Koaya Roaya
Seperti biasa setiap pagi saya bermain-main di dunia maya. Kalau sudah bermain seperti itu, waktu dua jam terasa hanya seperti lima menit. Di antara waktu bermain itu, saya membaca sebuah berita bahwa ada anak muda Asia punya uang 42 triliun. Kemudian, kepala saya melihat ke langi-langit dan dalam hati bersuara. ”Kapan giliran saya, Tuhan?”
T,M,T,M
Kejadian melihat langit-langit atau mengarahkan kepala ke atas itu sudah sering kali saya lakukan. Kalau saya sedang di dalam kendaraan dan melintas pada beberapa rumah yang luasnya mau mengalahkan lapangan sepak bola dan bangunannya menjulang tinggi dengan indahnya, saya suka bertanya, mereka itu tempat tidurnya seperti apa, ya? Kalau menginap di hotel, hotel macam apa yang mereka inapi lha wong rumahnya saja seperti istana.
Kalau sedang bermain di dunia maya dan melihat ke beberapa akun yang memperlihatkan kekayaan si pemilik akun, saya juga menengadahkan kepala ke atas. Pokoknya kalau sudah melihat yang koaya roaya saya pasti tak lupa menengadahkan kepala. Tentu semua itu didorong dengan rasa iri hati yang sangat.
Saya ini ingin sekali merasakan bisa punya uang yang akhirannya bersuara sekian T. Sudah setengah abad lebih hanya mengumpulkan akhiran RR (ratus ribu). Jadi, ingin merasakan seperti apa berada dalam posisi T.
Minggu lalu saja, saya rapat dengan seorang klien yang menjual mobil dengan harga nyaris 20 miliar. Saya ini kebiasaan duduk di taksi dan bajaj, ingin merasakan seperti apa duduk di mobil sekian M itu. Seperti biasa setelah mendengar cerita T dan M itu, saya langsung curhat dengan Yang Maha Kuasa di dalam tempat tinggal yang mungkin hanya seluas kamar mandi di sebuah rumah gedongan.
Suatu hari saya bercerita tentang apa yang saya tulis di atas kepada seorang teman wanita koaya roaya di sebuah acara makan siang. Begini ia berespons, ”Ya ampun, Masss.. T itu ya ndak ada rasanya, cepet habis kalau enggak bener mengelolanya. Kaya raya itu bukan hanya harus bekerja cerdik, melainkan juga harus didukung dengan kekuatan mental. Mau kaya raya itu enggak gampang, Mas. Namun, yang lebih enggak gampang lagi itu mengelola mental dan hati waktu kaya raya. Mesti kuat.”
Tabur tuai
Setelah pulang dari makan siang menuju kantor, saya mulai berpikir. Di luar perjalanan hidup manusia itu berbeda-beda, jangan-jangan kenapa sampai hari ini saya masih naik bajaj, itu kemungkinan karena mental saya ini tidak kuat atau belum kuat untuk menerima kesempatan menjadi kaya raya.
Kerja keras sudah saya lakukan, belajar melihat peluang sudah saya lakukan, hati-hati dalam pengeluaran sudah saya lakukan, tetapi yaa... mainnya masih di kelas RR belum sampai M atau T. Kemudian suara nurani bawel yang seperti belati itu langsung berteriak kencang.
”Lha... elo itu, ya, masih miskin gini aja belagunya setengah mati. Gimana kalau kaya raya. Mental elo itu enggak kuat, bro. Elo itu bakat sombong dan takaburnya besar. Gue, kan, tau banget siapa elo.” Setelah disindir demikian dan seperti disetrum rasanya, saya kemudian mulai berpikir apa yang dimaksud dengan kekuatan mental.
Mungkin kekuatan mental itu adalah kemampuan untuk tetap rendah hati dan menginjak tanah di tengah kesempatan untuk tinggi hati dan melayang. Tak lama setelah berpikir demikian, otak saya mulai berteriak tak kalah lantangnya dengan nurani.
”Eh. beberapa teman elo, kan, juga kaya raya, tetapi songongnya setengah mati. Itu enggak papa, kok. Mereka aja bisa bertahan tetap kaya meski belagu. Songong ataubelagu itu, kan, artinya enggak kuat mental, kok, mereka tetap kaya raya?”
Maka, pergumulan batin dimulai seperti perang Bharatayuda. Sampai di situ saya tak lagi bisa berpikir dan melupakan semuanya. Entah mengapa, tak lama setelah peperangan itu dimulai, seorang wanita kaya raya, cantik, pandai, dan semampai mengunggah sebuah pesan di akun media sosial saya yang membuat peperangan batin itu selesai.
Begini pesannya. Singkat dan jelas. Goodness is the only investment that never fails (Henry David Thoreau). Dan, saya mulai berpikir dan mengerti mengapa ada orang baik dan orang songong diberikan kesempatan menjadi koaya roaya. Kalau saya mengatakan seseorang itu baik atau sombong, itu sebuah penghakiman yang saya lakukan terhadap mereka.
Sejatinya, penghakiman itu bukan dari luar, bukan hanya dari kemampuan kasatmata. Karena luar itu banyak menipunya. Tampak luar boleh saja baik atau belagu, tetapi kualitas hati mereka siapa yang tahu, bukan?
Bisa jadi tanpa sepengetahuan saya, keduanya melakukan kebaikan yang tak perlu mereka beberkan ke mana-mana dan kebaikan yang mereka jalani itu adalah investasi yang tak pernah gagal, bahkan mendatangkan kelimpahan dalam kehidupan duniawi.
Waktu mereka menuai, saya iri dan menengadahkan kepala ke atas dan bertanya kepada Yang Maha Kuasa, kapan giliran saya menuai. Saya tak pernah menengadahkan kepala ke atas dan meminta diberikan kualitas hati untuk berbuat kebaikan. Saya ini hanya ingin panen, tetapi malas menabur. Saya ini mau menabur RR, tetapi mengharap menuai T dan M.