logo Kompas.id
Akhir Pekan"Merek" Bali dan Perbudakan
Iklan

"Merek" Bali dan Perbudakan

Oleh
RIKI DHAMPARAN PUTRA
· 5 menit baca

Sebelum menjadi merek abad ke-20, sumber sejarah Eropa kadang menyebut Bali sekilas dalam rangkaiannya dengan masa perburuan rempah (1500-1630) di jalur antara Malaka dan Kepulauan Sunda Kecil. Pedagang-pedagang dari Malaka singgah di Bali, Sumbawa, dan Bima untuk mengambil air minum serta membeli beras, budak, dan kain kasar yang nantinya akan ditukar dengan kayu cendana di Pulau Solor dan Timor. Meilink Roelofsz menduga, penguasa-penguasa Bali kemungkinan memanfaatkan jasa orang Portugis untuk menjadi perantara dalam melakukan transaksi dagang dengan orang asing pada masa Malaka Portugis dalam skala kecil.Dari gambaran sekilas itu terlihat bahwa Bali periode itu masih pasif dalam lalu lintas perdagangan internasional. Apakah absennya Bali dari lalu lintas perdagangan Asia Tenggara abad ke-15 dan ke-16 itu menyediakan zona aman bagi pertumbuhan budayanya masih menjadi pertanyaan. Namun, topik ini penting mengingat cerita tutur menyebut abad ke-16 adalah abad keemasan kehidupan politik dan budaya di Bali. Fase ini menerangkan adanya satu kekuatan politik yang mengontrol Pulau Bali, meluas ke Blambangan di ujung timur Pulau Jawa. Sayangnya, cerita lokal itu tidak terkonfirmasi pada sumber-sumber sejarah tertulis lainnya. Bahkan, menurut De Graaf dan Pigeud, kitab Suma Oriental yang umum menjadi rujukan para sejarawan untuk dinamika Jawa abad ke-15 hingga ke-16 sama sekali tidak menyebutkan adanya hubungan antara kerajaan-kerajaan Jawa Timur dan Bali meskipun kitab itu cukup detail menggambarkan Blambangan. Satu hal, tipikal sejarah lokal kita tidak ditujukan untuk merekam kejadian sejarah, tetapi untuk menegaskan legitimasi sebagai "ahli waris" dari satu klan pada masa yang lebih lampau. Itu lumrah ditemui pada politik teks raja-raja tempo dulu. Bahkan, raja-raja terkuat di Sumatera yang bergelar maharaja sekalipun perlu mengklaim sebagai keturunan raja-raja kuno yang pernah memerintah bumi, seperti Iskandar Zulkarnain dan Nusyrwan Adil. Suaka tekstualDi Pulau Jawa, pada periode yang lebih belakangan, babad juga mengabarkan kepada kita bagaimana raja Demak berupaya menaklukkan Kediri untuk mendapatkan legitimasi sebagai "ahli waris" Majapahit. Selain untuk menyatakan kebesaran, kebiasaan itu berguna untuk mendapat suaka secara tekstual, khususnya bagi negara-negara yang lebih kecil. Sebab, dengan menempatkan silsilah pada satu galur kebesaran tertentu, kerajaan itu bisa terlindung dari ancaman musuh-musuhnya. Minimal terhindar dari upeti yang memberatkan. Atas dasar itu, upaya mencari identitas dan sendi-sendi budaya yang tunggal ke periode ini pada dasarnya adalah "upaya tekstual" yang masih perlu ditemukan konteksnya. Lagi pula, jika kisah lokal mengenai kejayaan abad ke-16 itu benar, Bali pada masa-masa itu menguras energinya untuk urusan peperangan. Yang menurut hemat kita, pastilah suasananya tidak memungkinkan untuk mengembangkan suatu tatanan hidup yang gemilang. Kesimpulannya, sebelum abad ke-17, Bali belum tampil menjadi suatu merek yang menarik perhatian para musafir dalam lalu lintas Asia Tenggara. Baru pada awal abad ke-18, seorang pendeta bernama Francois Valentijn menyertakan Bali dalam buku Hindia Baru atau Hindia Timur (Oud en Nieuw Oost-Indiën) yang terbit tahun 1724-1726. Belakangan deskripsi bagian Bali di buku itu tampil dalam buku Bali Tempo Doeloe yang disunting Adrian Vickers. Dari buku ini kita tahu, perhatian Valentijn rupanya lebih tertuju pada topik perbudakan di Bali. Kelak, ihwal perbudakan Bali ini menjadi topik, bahkan "merek" yang menonjol yang dilekatkan pada orang Bali hingga awal abad ke-20. Selain rempah, budak telah menjadi komoditas utama Asia Tenggara yang memuncak abad ke-17 hingga ke-18. Tumbuhnya kota-kota dagang baru di Asia Tenggara sejak abad ke-15 memerlukan tenaga kerja massal. Bukan hanya kolonial, penguasa-penguasa lokal juga mengambil keuntungan dari situasi ini. Pada kisaran 1600 ada catatan tentang banyaknya penguasa lokal di Banten yang bangkrut karena terlalu banyak memiliki budak. Dalam masyarakat Aceh abad ke-17, barter budak menjadi satu sumber ekonomi yang penting bagi penguasa-penguasanya. Menurut Snouck Hurgronje, praktik perdagangan budak di wilayah ini terekam dalam sejumlah cerita rakyat tentang orang rendahan dari Pulau Nias. Orang-orang dari Pulau Nias itu diculik dalam jumlah ratusan orang oleh pedagang-pedagang budak dari Aceh dan penguasa lokal Nias sendiri. Situasi yang tidak jauh berbeda juga terjadi di wilayah lain. Pendek kata, perdagangan budak merupakan wajah sejarah kerakyatan kita yang paling utama. Yang membuat Tan Malaka berkesimpulan: kita beloem mempunyai sejarah selain perboedakan.Bali mungkin menjadi unik karena nasib budak-budak dari Bali mewarnai pertumbuhan kota Batavia menjadi kota kosmopolit terbesar. Lance Castles bahkan menyimpulkan orang-orang Betawi sekarang berasal dari etnik Bali yang didatangkan ke Batavia sebagai budak. Pandangan yang terdukung oleh pendapat HN van der Tuuk bahwa bahasa Bali tingkat rendah merupakan dasar dialek Jakarta. Terlepas dari penolakan atas pendapat tersebut, ihwal budak Bali tetap menjadi topik yang menarik dalam catatan dan fiksi yang ditulis hingga awal abad ke-20. Hal itu antara lain bisa dilihat dalam kisah kemalangan Rossinna karya HFR Khommer (1910) dan kejahatan seorang calo budak dalam novel Ni Rawit Tjeti Penjual Orang karya Panji Tisna (1935). Seorang penguasa Bali kabarnya bisa mempunyai 300 budak. Mengikuti Raffles, harga seorang budak laki-laki berkisar 10 sampai 30 reyal Spanyol dan budak wanitanya 50 sampai 100 reyal. Kita ambil harga tengah saja, 50 reyal per budak. Berarti, si bangsawan punya kekayaan sekurangnya 150.000 reyal. Nilai itu lebih besar daripada pendapatan seorang bupati pantura Jawa dari pajak setahun yang hanya 60.000 reyal atau 85.00-90.000 dalam rixdollar. Jika si bangsawan membeli candu, ia bisa memperoleh 470 peti. Jika dari menjual kopi, si bangsawan perlu hampir 19.000 pikul untuk mendapat kekayaan setara 300 budak.Wajarlah jika upaya pemerintahan sementara Inggris pada masa Raffles untuk menghentikan perdagangan budak dari Bali dipandang sebagai ancaman oleh penguasa lokal. Apalagi, setelah hancurnya ekonomi pertanian akibat letusan Gunung Tomboro di Sumbawa. Menurut Ricklefs, hingga permulaan abad ke-19, para bangsawan di Bali masih mengekspor 2.000 budak setiap tahun. Namun, ia juga mencatat, naiknya kesuburan tanah akibat timbunan abu letusan Tomboro pada 1815 mendorong bangkitnya ekonomi pertanian yang tentu memerlukan tenaga kerja massal. Kaum aristokrat melihat peluang mengekspor hasil bumi, seperti kopi, nila, dan daging babi, yang dipasarkan ke Singapura Inggris. Rakyat kini dibutuhkan untuk menggarap lahan pertanian. Betapa tragis karena ternyata masyarakat kita perlu menunggu bencana alam besar untuk menghentikan perbudakan.

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000