Tidak harus mengalaminya sendiri, membacanya saja mungkin membuat kita merasa sangat marah sekaligus jadi lemas. Digabungkan dengan berbagai persoalan yang kita hadapi sehari-hari, seperti menjadi korban berita bohong, harus bekerja sangat keras untuk memperoleh keuntungan tipis, mendampingi anak yang tertekan karena kesulitan belajar, menghadapi tetangga atau pasangan hidup yang curang atau bersikap seenaknya, lengkap sudah. Kita mungkin bertanya: ”Untuk apa hidup?”, ”Apakah hidup ada maknanya?”
Dunia psikologi mengenal Viktor Frankl (1905-1997), ahli saraf dan psikiater dari Austria, yang selamat dari kamp konsentrasi Nazi. Dari penderitaan yang dirasakan sendiri dan diamatinya dialami oleh begitu banyak orang di kamp pembantaian itu, ia menuliskan pengalamannya dalam bukunya, Man’s Search for Meaning (1946). Bukunya adalah otobiografinya, yang sekaligus menghadirkan konsep mengenai logoterapi, suatu bentuk analisis eksistensi untuk mencari dan menemukan makna hidup.
Minat sosial
Tokoh klasik lain, Alfred Adler (1933), mengatakan bahwa yang akan sehat atau ”selamat” secara psikologis atau kejiwaan adalah ia yang memiliki ”social interest”. Maksudnya bukan sekadar orang yang senang berteman atau kumpul-kumpul. Yang dimaksud adalah orang yang punya kepedulian sosial, yang menganggap penting kesejahteraan orang lain, sama seperti kesejahteraan diri sendiri.
Tampaknya kepedulian sosial Frankl telah ada lama sebelum pengalaman buruknya di gubuk-gubuk konsentrasi. Saat jadi mahasiswa kedokteran, ia mengorganisasi program konseling cuma-cuma. Saat jadi residen dalam bidang neurologi dan psikiatri, ia bertanggung jawab mengelola ”paviliun bunuh diri”, yang menangani lebih dari 30.000 perempuan dengan tendensi bunuh diri.
Pada 1938 ia mulai dilarang menangani pasien karena identitasnya yang dianggap rendahan sebagai orang Yahudi. Tahun 1942, Frankl, orangtua, dan istrinya dideportasi ke perkampungan tahanan Nazi dan bekerja untuk penanganan kesehatan mental tahanan. Di sini ia membuat suatu unit untuk menguatkan tahanan-tahanan baru, juga mendirikan ”unit pemantau bunuh diri”.
Orangtua dan saudara kandungnya akhirnya meninggal di tahanan, demikian pula dengan istrinya, yang terpisah darinya, karena ditempatkan di kamp konsentrasi berbeda. Frankl sendiri dibebaskan setelah tiga tahun dalam tahanan.
Kewajiban sosial
Setelah bertahan dalam penderitaan yang demikian berat, Frankl menyimpulkan bahwa bahkan dalam teror, situasi yang paling menyakitkan, tidak manusiawi, absurd, dan brutal sekalipun, hidup itu memiliki potensi maknanya. Katanya, ”What is to give light must endure burning”, ”yang hadir untuk memberi nyala, harus kuat atau tahan untuk dibakar”.
Mengapa? Frankl merasa sangat heran dengan situasi yang sedemikian buruk yang dilihat dan dialaminya sendiri. Orang dirampas dari semua harta benda dan miliknya, dipisahkan dari keluarga, tidak mendapat makan, jatuh sakit, terluka, dibunuh di ruang gas beracun. Tetap, ia menemukan juga orang-orang yang kuat bertahan, hingga kadang ia bertanya kepada pasiennya: ”Mengapa Anda tidak bunuh diri saja?”
Jawaban orang-orang itu berbicara mengenai makna: ”ingin sekuat mungkin bertahan untuk dapat bertemu lagi dengan anak”, atau ”berharap dapat sedikit menyumbang dengan bakat atau potensi yang kumiliki”. Bahkan, ”saya terkenang pada kasih sayang ibu dan istriku yang sudah meninggal. Mungkin kalau dapat terus hidup, saya dapat menghadirkan kasih sayang yang sama untuk orang lain”.
Menurut Frankl, makna hidup itu berjalinan dengan kasih sayang serta perasaan bertanggung jawab. Ia berkesempatan meninggalkan Austria sebelum orang-orang Yahudi dipaksa masuk kamp konsentrasi. Ayah ibunya sangat gembira membayangkan anaknya akan selamat dan dapat membina masa depannya di Amerika Serikat. Hati Frankl terbelah. Apakah ia harus meninggalkan orangtuanya yang mungkin sebentar lagi akan masuk tahanan dan dieksekusi? Di mana rasa tanggung jawabnya sebagai anak? Ia memilih tinggal.
”Finis” sebagai tujuan
Frankl juga memperoleh kesempatan ditempatkan dalam kondisi lebih baik. Tetapi, ia memilih tetap bersama tahanan yang lain yang telah dikenalnya dalam penderitaan bersama. Kelaparan, penghinaan, ketakutan, dan rasa marah yang sangat kuat dicoba dihadapi melalui kenangan indah tentang orang-orang yang dicintai, doa yang diajarkan oleh agama, lewat rasa humor, hingga melalui hubungan dengan alam.
Ada kisah dari tahanan mengenai seorang perempuan yang riang, yang bercerita bahwa ia sering bicara pada pohon dan merasa bersahabat dengan pohon. Frankl bertanya, ”Pohon itu menjawab omonganmukah?”. Kata perempuan itu, ”Iya. Katanya: ”Aku di sini mendengarmu. Aku adalah kehidupan yang abadi.”
Frankl teringat bahwa kata Latin ’finis’ dapat bermakna ’akhir’ atau sebaliknya, ’tujuan untuk dicapai’. Saat kejahatan masih terus ada, semoga kita tetap dapat menemukan makna. Bukan dalam arti ’hidup telah berakhir’, tetapi dalam arti ’menemukan tujuan untuk diperjuangkan’. Adalah kewajiban kita untuk menentang keras kejahatan kemanusiaan dan berbagai bentuk kejahatan lain. Pada siapa pun juga dan oleh siapa pun saja.