Perjalanan Tubuh Lengger Banyumas
”Itu perjalanan tubuh. Tubuh sebagai medium bunyi dan gerak, sehingga tubuh memiliki bahasa tubuh. Maka terjadilah bentuk gerak seperti lintas jender dari feminin menjadi maskulin, atau dari bawah sadar menjadi trance (hilang kendali),” kata Rianto seusai mementaskan Tari Medium di Teater Salihara, Jakarta, Sabtu (8/7).
Rianto menyebutkan, tarian itu tanpa narasi. Jenis kelamin penarinya juga bukan perempuan, bukan laki-laki. Tarian ini tentang persoalan ada di antara dua hal. Persoalan ada di antara perempuan dan laki-laki. Begitu pula, persoalan ada di antara dua hal dengan sadar dan tanpa sadar. Rianto menyebut tarian kontemporer ciptaannya atau Tari Medium itu sebagai gerak perjalanan tubuhnya.
Rianto lahir di Kaliori, Banyumas, Jawa Tengah. Sejak remaja ia tertarik menggeluti tarian Lengger Banyumasan, tarian khas tradisional dari daerah asalnya.
Tari Lengger Banyumasan inilah yang kemudian menjadi akar pengembangan Tari Medium. Rianto mementaskan secara tunggal tarian tersebut. Dia sekaligus koreografer Tari Medium ini yang sebelumnya pernah dipentaskan di beberapa negara.
Sedikitnya ada 11 pementasan Tari Medium di sejumlah negara di sepanjang tahun 2016, antara lain dipentaskan di Australia (Darwin Festival), Jerman (Staatstheater Darmstadt), dan Belgia (deSingel Internationale Kunstcampus.
”Istilah ’lengger’ asalnya dari dua kata berbahasa Jawa, yaitu leng dan ngger. Leng dikonotasikan sebagai liang untuk sebutan perempuan dan ngger itu sebutan untuk anak laki-laki. Lengger itu gerak tari perempuan yang dimainkan laki-laki,” ujar Garin Nugroho seusai pementasan Rianto.
Garin menjadi bagian dari tim produksi pementasan Rianto. Garin menangani dramaturginya. Ia menyebutkan, Rianto memerankan dirinya berada di antara dua hal. Di antara perempuan dan laki-laki, juga di antara sadar dan tanpa sadar.
”Saat ini, boleh dibilang, Rianto menjadi salah satu penari kontemporer terbaik dari Indonesia,” ujar Garin.
Rianto menyalurkan ketertarikannya terhadap seni tari Lengger Banyumasan dengan menempuh studi di Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Banyumas. Kemudian ia melanjutkan studinya di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta untuk mempelajari ragam tari tradisional Jawa dan lainnya.
Pada 2003, Rianto menikahi gadis asal Jepang, Miray Kawashima, yang kebetulan juga kuliah di ISI Surakarta. Bermula dari perkawinannya itulah Rianto kemudian lebih banyak menetap di Jepang.
Di Jepang, Rianto mengembangkan tari kontemporer yang berakar seni tari tradisional Indonesia. Pementasan karya-karyanya di berbagai negara. Tetapi, Rianto tetap konsisten untuk menyebarluaskan tari-tari tradisional Indonesia di Jepang. Pada 2006 Rianto mendirikan Dewandaru Dance Company (DDC) di Tokyo.
Rianto juga aktif di perhelatan tari internasional lainnya. Tercatat, pada malam inaugurasi pengukuhan Presiden Amerika Serikat Barack Obama di Capital Hill, 20 Januari 2009, Rianto turut berpentas.
Melafal mantra
Rianto melangkah memasuki pentas sambil melafalkan kata-kata seperti mantra berbahasa Jawa. Sejenak Rianto berdiri dan berdiam. Untuk beberapa waktu lamanya, Rianto kemudian berlari-lari di tempat sampai terengah-engah.
Kedua tangannya bergerak, berputar-putar ke atas, seperti bersenam. Napasnya mulai tersengal. Sejenak kemudian, Rianto menghentikan gerakannya. Ia terpaku dan kembali melafalkan kata-kata mantra tadi.
Melalui gerakan berlari-lari di tempat dan tangan berputar-putar itu Rianto ingin menunjukkan lompatan-lompatan di dalam perjalanan tubuh. Rianto kemudian berjongkok.
Tangannya mengepal. Lantai yang dipijaknya dipukul-pukul bergantian dengan kedua tangannya. Pukulannya itu membuat suatu irama. Kemudian disambut iringan perkusi dari tiga pemusik.
Rianto menghentikan iramanya. Ia lalu berdiri. Rianto pun mulai bergerak. Gerak tarian Rianto seperti gerak tarian wayang orang (wong). Musik perkusi, meskipun tidak terlalu boros musik, tetap masih mengiringi.
Gerak tarian wayang wong Rianto kemudian diiringi dengan suluk atau cerita berbahasa Jawa yang ditembangkan. Dari gerak tarian wayang orang, Rianto mengubah dirinya menjadi dalang. Seperti dalang wayang kulit, Rianto menggunakan tangan kiri dan kanannya sebagai gantinya wayang kulit. Sejenak Rianto pun mendalang.
Gerak Rianto berubah. Ia bergerak seperti wayang. Ia seperti wayang yang hidup. Musik perkusi merespons gerak Rianto ini yang berujung pada tubuh Rianto roboh di lantai.
Ketika ia roboh di lantai, itu menggambarkan lompatan tubuhnya yang sadar menjadi tidak sadar. Ia lalu terbangun. Rianto kemudian menari kian kemari dengan gerak tari yang kontras. Dari gerak tari feminin, berubah menjadi maskulin. Kemudian berubah lagi menjadi feminin, dan seterusnya. Gerak tari Rianto menguatkan pesan lintasan kultural yang berada di antara perempuan dan laki-laki.
”Tidak ada lintasan tanpa ketegangan,” ujar Rianto.
Lintasan kultural yang dimaksud ini terkait persoalan laki-laki menjadi seseorang yang memiliki watak keperempuan-perempuanan. Atau sebaliknya. Sejak remaja, Rianto kerap diolok-olok karena memiliki sikap keperempuan-perempuanan. Munculnya ketegangan menjadi sebuah konsekuensi atas lintasan kultural ini.
Tari Medium sebagai hasil riset Rianto. Tidak hanya mengeksplorasi ruang feminin dan maskulin sebagai lintasan kultural. Rianto juga membangun lintasan kultural antara adat-istiadat dan agama, antara kesadaran dan ketidaksadaran.
Tari Medium ditujukan sebagai panggilan universal untuk kebebasan, untuk menghindari dogma dengan merangkul kontradiksi-kontradiksi serta keberagaman yang berlapis-lapis. (Nawa Tunggal)