Kejelasan Posisi dalam Relasi Segitiga
Kasus Nan (laki-laki usia 45 tahun)
Nan mengalami suatu tekanan emosional yang cukup berat setelah saat ini ia berada dalam ikatan perkawinan kedua dengan At (perempuan 42 tahun). Ketegangan dalam kehidupan berkeluarga berangkat dari kondisi At yang secara berlanjut mengeluhkan tentang Lin (perempuan 16 tahun), anak kandung Nan dari perkawinan pertamanya.
Menurut At, Lin adalah remaja yang malas, dan untuk itu, At selalu menyalahkan Su (ibu kandung Lin berusia 40 tahun) yang dinyatakan sebagai ibu yang tidak mampu mendidik anak. At berharap agar setiap hari Lin menata tempat tidurnya, membersihkan kamarnya, dan merapikan meja belajarnya. At benar-benar merasa kewalahan oleh perilaku Lin, yang membuat Nan dinyatakan sebagai ayah yang tidak mampu menyampaikan perilaku Lin kepada mantan istrinya.
At selalu mencoba menerapkan nilai dan ide-idenya terhadap Lin, bagaimana selayaknya sebagai seorang gadis. Alhasil, tentu saja relasi di antara ibu tiri dan anak tiri tersebut semakin hari memburuk. Situasi tersebut membuat Nan pusing dan bingung. Saat harus menempatkan diri dalam situasi yang karut-marut tersebut, Nan tidak mampu menempatkan posisinya secara jelas dan terperangkap dalam posisi di tengah dan sangat tidak menyenangkan dirinya.
Saat Nan menikahi At, ia berharap agar At bisa menempatkan diri sebagai ibu yang baik bagi Lin. Namun, Nan sendiri tidak pernah memberikan formulasi yang jelas tentang harapannya tersebut.
Konflik tak terselesaikan
Walaupun Nan tidak menyetujui cara At bersikap terhadap Lin, Nan juga takut untuk mengekspresikan perbedaan-perbedaan sikapnya terhadap istrinya. Ia khawatir, jika ia menyampaikan pikiran-pikiran dan ide-idenya kepada istrinya, maka istrinya akan meninggalkan dirinya.
Demi upaya memperbaiki perkawinan keduanya, ia seakan berjalan di atas kulit telur yang rapuh. Nan memandang Lin sebagai gadis remajanya yang menunjukkan sikap yang tidak baik terhadap ibu tirinya, sementara ibu tirinya berupaya keras juga untuk mengendalikan dirinya demi menjaga relasi dengan suaminya sebagai ayah Lin. Kondisi ini membuat Nan mencermati bahwa keyakinannya tentang peran seorang suami harus mencari nafkah, sementara istri menjadi ibu rumah tangga, tidak menjamin kondisi rumah tangganya berjalan baik.
Apabila kita cermati, tampak bahwa Nan kehilangan kemampuan mengambil posisi yang tepat dan tegas di antara tiga perempuan kunci, yaitu At, istri keduanya; Lin, anak gadisnya; dan Su, mantan istri yang juga ibu kandung Lin, dalam kehidupannya dan mengakibatkan dirinya berada dalam ketegangan emosi berlanjut. Kondisi seperti tersebut di atas adalah kondisi yang biasa terjadi pada hubungan segitiga. Tentu saja, jika kita berada di luar konteks mereka, lebih mudah untuk merasa simpati terhadap Nan yang kelihatannya adalah seorang laki-laki yang baik dan manis budi bahasanya, tetapi berada dalam situasi yang sangat tidak nyaman oleh banyaknya keluhan negatif dari At, tentang anak gadisnya. Situasi tersebut pula yang tanpa disadari mendorong posisi istrinya, tanpa terencana, berperan sebagai ibu tiri yang jahat dan sekaligus merasa putus asa.
Kekhawatiran akan kegagalan perkawinan yang kedua pun muncul yang membuat akhirnya Nan mencari konsultan perkawinan.
Belajar menghangatkan perasaan istri
Selama proses konseling dijalani, Nan belajar untuk mengungkapkan ide baru yang tidak pernah ia bayangkan. Pertama, Nan memerlukan cara menghangatkan relasi dengan istrinya yang membuat istrinya benar-benar merasa dicintai, merasa aman, merasa dihormati, dan menjadikan istrinya sebagai pusat dari perkawinan mereka.
Nan benar-benar secara total berjanji membuat perkawinannya berhasil dengan baik walaupun rumah mereka dipenuhi oleh ketegangan emosional. Nan mencoba segala cara untuk membuat kehangatan perasaan bagi At. Sesekali Nan menyiapkan sarapan favorit At dan merencanakan nonton film dengan At pada hari yang sama. Nan berusaha mengabaikan pemikiran tentang setiap kualitas perilaku istrinya yang membuat mereka tegang dan Nan pun berhenti mengomentari interelasi yang terjadi antara At dan anaknya, Lin.
Nan juga mengungkap kekagumannya terhadap At dan selalu menciptakan suasana di mana At bisa merasa sangat berharga dan dicintai. Pada dasarnya Nan merasa sangat berat untuk memusatkan aspek positif manakala ia merasa bahwa At dan anak gadisnya merupakan sumber ketidakbahagiaan kehidupan perkawinannya. Namun, Nan selalu berusaha membangkitkan suasana yang membuat At mengetahui bahwa ia sangat dicintai. Jadi, lepas dari konfliknya dengan Lin, At merasa penuh keceriaan dalam kehidupannya.
Nan mulai yakin bahwa mereka memiliki waktu istimewa dalam kebersamaan dengan At sebagai istrinya. Hal lain yang dilakukan oleh Nan adalah membuat At tahu bahwa At sangat dicintai dan terpilih dengan cara menciptakan batasan yang jelas dalam hubungan pernikahan mereka.
Untuk mengakhiri situasi konflik yang terjadi, Nan merasa harus menciptakan batasan yang tepat dalam relasinya dengan mantan istrinya (Su). Contohnya, Nan menyatakan kepada Su bahwa ia sedang memulai terapi yang membuat Su harus relasi telepon dengannya. Kalaupun mantan istrinya meneleponnya, maka respons At khusus hanya terkait dalam mendiskusikan perilaku anak perempuan mereka. Nan akhirnya mengatakan sering memutus pembicaraan telepon dengan Su dengan mengatakan: ”At dan saya sedang masak makan malam saat ini. Dan, setelah itu kami akan pergi bersama. Jadi, maaf, saya tidak punya waktu untuk bicara denganmu. Apabila keadaan memungkinkan, saya akan telepon kamu besok.”
Karena akhirnya Nan memahami bahwa sikap At yang negatif terhadap Su merupakan sesuatu yang diperoleh dari kesalahan Nan dalam cara berelasinya dengan Su, mantan istrinya tersebut.
Mengatasi perilaku Lin
Yang terpenting di sini adalah bagaimana Nan bisa menemukan cara bersikap sebagai ayah saat menghadapi Lin karena menghadapi Lin benar-benar menuntut intensitas emosi spesifik. Ternyata saat Nan memutuskan untuk menikahi At, Lin benar-benar merasakan peran ayah dalam kehidupannya hilang karena memang sudah menjadi kebiasaan ayah dan anak tinggal bersama di akhir pekan setelah Nan menceraikan ibunya.
Saat ini Lin menemukan dirinya berada di antara dua ibu yang bersaing dalam pola asuh. Betty Carter, seorang pakar dalam psikologi remaja, mengungkap bahwa anak remaja perempuan merupakan anak yang setia dan tulus bagi ibu kandungnya dan posisi ibu tiri adalah target pelampiasan kemarahan remaja putri.
Upaya Nan untuk mengambil alih tanggung jawab pengasuhan orangtua menjadikan situasi tersebut menempatkan At sebagai ibu tiri yang jahat di hadapan anaknya tersebut. Dengan situasi relasi yang memburuk antara anak perempuannya dan istrinya, memungkinkan Nan mengalami kesulitan dalam menentukan posisinya sebagai ayah dalam kebersamaan anaknya dengan ibu tirinya. Itu karena pada masa perkawinan pertamanya pada masa lalu, jika Nan mendapatkan kesulitan berelasi dengan anak perempuannya, maka Lin akan diserahkan kepada Su sebagai ibu kandung.
Dalam proses terapi, Nan diminta untuk bekerja mengklarifikasikan keyakinan dirinya tentang bagaimana mengasuh anak gadisnya dengan cara yang paling baik. Cara tersebut membuat Nan akhirnya mampu menyampaikan opininya terhadap mantan istrinya dan juga mengambil posisi terhadap kehadiran istri barunya dengan cara yang wajar.
Contoh komunikasi yang baru terhadap At adalah sebagai berikut: ”At, saya tahu bagaimana pentingnya masalah kebersihan bagi dirimu. Dan, saya akan menyampaikan kepada Lin tentang seringnya Lin mengotori dapurmu. Saya tidak akan membiarkan Lin melakukan hal itu lagi. Biarkanlah saya mengarahkan Lin untuk bersikap lebih rapi lagi. Tentang kebiasaannya meninggalkan kamarnya yang berantakan, saya akan atasi dengan cara menutup pintu kamarnya. Jadi, saya pikir pertengkaran di antara kalian berhenti sampai di sini.”
Selanjutnya Nan memberikan pelajaran untuk membuat Lin bersikap disiplin dan menerima bahwa pengasuhan anak remajanya dalam keseharian ada di tangannya. Nan tidak akan minta istrinya untuk mengambil alih pekerjaan pokoknya dalam mengasuh anak remajanya dan Nan juga meyakinkan Lin bahwa jika Lin membutuhkan segala sesuatu, maka Lin harus berkata langsung kepada dirinya dan jangan berharap ibu tirinya bisa melakukannya. Kecuali itu, Nan juga menekankan kepada Lin bahwa Lin tidak perlu memaksakan diri untuk menyukai ibu tirinya, tetapi Lin harus tetap memiliki rasa hormat terhadap ibu tirinya.
Memastikan batasan dan ikatan
Selanjutnya, Nan membuat Lin tahu agar ia tidak selalu berpikir negatif dengan menyatakan bahwa At tidak lagi mengkritik Su di depan Lin dengan cara mengalihkan pandangan At saat menyampaikan apa pun tentang Su. Sebab, Lin tetap sangat membutuhkan relasi yang baik dengan ibu kandungnya. Dengan demikian, kedua anak beranak tersebut bisa tetap bekerja sama. Apabila At tetap mengkritik Su, maka At justru akan secara berlanjut menjadi target pelampiasan kemarahan Lin, anak tirinya, padahal menjadikan At sebagai tempat pelampiasan kemarahan Lin adalah suatu kondisi yang tidak pada tempatnya dan akan terasa tidak adil bagi At.
Melalui proses konseling perkawinan, Nan akhirnya mampu meningkatkan dan mendefinisikan posisinya secara jelas dan tegas dalam relasi segitiga yang tercipta dalam keluarganya. Bravo!