Kepentingan politik dalam pendidikan nasional menggiring negara menjauh dalam upaya pengentasan masyarakat dari kebodohan. Konsep otonomi pendidikan sempat memberikan harapan akan munculnya pendidikan berkualitas. Pada praktiknya, otonomi pendidikan justru menjurus privatisasi. Lembaga-lembaga pendidikan di daerah menjelma menjadi badan hukum milik negara (BHMN) yang model pengelolaanya seperti perseroan terbatas (PT). Paradigma pendidikan liberal menggunakan skema manajemen profit. Biaya pendidikan melambung, rakyat miskin lagi-lagi menjadi korban.
Kesan setengah hati muncul dalam membangun pendidikan nasional. Kebijakan para menteri pendidikan seolah sekadar asal beda dengan program menteri sebelumnya. Aneka perubahan kurikulum dilakukan dari masa ke masa, tetapi belum menyentuh realitas kehidupan. Siswa hanya dibekali kemampuan menghapal tanpa mengetahui penerapannya. Sebuah lompatan besar dilakukan ketika lahir Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Sayangnya, kurikulum ini tidak ditopang perubahan metode pengajaran. Proses dialogis dan partisipatoris belum tampak dalam proses pembelajaran.
Pandangan kritis terhadap pendidikan nasional ini diungkapkan Mu’arif dalam sejumlah tulisannya di berbagai media yang dikompilasi dalam buku Liberalisasi Pendidikan, Menggadaikan Kecerdasan Kehidupan Bangsa (Penerbit Pinus, 2008). Buku ini kritis menyoroti berbagai isu pendidikan yang rupanya tak lepas dari pengaruh kepentingan kekuasaan. Fenomena komersialisasi pendidikan dikhawatirkan memperlebar ketimpangan sosial, memperkecil akses masyarakat bawah memperoleh pendidikan berkualitas. (IGP/LITBANG KOMPAS)
Mengawal Korupsi Pendidikan
Pengelolaan anggaran dan pendapatan belanja sekolah (APBS) partisipatif terbukti efektif mengoptimalkan peningkatan fasilitas pendidikan dan mengurangi korupsi. Program APBS partisipatif muncul karena keprihatinan stagnasi pendidikan akibat korupsi yang dilakukan oknum-oknum pemangku kepentingan di sekolah. Gerakan yang diprakarsai Indonesia Corruption Watch (ICW) ini melibatkan beberapa organisasi di Garut, Jawa Barat, dan Tangerang, Banten. Para guru di kedua daerah tersebut dibekali pelatihan guru transformatif yang bertujuan membangun sikap kritis para guru terkait masalah alokasi anggaran pendidikan, baik dari APBS, APBD, atau APBN.
Gerakan APBS partisipatif mengambil dua wilayah percontohan. Setiap wilayah dipilih 10 sekolah dampingan yang diharapakan dapat menjadi model penyelenggaraan. Program APBS Partisipatif berjalan baik di Garut, tetapi tidak demikian di Kabupaten Tangerang. Banyaknya kendala membuat 10 sekolah dampingan diperkecil menjadi 6, yang lalu tinggal 2. APBS Partisipatif telah menciptakan perubahan signifikan di SD Negeri Cikuya 4, dan SD Negeri Pabuaran 1.
Aksi ICW melawan korupsi pendidikan ini terekam dalam buku Sekolah Harapan, Sekolah Bebas Korupsi, yang ditulis Bambang Wisudo dkk (Madani Media dan ICW, 2015). Kehadiran ICW ke sekolah tidak sekadar mengalirkan semangat antikorupsi, tetapi juga membangkitkan rasa kepemilikan bersama dari pemangku kepentingan terdekat. (IGP/LITBANG KOMPAS)