logo Kompas.id
Akhir PekanDialog Antarkarya Seni
Iklan

Dialog Antarkarya Seni

Oleh
Sudarmoko
· 5 menit baca

Pada 1977, Nasyah Djamin menerbitkan sebuah buku cerita untuk anak-anak berjudul Affandi Pelukis yang diterbitkan Aqua Press, Bandung. Buku ini berisi biografi Affandi yang dikemas dalam bentuk fiksi, tetapi berisi unsur kesejarahan yang bertujuan untuk mengenalkan Affandi kepada pembaca yang duduk di sekolah dasar. Tokoh utamanya adalah Agus, murid sekolah dasar yang ingin tahu tentang pelukis Affandi karena guru menggambarnya menyebut nama itu sebagai pelukis yang mendapatkan gelar doktor dari sebuah universitas di Singapura. Juga ada tokoh paman Agus yang mengantarkannya mengunjungi Museum Affandi dan Juminten, teman pamannya Agus, yang menulis tentang tokoh Affandi dan menjadi juru cerita selanjutnya. Selebihnya adalah cerita biografi Affandi sejak lahir, perjalanan karier melukis, kehidupan, prestasi, dan karya-karyanya. Karya sastra lain yang membicarakan tokoh seni rupa adalah sebuah cerpen yang ditulis Usmar Ismail berjudul "Permintaan Terachir". Cerpen ini dimuat dalam buku kumpulan cerpen eksperimental yang diterbitkan Balai Pustaka pada 1946, Pantjaran Tjita.  Dikisahkan, seorang calon pelukis yang terinspirasi sebuah lukisan berjudul "Goeroe dan Moerid". Ia kemudian diam-diam menjadikan pelukis gambar itu sebagai gurunya. Ia menjadikan lukisan itu sebagai standar dan model dari lukisan-lukisan yang dibuatnya. Hingga akhirnya ia mendapatkan nama dalam dunia seni rupa, diundang ke luar negeri untuk belajar melukis. Ketika kembali, ia mendapati lukisan serupa yang dijual oleh penjual lukisan keliling dengan harga murah. Akhirnya ia menelusuri pelukis aslinya dan ditantang untuk melukis agar ia tahu seberapa besar capaian pelukis baru itu. Namun, yang disodorkan kemudian ketika mereka berjumpa untuk terakhir kalinya adalah lukisan sang guru itu, yang terpajang di dinding rumah pelukis tua tersebut, yang merupakan sebentuk kehormatan kepada pelukis tua yang menginspirasinya.   Dua karya sastra di atas hanyalah sedikit contoh dalam kesusastraan Indonesia, yang membicarakan tokoh seni rupa, sastrawan menulis tentang pelukis atau dunia seni rupa. Dalam dunia perfilman, misalnya film-film produksi Hollywood, tokoh-tokoh seni dijadikan tema yang menarik. Atau juga film-film yang berangkat atau diadaptasi berdasarkan karya sastra. Demikian juga, misalnya, puisi atau cerpen yang ditulis berdasarkan penafsiran terhadap lukisan atau karya seni yang lain. Dalam halaman cerpen Kompas yang terbit tiap minggu, ilustrasi yang menyertainya bahkan dikerjakan berdasarkan interpretasi atau punya hubungan dengan cerita yang dihadirkan, serta muncul dalam ruang dan waktu yang bersamaan. Seni lintas media mungkin dapat diperbincangkan lebih jauh, dengan mengungkapkan berbagai praktik yang sudah dilakukan selama ini.Demikian juga dengan seni pertunjukan, yang kadang mengolah tema dari karya seni lain dan, yang pasti, memerlukan karya seni lain, seperti musik dan rupa untuk mendukung pertunjukannya. Dialog dan hubungan antarseni seperti tersebut tidak hanya persoalan intertekstualitas karya, tetapi juga menunjukkan hubungan antarseni dan seniman. Secara mendasar, setiap genre kesenian memiliki kesamaan antara yang satu dan yang lain, yaitu pada fungsinya sebagai hiburan dan media pengajaran/pendidikan. Dialog antarkarya seni seperti menguatkan komunikasi yang terjadi pada tingkat seniman, misalnya pada kongres, seminar, atau sekadar pertemuan sehari-hari di warung kopi. Para seniman dapat mempertemukan bahan pembicaraan dan bahkan membangun kerja sama dalam menciptakan karya seni. Seni dan ruang sosial Dari dialog antarkarya seni dan seniman yang telah disebutkan menunjukkan bahwa seni hidup dalam kebersamaan. Sedikit sekali ada seni atau seniman yang dapat hidup secara mandiri. Dalam konteks kehidupan kesenian kita, tidaklah aneh jika terdapat konflik atau beda pendapat antarkarya seni, genre seni, dan seniman dalam beberapa hal. Demikian juga dalam hal perbedaan produksi karya seni, publik, dan juga distribusi serta pasar yang tersedia. Masing-masing memiliki kekhasannya. Pada satu kesempatan, saya pernah mendapat kesempatan dari IVAA Yogyakarta untuk meneliti tentang sejarah komunitas seni rupa di Sumatera Barat. Dari proses dan hasil penelitian, saya berkesimpulan bahwa dialog antarseni sudah terjadi sejak awal. Para seniman dari berbagai jenis latar belakang sering bertemu dan berdialog, bahkan bekerja sama untuk menyelesaikan proyek karya seni, atau sebelumnya dalam memobilisasi semangat rakyat ketika masa penjajahan. Contoh yang saya teliti adalah kelompok Seniman Muda Indonesia (Semi) yang berdiri di Bukittinggi (1947). Sebuah kelompok seniman muda yang juga terpengaruh dari gerakan para seniman muda di Yogyakarta yang didirikan oleh Sudjojono, Affandi, dan lain-lain pada masa itu, yang diikuti oleh para seniman di daerah-daerah lainnya. Motor utama Semi adalah para pelukis, pematung, sastrawan, seperti Navis, Djanain, Zetka, Delsy Syamsunar, dan Motinggo Busye. Di kelompok Semi ini, para penggiatnya menggerakkan seni rupa, teater, lukis, dan sastra melalui berbagai kegiatan, seperti pelatihan, pementasan, pameran lukisan, sandiwara radio di RRI Bukittinggi, juga menerbitkan buletin sastra. Di beberapa tempat lain di Indonesia, sejak saat itu hingga kini juga tidak jauh dari apa yang dilakukan oleh Semi. Kesenian adalah ruang sosial bersama antara seniman dan masyarakat, antara seniman dan seniman lainnya, serta antarkarya seni. Usia karya seni, yang terseleksi nilainya, biasanya jauh lebih panjang dari senimannya. Dialog yang dibangun karya seni melampaui sekat waktu.Oleh karena itu, kesenian sebagai sebuah institusi dibangun oleh para seniman dan karya seni yang masih berada pada satu ranah atau disiplin. Banyak bidang dan sejarah kesenian yang saling beririsan, bersambungan, dan bahkan saling berkelindan. Pada titik-titik tertentu, bahkan satu sumber penciptaan dapat diolah dan menghasilkan berbagai karya seni. Program yang dilakukan oleh Studio Hanafi bekerja sama dengan pemerintah daerah Tulang Bawang Barat, misalnya, menghasilkan beberapa jenis karya seni dengan melibatkan sejumlah seniman lintas disiplin. Seni tidak hanya membuat pertemuan antara seniman dalam ruang yang besar dan formal, seperti seminar, pameran, atau kongres. Namun, ia juga dapat membawa silaturahim dalam institusi seni yang kecil, di sanggar atau komunitas, atau di lapangan. Leon Agusta menulis sebuah puisi tentang pelukis Nashar dalam antologi Gendang  Pengembara (2012) berikut ini. Lahir ke dalam perut kanvas/Ia takkan merusak bingkai/Rumahnya sendiri// Digalinya warna dari gua-gua laut/ Dari pantai siang ke malam kecintaan/ Garis-garis meliuk pintas memintas/ Hingga bumi terangkat jauh/Langit merendah turun/Lepas dari perangkap nasibnya// Di kakinya beribu gunung runtuh/ Menimbun kota-kota angkuh/Gunung dan kota lain terus menjadi/Dibersitkan lidah api/ Dari ujung jarinya. Dari puisi ini, setidaknya kita dapat mengesan bahwa sesama seniman sendiri kadang menuliskan atau membincangkan satu sama lain dalam karya mereka. Tentu dengan karya yang estetis. Komunikasi atau dialog yang saling membesarkan.  Sudarmoko, Mahasiswa Doktoral di LIAS, Universitas Leiden, Belanda

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000