Sejak 15 tahun ini saya menderita penyakit diabetes melitus. Setiap sebulan saya harus berkonsultasi dengan dokter. Sekarang saya dapat berkonsultasi dengan dokter puskesmas dan memperoleh obat diabetes yang saya perlukan. Namun, secara berkala, saya harus ke rumah sakit untuk penilaian keberhasilan pengendalian gula darah saya. Jadi, saya sudah mengenal banyak dokter baik di rumah sakit maupun di puskesmas. Kesan saya dokter yang muda lebih ramah dan dokter yang sudah tua lebih kurang ramah. Maaf saya menyatakan begitu karena pada umumnya dokter senior kurang mau menyediakan waktu jika saya bertanya.
Kami sebagai pasien mempunyai harapan kepada para dokter. Harapan pertama, dokter yang menolong kami hendaknya cerdas, terampil, dan teliti. Di samping itu, dokter mampu menjaga kerahasiaan, menjaga hubungan yang luwes dengan pasien, memberikan penyuluhan tanpa menggurui. Kami para pasien juga menghendaki dilibatkan dalam merencanakan pemeriksaan dan pengobatan. Memang pasien tak punya latar belakang pengetahuan mengenai kedokteran. Tetapi, dengan kami dilibatkan, maka kami tahu apa yang akan kami jalani serta tahu besar biaya yang harus dipersiapkan.
Pertanyaan saya kenapa sebagian dokter kurang ramah terhadap pasien? Apakah dalam pendidikan kedokteran pentingnya bersikap ramah dan bersahabat terhadap pasien tidak dilatihkan? Saya membaca banyak pasien yang berobat ke negara tetangga meski lebih mahal karena pasien dan keluarga merasa mendapat lebih banyak penjelasan dan kesempatan bertanya. Dokter juga lebih mudah dihubungi jika pasien memerlukannya. Apakah dalam era kemajuan komunikasi dewasa ini dokter masih enggan dihubungi pasien yang memerlukan? Terima kasih atas penjelasan dokter.
M di J
Saya termasuk dokter yang berusia lanjut. Jadi, mungkin termasuk dokter yang kurang ramah atau kurang bersahabat dengan pasien. Kurikulum kedokteran memang mengalami perubahan dari masa ke masa. Sewaktu saya mahasiswa dulu, pendidikan kedokteran berorientasi pada kedokteran komunitas. Artinya kami para calon dokter disiapkan terutama untuk bekerja di masyarakat. Tentu juga diajarkan cara menghadapi pasien.
Zaman saya dulu, mahasiswa mendapat pengalaman klinik yang melimpah. Sewaktu menjadi mahasiswa di klinik, kami mendapat kesempatan untuk menolong persalinan di rumah sakit, bahkan juga di rumah pasien. Kami terampil melakukan tindakan sirkumsisi (khitan), bahkan juga mampu melakukan operasi usus buntu. Sudah tentu semuanya dengan pengawasan dan bimbingan. Namun, setelah menjadi dokter, pengalaman tersebut amat berharga sebagai modal kemampuan untuk bekerja di daerah terpencil. Jumlah dokter waktu itu amat sedikit sehingga dokter yang baru lulus dapat langsung menjadi kepala dinas kabupaten.
Sekarang kepedulian terhadap hak-hak asasi manusia mulai meningkat. Pasien hanya boleh ditolong oleh tenaga yang sudah mempunyai kemampuan untuk itu. Mahasiswa kedokteran tidak boleh lagi melakukan khitan massal meski sebenarnya dia mungkin mampu. Dia belum mendapat sertifikat untuk tindakan tersebut.
Isu tentang keselamatan pasien serta penghormatan terhadap hak-hak pasien juga makin disadari. Akibatnya, kurikulum kedokteran juga berubah. Mata ajaran komunikasi dokter-pasien menjadi mata ajaran yang penting. Dokter juga harus menjaga keselamatan pasien. Undang-undang praktik kedokteran mengatur agar keselamatan pasien serta hak-hak pasien terjamin. Jadi, Anda mungkin benar, dokter yang relatif baru lulus telah mendapat pendidikan yang memadai mengenai komunikasi dokter-pasien. Mereka mungkin lebih terampil dalam berkomunikasi. Mereka memahami pentingnya informed consent (persetujuan tindakan medis oleh pasien). Peraturan rumah sakit juga menjamin agar semua dilakukan sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang ada.
Namun, di luar keterampilan komunikasi, masih ada sikap penting yang harus dipunyai dokter. Setiap dokter hendaknya berakhlak mulia serta mencintai tanah airnya. Dalam suasana masyarakat yang mementingkan materi, dokter harus tetap menjunjung tinggi sumpahnya, menghargai kehidupan, dan mengutamakan kepentingan pasien. Dengan kata lain, dokter memang harus ramah, bersahabat dengan pasien, akhlaknya baik, serta tidak terlalu terpengaruh oleh materi.
Guru-guru saya telah memberikan teladan mengenai sikap dokter terhadap materi. Banyak profesor terkenal yang menjadi guru-guru kami dulu hidup dalam kesederhanaan. Padahal, jika beliau mau, dengan mudah beliau akan menjadi kaya raya. Dokter zaman sekarang memang menghadapi dilema. Di satu sisi, dokter diharapkan berjiwa sosial. Namun, di sisi lain, dokter tidak mendapat keistimewaan dalam kewajibannya sebagai warga negara. Dia harus membayar pajak, menyekolahkan anak, menghidupi rumah tangga seperti warga lain. Namun, kita berharap dokter dapat memelihara hati nuraninya, dapat hidup di tengah masyarakat yang mementingkan materi, tetapi tidak lupa pada sumpah dokternya.
Bagaimana dengan perubahan sikap pada dokter generasi lama? Apakah mereka akan serta-merta mengubah sikap? Perhimpunan profesi kedokteran, misalnya Ikatan Dokter Indonesia, telah berusaha keras untuk dapat menumbuhkan sikap komunikatif serta memelihara keselamatan pasien ini kepada para dokter lulusan terdahulu pada berbagai kesempatan. Perhimpunan
profesi kedokteran mengadakan pengembangan profesi berkelanjutan yang tidak hanya membahas perkembangan baru dunia kedokteran dari segi klinik, tetapi juga dari segi manajemen kesehatan dan sosial. Untuk memperpanjang surat izin praktik, dokter wajib mengikuti acara pengembangan profesi berkelanjutan ini. Jika dokter kurang mengikuti sehingga tak memenuhi persyaratan, surat izin praktiknya tidak diperbaharui.
Di sisi lain, masyarakat juga harus menjaga agar dokter dapat menjalankan tugasnya sesuai dengan fungsinya. Jangan meminta hal yang berlebihan. Misalnya meminta surat sakit, padahal keadaan kesehatannya tidak memerlukan istirahat di rumah. Jangan pula minta obat-obat yang tidak perlu seperti obat penenang karena dokter yang dianggap baik hati karena menuruti pasien justru dapat terkena sanksi.
Dulu pernah diwacanakan praktik kedokteran akan diatur melalui undang-undang konsumen. Namun, kalangan kedokteran berhasil meyakinkan masyarakat bahwa hubungan dokter-pasien tak sama dengan hubungan pelanggan dan pemberi pelayanan. Salah satu perbedaan yang nyata adalah pada praktik kedokteran, dokter tak dapat menjanjikan hasil, tetapi hanya dapat melakukan upaya terbaik untuk pasien.
Semoga keterangan ini dapat menjawab pertanyaan Anda. Saya mengucapkan terima kasih kepada Anda yang telah menunjukkan kepedulian pada masalah layanan dokter, yang akan dapat meningkatkan mutu layanan kedokteran di Tanah Air.