokoh Kumbakarna dengan wajah bertaring, mata melotot, tubuh besar kemerahan, kasar.Jika kita bersikukuh kepada rumusan Baumgarten, maka hanya Arjuna dan golongan ksatria lainnya yang termasuk ke dalam seni, sedangkan Kumbakarna serta kerabatnya bukanlah seni karena cenderung tak indah. Kebudayaan kita di dalam memahami seni tidaklah demikian, baik Arjuna dan kelompoknya maupun Kumbakarna dan sebangsanya itu berada di dalam satu peradaban seni. Contoh antara "Arjuna dan Kumbakarna" sebagai seni itu bisa diperlebar lagi dengan melihat kenyataan umumnya seni yang hidup di khazanah Nusantara. Itu berlaku tidak saja bagi karya buhun (masa lalu), tetapi juga pada karya-karya seni paling mutakhir. Ringkasnya, catatan ini hendak menyampaikan bahwa rumusan Baumgarten di satu sisi mengalami perkembangan, di sisi lainnya yaitu adab seni kita sendiri yang menerima keindahan sekaligus ketakindahan sebagai seni.

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000