Posisi Kartun Kontemporer
Salah satu pesimisme yang masih hidup adalah anggapan bahwa seni kartun di Indonesia, tetap belum dapat melepaskan dirinya dari seni grafis. Kalaupun dalam proses perjalanannya sesekali ia punya upaya geliat diri lewat eksperimentasi dan eksplorasi, faktanya upaya itu hanya merupakan riak-riak kecil yang tak menerbitkan gaung signifikan bagi para kartunis Indonesia maupunapresian pada umumnya.
Ada sederetan wacana dan ekshibisi tentang kartun tiga dimensi, kartun instalasi, kartun kontemporer, dan lain-lain, tetapi faktanya ia hanya muncul sesaat, sesudah itu lalu menguap tak bersisa. Benarkah?
Pada tahun 1980-an, Lembaga Humor Indonesia (LHI) di bawah arahan Arwah Setiawan pernah mengadakan pameran kartun nasional di Taman Ismail Marzuki (TIM). Salah satu peserta, Jaya Suprana, menghadirkan karya secara berbeda, berjudul: ”Tusuk Gigi Kumbokarno”. Terbuat dari kayu, berupa tusuk gigi berdiameter 17 cm dan panjang nyaris 2 meter. Kartun karya Jaya Suprana itu menjadi semacam ”awal” gegar apresiasi kartun kontemporer yang kemudian hilang timbul di wacana perkartunan Indonesia. Kartun yang sama juga dipamerkan di Semarang dengan tajuk ”Pameran Kartun Tiga Dimensi” pada tahun 1990-an.
Sementara itu, di belahan dunia lain (Barat), tahun 1960 dicatat sebagai jejak penting geliat Pop Art. Para seniman mengeksplorasi ikonografi komik dan kartun untuk menunjukkan identitas, agenda politik, sosial, ras, dan budaya mereka sendiri. Mereka mereproduksi, mengopini, dan memarodikan ikon-ikon menonjol yang ada di masyarakat. Medium kartun dipilih karena strategis dalam mengekspresikan diri lewat lapis peradaban kekanak-kanakan yang leluasa berekspresi, leluasa beropini, dengan harapan komunikasi terjadi lebih lancar, lebih mudah dicerna, dan lebih memiliki efek kesegeraan (langsung) dalam memengaruhi penikmatnya. Seperti dapat dilihat dalam film Andy Holden Laws of Motion in a Cartoon Landscape II, terlihat bahwa media kartun memiliki kemampuan unik untuk mengombang-ambingkan rasa antara anarki fiksi dan konsumtivisme dunia nyata.
Seperti halnya cabang seni lain, misalnya teater, musik, tari, lukis, humor dalam berbagai ekspresinya juga mengenal eksperimentasi. Yakni, upaya menggeliat dari ruang-ruang yang sudah ada. Munculnya kartun instalasi, yang mendekonstruksi benda-benda dan difungsikan dalam makna yang baru, dapat dilihat misalnya dalam film kartun animasi The Cosmic Eye karya Faith Hubley yang ke posmo-posmoan, mengindikasikan adanya perjalanan dan upaya eksplorasi di bidang humor. Apa pun medianya.
Kartun berbasis estetika. Kartun versi ini, kalau ingin dilihat dari aspek leluconnya, lebih banyak bisa dinikmati di dunia panggung pertunjukan, pameran, atau paket audio-visual. Gagasan tayangan mungkin tak seberapa menggigit, tetapi pengemasannya sangat mengesankan dan mengejutkan. Film animasi berjudul Fantasia karya Walt Disney termasuk salah satu contoh betapa estetika menjadi salah satu pertaruhan kredibilitas kesenimanan Disney. Pada tahun 2000-an, untuk mengenang dan menghargai dedikasi kesenimannya, perusahaan Disney menerbitkan Fantasia seri 2, yang merupakan hasil kolaborasi seluruh elemen SDM kreatif dan staf produksi. Produk yang kedua ini dapat dikatakan sarat dengan spirit kontemporer dan kekinian. Kemustahilan, kenisbian, dan ambiguitas diretas hingga limit batas. Permainan bidang: pipih, lonjong, bulat, cair, padat menggeliat secara liat. Serpihan kertas bermetamorfosis menjadi apa saja. Garis-garis lurus, lengkung, patah menjadi makhluk antah berantah. Satwa-satwa laut betebangan di langit lepas. Menari-nari dalam kelompok kecil atau besar. Puluhan, ratusan hingga ribuan. Logika diaduk-aduk. Kombinasi yang sangat estetik antara teror, horor, dan humor. Nalar dan wisdom kita ditantang!
Pemantik
Wacana tentang estetika dalam kesenian (seni rupa) di Indonesia di masa lalu menjadi bahan pemberitaan cukup ramai. Salah satu pemantiknya adalah munculnya Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia yang pernah dideklarasikan pada tahun 1975 dan oleh sesuatu hal lalu membubarkan diri pada 1979.
Satu hal yang tak terduga, pada pertengahan hingga akhir Juni 1987 gerakan itu muncul lagi (baca: Pameran ”Pasaraya Dunia Fantasi” di Taman Ismail Marzuki). Konsep yang ditawarkan seperti menyiratkan kegelisahan serupa. Yakni, semangat untuk menerobos kebekuan spesialisasi nilai. Yang dimaksudkan dari spesialisasi oleh gerakan tersebut adalah tentang kubu atau penganut paham kebudayaan tinggi (high culture); yang selama ini meyakini bahwa karya seni rupa masih berkutat antara: seni lukis (murni), seni patung, maupun berbagai ekspresi sejenis. Batasan ini seperti memenjara, sekaligus menghakimi kemungkinan tampilnya kreativitas seni rupa. Yang sebenarnya, menurut paham gerakan seni rupa baru, bisa lebih luas-luwes dengan sekian media dan dimensi yang tidak lagi terbatasi.
Pameran yang mengambil pola Pasaraya Dunia Fantasi di Taman Ismail Marzuki Jakarta memang mampu menimbulkan sejumlah dampak, terutama dalam dunia kesenirupaan di Indonesia. Dampak tersebut tecermin dalam hubungannya antara konsep dan nilai estetika. Jika gaung dan pengaruh ini sekaligus mampu menjadi ”anak kandung” bagi warga seni rupa Indonesia, berarti sejumlah peluang tentang pemahaman dan pengertian seni rupa akan mengalami demokratisasi nilai.
Konsep estetika dalam lorong kesenirupaan yang selama ini dianggap sah adalah karya-karya seni rupa yang terekspresi lewat media: seni lukis, seni patung, dan seni grafis. Selebihnya belum dijamah. Seperti misalnya yang tumbuh di luar negeri. Christo, seorang tokoh seni rupa realisme baru, pernah membalut jembatan Pont Neuf dengan kain warna kuning emas, berikut juntaian lampu-lampu warna-warni. Ulah Christo ini sempat bikin kaget warga Paris, dan dia menganggap itu karya seni rupa. Lalu muncul ulah lain lagi, gurun pasir yang gersang disulap jadi padang rumput hijau. Orang jadi cingak. Gurun itu disemprot dengan cat hijau dari udara. Bukit karang juga disentuh, dibalut kanvas, lalu dilomeri cat, itu juga diklaim sebagai karya seni rupa.
Di Indonesia, karena ingin menggeliat dari kebekuan pemahaman dan nilai estetika seni rupa mapan, maka sejumlah anak muda dari sekolah tinggi seni rupa, bikin karya lingkungan di Parangtritis, Yogyakarta. Di Taman Ismail Marzuki, kelompok yang menamakan diri Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia juga bikin pameran yang lebih kontroversial. Sejumlah unsur didayagunakan: rupa, bunyi, bau, dan rasa.
Ada sebuah kotak berlapis kain hitam, di atasnya terdengar sirene meraung-raung, tak jauh darinya, terlihat kubangan darah. Ada pula yang menghadirkan penonjolan suatu sosok, di bawahnya terdapat cassete recorder, yang memekikkan pidato Bung Karno. Di masa rezim Orde Baru, gagasan demikian tergolong rentan risiko: politis.
Pada tahun 1987 itu, antara 15-30 Juni, gerakan yang konon sudah resmi membubarkan diri itu ternyata bangkit lagi. Kemudian tampil dengan meledakkan tren: Pasaraya Dunia Fantasi, pasaraya adalah toko serba ada, dunia fantasi adalah dunia angan-angan. Dunia yang ada di realitas dongeng, realitas mimpi, realitas imaji. Tak beda realitas simbol urban. Cermin kebergegasan, cermin konsumtivisme, cermin warna kota. Di dalamnya diguyur seni rupa keseharian. Dari stiker, iklan, komik, sampul majalah, kalender hingga yang tampak remeh-temeh lainnya.
Seni rupa ini pada mulanya amat dilecehkan oleh para pengamat seni rupa serius. Arief Budiman kala itu lebih suka menyebut estetika ”kontekstual”. Karena itu, estetika bagi unit yang satu bisa jadi berbeda dengan unit yang lain. Saat itu dikatakan sebagai saat munculnya warna demokratisasi dan pluralisasi nilai. Dari pluralisme estetik ke estetika pluralis.
Kegelisahan seni rupa baru kala itu mungkin memang layak muncul. Karena beberapa nilai, tak cukup diwakili oleh warna, garis, dan bentuk saja. Realitas kehidupan adalah total. Dari unsur rupa, warna, bunyi, bau, dan rasa.
Mengapa terjadi jarak apresiasi dan penghakiman nilai? ”Keindahan, karena itu, memang bukan monopoli kaum elite; terutama elite sosial, yang di Indonesia kini tampak masih gugup dan canggung mencari selera. Apa yang indah bagi orang ’sekolahan’ tak bisa dipaksakan sebagai indah bagi orang pinggiran. Tapi dengan sikap toleran dan demokratis sekalipun, tak berarti keindahan tak menyembunyikan hierarkinya sendiri, apa pun kriterianya.” (Goenawan Mohamad, Catatan Pinggir, Tempo, 27 Juni 1987).
Menurut Daniel Bell, sosiolog, menyebut gejala itu sebagai ”the democratization of genius” lahir dari semangat kerakyatan. Itu terjadi beberapa puluh tahun yang lalu, menandai meledaknya kesenian Barat pada tahun 60-an. Kemudian sempat dicatat oleh sejarah munculnya sang ”pelopor” seni rupa pop, Andy Warhol. Seniman yang pintar melukis iklan, atau berleceh-leceh membuat kipas angin ukuran raksasa dengan bahan kanvas. Produk teknologi masa kini yang divisualkan secara gombor dan kedodoran.
Jarak apresiasi di Indonesia, barangkali sebuah kondisi yang gugup. Kehadiran seni rupa dengan sekian ”kreativitas”-nya konon semakin tak terjangkau oleh sementara kaum elite pendidikan sekalipun. Meskipun dalam situasi dan kondisi kekinian, prasangka-prasangka semacam itu sudah terasa usang dan tak berlaku lagi.
Salah satu spirit yang dapat dicatat bagi kartunis Indonesia adalah menyadari posisi. Pesta Kartun Akhir Tahun 2013 lalu adalah satu hal. Pesta Kartun Akhir Tahun 2017 nanti (kalau jadi) adalah hal lain lagi. TIM adalah salah satu kubangan. Kubangan yang berisi air tempat para kreator berenang dan menyelam. Jangan sampai yang berenang dan menyelam di akuarium, merasa telah berenang dan menyelam di kolam renang. Jangan sampai yang telah berenang dan menyelam di kolam renang, merasa telah berenang dan menyelam di palung Sunda atau Arafuru!
Jaga lucu dan bermutu adalah marwah kartunis Indonesia seutuhnya!