logo Kompas.id
Akhir PekanJalan Seni, Nubuat Tujuh...
Iklan

Jalan Seni, Nubuat Tujuh Presiden

Oleh
Wayan Kun Adnyana
· 5 menit baca

Mobil Volkswagen warna biru muda, beratap terbuka, seperti biasa pagi itu memasuki kampus Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia ASRI Yogyakarta dengan suara menderu. Berhenti tidak jauh dari kerumunan mahasiswa, seorang berdandan necis, bertopi ala koboi turun dari mobil. Ia menyapa mahasiswa-mahasiswa itu dengan ramah. Kata-kata penyemangat keluar deras dari bibirnya yang selalu mengembang senyum. Sapaan yang diiringi kelakar ala seniman. Ketawa pun pecah sebelum kemudian ia beranjak menuju ruang kantornya. Itulah keakraban pelukis terdepan Indonesia, I Nyoman Gunarsa, saat berinteraksi dengan mahasiswa, seperti dituturkan kritikus Hendro Wiyanto mengenang sosok dosennya itu ketika Hendro mengambil kuliah di Kampus Gampingan mulai tahun 1979 hingga tengah 1980-an.Di ruang kelas, sosok kelahiran Klungkung, 15 April 1944, itu merupakan dosen yang berwibawa. Selain mengajar seni lukis, ia juga mengajar sejarah seni rupa. Ia sosok motivator andal bagi mahasiswa-mahasiswanya. "Menjadi seniman perlu kerja keras, tidak boleh melempem dan loyo. Seniman harus terdepan sekaligus merakyat. Menjadi seniman tidak boleh minder, mesti tampil," demikian kata-kata yang acap muncul menyemangati. Gunarsa menjadi dosen di STSRI ASRI Yogyakarta pada 1967-1994. Ia juga pernah menjadi dosen luar biasa di STSI/ISI Denpasar di periode awal pendirian prodi seni murni. Pernah pula menjadi anggota Dewan Penyantun ISI Denpasar. Gunarsa mendobrak pendidikan ruang kelas yang kaku dengan mengajak para mahasiswa ke luar kampus. Ia memperkenalkan praktik seni yang sesungguhnya dengan pergi menyambangi para maestro dan empu seni berkarya. Mengajak mahasiswa ke Bali untuk bertemu Lempad, Han Snel, Blanco, dan lain-lain. Sikap mental kesenimanan dilatih dengan melihat dan bergaul dengan seniman di ruang sosial. Ia tidak segan-segan melempar karya mahasiswanya yang dirasa belum menyentuh cita rasa "seniman". Sekiranya Gunarsa merupakan penerus "jiwa ketok" S Sudjojono. Seni lukis mesti ekspresif, spontan, ada spirit pribadi, dan memunculkan karakter kebudayaan lokal. Mahasiswa digiring memasuki pengalaman estetis seperti itu setiap waktu. Jadi, ingatan tentang sosok Gunarsa menjadi berderet pengalaman romantis; narasi dan etos perjuangan untuk tumbuh menjadi seniman sungguh.Sedemikian dekat dan melegenda di hati para mahasiswa, yang sebagian besar kini telah menjadi seniman terpandang, juga beberapa menjadi kritikus dan kurator seni rupa, begitu mengetahui Gunarsa berpulang Minggu (10/9) lalu, sontak di jejaring media sosial mengemuka kata-kata penghormatan dan doa: "kepada guruku, semoga mendapat tempat mulia di alam sana". Sepertinya kata "guru" menjadi pilihan paling favorit dari ucapan mereka yang pernah mengalami pendidikan, baik di ruang kelas maupun di ruang-ruang informal. Kata "guru" tentu saja bermakna tentang sosok panutan yang menginspirasi. Kepada PresidenGunarsa tidak hanya memilih menjadi dosen yang sungguh, tetapi juga pelestari artefak kebudayaan bangsa. Ia mengawali pendirian museum seni lukis kontemporer Indonesia di Papringan, Yogyakarta, 1987, sebelum kemudian koleksi itu diboyong ke Bali dan ditambah koleksi baru dipajang di ruangan bangunan anyar yang pada 4 Agustus diresmikan Presiden Joko Widodo. Sebelumnya, di lokasi yang sama, di Takmung, Klungkung, menyatu dengan pekarangan studionya, diresmikan museum khusus seni lukis klasik Bali (1994), termasuk koleksinya yang terdiri atas aneka karya pahat: patung kayu, topeng, pintu antik, dan wayang kulit.Gunarsa juga pencinta seni pertunjukan Nusantara. Ia mendirikan panggung terbuka dengan candi megah Asta Brata. Di panggung ini pernah dipergelarkan lomba tarian barong kolosal. Aneka gamelan kuno dan keris juga menjadi koleksi Nyoman Gunarsa Museum (sebelumnya Museum Seni Lukis Klasik Nyoman Gunarsa).Kala pidato pengukuhan gelar Doktor Honoris Causa yang diberikan ISI Yogyakarta kepada Gunarsa, 14 Juli 2012, ia menyatakan dengan lantang bahwa harapan publik terhadap seniman tidak semata terus berkarya dengan kualitas yang terjaga, tetapi juga dimintai tanggung jawab sosial untuk menyangga keberlangsungan ekosistem kebudayaan. Spirit untuk menjadi bagian masyarakat menjadikan Gunarsa aktif dalam berbagai hal, seperti permuseuman, pendidikan, serta organisasi seni dan kemasyarakatan.Dalam bidang seni rupa, ia tercatat mendirikan Sanggar Dewata Indonesia pada Desember 1970 yang anggotanya sekarang sampai ratusan perupa. Termasuk memberikan penghargaan Lempad Prize bidang seni rupa dan penggerak kebudayaan. Stamina berkarya tidak pernah surut walaupun tubuhnya berulang kali terserang sakit. Ia pernah stroke dan terkena serangan jantung. Namun, daya perjuangan seni tidak sedikit pun meredup. Ia melukis benar-benar sampai akhir hayat. Ia memperingati 60 tahun berkarya dengan menggelar pameran tunggal "60 Tahun Nyoman Gunarsa Berkarya-Ode Bagi Negeri" di Bentara Budaya Jakarta, 14-21 Agustus baru-baru ini. Selain berkarya tiada henti, ia juga termasuk pelukis baik hati. Gunarsa selalu menghadiahkan sketsa/gambar potret wajah semua sahabatnya yang ia lukis on the spot. Ia seperti berbagi kebahagian atas bakat seni yang dimiliki. Ia seakan melabrak adagium pasar bahwa karya seni mesti dibuat sedikit jumlah, bahkan kalau bisa hanya untuk kalangan terbatas. Gunarsa justru memilih jalan berbagi. Ia menghadiahkan hasil karyanya kepada mereka yang berjasa.Karya Gunarsa terakhir berjudul Asta Brata, mengisahkan pertunjukan wayang kulit yang mana ketujuh Presiden Republik Indonesia tampil sebagai pemain gamelan. Asta Brata merupakan konsep kepemimpinan yang di dalamnya berisi ajaran bahwa pemimpin mesti mengaktualisasikan sifat Dewata. Ajaran yang disampaikan Rama kepada Laksamana, di dalamnya terkandung sifat memberi kesejukan, adil, menerangi, lembut, luhur, menjadi panutan, bijaksana, dan memiliki semangat berkobar-kobar. Gunarsa seperti hendak menyatakan, pemimpin itu lahir dan tumbuh dengan jiwa-jiwa besar yang berwatak luhur tadi untuk itu hendaknya selalu eling (sadar) kepada yang dipimpin. Selamat jalan Pak Nyoman, maestro seni lukis Indonesia.

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000