logo Kompas.id
Akhir PekanKita di Panggung Dunia untuk...
Iklan

Kita di Panggung Dunia untuk Apa dan Siapa?

Oleh
Suwarno Wisetrotomo
· 7 menit baca

Penting untuk merancang secara cermat prosedur dan detail bagaimana terlibat di forum-forum internasional. Tentu, tak sekadar terlibat, tetapi bagaimana keterlibatan itu memiliki gema, pengaruh, atau dipercakapkan dalam konteks wacana. Lebih jauh dari itu adalah bagaimana partisipasi itu juga memikul tanggung jawab sebagai representasi "kita" Indonesia. Partisipasi "kita"-warga dan bangsa Indonesia-di berbagai forum dan panggung dunia bukanlah cerita baru. Pada 1960-an, ketika Indonesia sebagai negara merdeka masih berkutat menata persoalan sosial, ekonomi, dan politik yang penuh turbulensi, Presiden Soekarno dengan sangat yakin mengirim tim kesenian Indonesia ke Eropa Timur dan Asia untuk pameran dan pentas seni. Sama pentingnya dengan peristiwa itu adalah ketika Soekarno memutuskan membangun sejumlah monumen; Monumen Tugu Muda (di Semarang, 1953), Monumen Pahlawan Tak Dikenal (di Digul, Papua, 1953), Monumen Selamat Datang, Monumen Dirgantara, Monumen Pembebasan Irian Barat (di Jakarta, 1959), membangun stadion olahraga (kini Gelora Bung Karno) di Senayan, Jakarta, hotel, dan infrastruktur penunjang lainnya. Kini, kita mengerti apa gunanya dan untuk siapa semua itu dilaku- kan; untuk membangun penanda peradaban, membuka kesempat- an hadir di panggung dunia bagi anak bangsa yang berprestasi, dan demi martabat bangsa. Bertahun kemudian, "kita" terus berupaya menjaga martabat itu dengan berpartisipasi pada peristiwa-peristiwa olahraga, seni, dan ilmu pengetahuan di berbagai negara. Saya akan menyebut sedikit contoh untuk titik pijak percakapan berikutnya. Pelukis Affandi dipilih untuk mewakili Indonesia pada Sao Paolo Biennale II, Brasil, kemudian ia diundang oleh kurator Venice Biennale, Italia (keduanya pada 1954), sebuah pameran dua tahunan yang paling tua dan prestisius. Baru kemudian, setelah setengah abad lebih, Indonesia hadir kembali di Venice (2011, 2013, 2015, 2017) dengan sejumlah masalah. Pada 1990-1991 diselenggarakan Pameran Kebudayaan Indonesia di Amerika Serikat (KIAS) juga disertai sejumlah drama. Kemudian Pameran Kebudayaan Indonesia di Belanda (Pakib) tahun berikutnya juga dilengkapi dengan perdebatan. Baru saja berlalu adalah Frankfurt Book Fair (2016) dan yang akan datang adalah Europalia (2018) yang menempatkan Indonesia sebagai tamu kehormatan.Demikian pula dunia olahraga. Beberapa waktu lalu, kita dapat mengikuti drama pebalap Indonesia Rio Haryanto yang mirip lekuk-liku sirkuit dengan segenap ketegangannya. Proses keikutsertaan Rio pada laga Formula 1 demikian dramatis karena terkait biaya yang sangat besar, peran negara, peran sponsor, karier dan prestasi seorang warga negara, serta sepotong harga diri sebuah negara. Akan tetapi, sejumlah unsur itu (negara, sponsor, karier, dan harga diri) tak mudah dipertemukan. Bahkan, akhirnya Rio berada dalam posisi diberhentikan dari tim pebalap karena tidak berhasil memenuhi kewajiban biaya laga. Masih hangat dipercakapkan bagaimana "kita" di forum olahraga Asia Tenggara ataupun Asia (apalagi dunia/Olimpiade) cenderung semakin merosot prestasinya.Tentu saja sengaja saya kesampingkan sejumlah pencapaian di bidang seni, sains, dan olahraga lainnya yang mendulang kejayaan; seperti sejumlah kelompok paduan suara, sejumlah medali emas yang diraih para pelajar pada olimpiade sains/matematika, beberapa nomor bulu tangkis yang mendulang prestasi puncak, meraih emas dan Indonesia Raya diperdengarkan menyertai bendera Merah Putih dinaikkan di puncak tiang. Di kesampingkan bukan karena tak penting, sebaliknya, sungguh penting dan bahkan seharusnya dapat dijadikan model. Namun, karena kisah sukses itu masih belum menjadi virus yang menyebar secara nasional dan sistemik, maka bidang seni rupa, misalnya, dan olahraga, seperti SEA Games dan Olimpiade, melakukan pengulangan kekeliruan yang tak perlu. Membicarakan yang masih jauh dari berhasil dan kejadiannya terus berulang saya anggap mendesak karena terkait dengan strategi nasional (= strategi kebudayaan)."Kita" yang rapuh Rio Haryanto (F1), SEA Games, Asian Games, Venice Biennale (dan bienial internasional lainnya) dapat dijadikan refleksi yang mendalam untuk melihat (mungkin juga mengukur) derajat (dan proses) "ke-kita-an" kita sebagai bangsa dan negara Indonesia. F1, SEA/Asian Games, bienial internasional, dan sejenisnya adalah panggung/forum dunia. Partisipasi di forum itu seyogianya merupakan representasi negara bangsa. Mereka mewakili sebuah bangsa dan negara yang terkait dengan upaya menegakkan harga diri sebuah bangsa-negara. Mereka semestinya pula dibiayai oleh negara secara penuh. Karena memang mereka bukan mewakili atau mengatasnamakan kelompok tertentu atau atas dasar suka-suka sebuah kelompok tertentu.Rio Haryanto, Susy Susanti, Owi dan Butet, Heri Dono, Entang Wiharso, Tisna Sanjaya, Nyoman Erawan, Lenny Ratnasari Weichert, atau Lugas Sylabus, sejauh mereka hadir di forum internasional dan melibatkan negara (melalui Dinas Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan atau kementerian terkait), dapat dikatakan atas nama negara-bangsa. Artinya, perlu dipikirkan serius adalah perkara prosedur, isi, dan isu yang harus "disuarakan", apakah memang "layak" dipresentasikan di panggung dunia. Di bidang olahraga, prosedur dan kelayakan itu sudah jelas, tetapi keberpihakan (baca: komitmen) negara dan pemangku kepentingan lainnya yang belum jelas. Di bidang kesenian/seni rupa, terkait prosedur/mekanisme dan kelayakan, rupanya perlu lebih jelas agar siapa pun yang dikirim ke forum itu memang pantas. Prosedur diupayakan terbebas dari semangat "geng"/kelompok sempit, dan seyogianya lebih terbuka. Pilihan seniman dan argumentasinya sebaiknya terang dan terbuka terhadap masukan atau kritik. Pemerintah (melalui institusi terkait) harus benar-benar menjadi fasilitator yang terbebas dari kepentingan (kelompok tertentu), kecuali hanya untuk atas nama negara-bangsa. Aspek kelayakan memang bisa diperdebatkan, tetapi setidaknya seniman yang dikirim adalah yang mampu mengusung isu cerdas, piawai dalam karya, mengundang pemaknaan, dan berdampak pada wacana. Sekadar mengungkap ingatan kecil; partisipasi lima perupa (Entang Wiharso, Sri Astari, Titarubi, Eko Nugroho, Albert Yonathan) dengan tajuk Sakti, pada Venice Biennale 2013, dan Heri Dono dengan judul karya Trokomod pada Venice Biennale 2015, yang diorganisasi secara profesional oleh institusi Bumi Purnati, seingat saya mampu menaklukkan ruang di Arsenale, Venice, dan mendapat sambutan hangat, serta dipercakapkan oleh banyak pengamat. Ketika pada suatu hari bertemu beberapa kurator dan pengamat dari mancanegara, kemudian membincangkan Indonesia tentang kedua peristiwa tersebut dengan positif dan kritis, saya merasa berlipat ganda semangat dan jiwa "ke-kita-an" kita. Terlibat pada peristiwa seni internasional, menggunakan biaya negara (artinya menggunakan uang rakyat), tetapi masih dipertanyakan sosok dan karyanya, tak berdampak di level nasional maupun internasional, dapat diduga terjadi kekeliruan proses sejak awalnya. Tak sepatutnya, siapa pun yang berperan justru menghindar, mencari kambing hitam, apalagi antikritik. Jika seperti itu yang terjadi, sudah sepantasnya dilakukan koreksi. Kemudian, siapa pun seniman yang dipilih sepantasnya menjadi percakapan publik dan bersama-sama kita dorong serta kita bela karena mewakili kita semua. Bukan sebaliknya dipertanyakan oleh sebagian publik; siapa dia, karyanya seperti apa, menyuarakan apa, bagaimana respons publik (pengamat) internasional, apa respons komite/kurator setempat? Apa yang menimpa Rio Haryanto atau kekeliruan yang tak perlu (dan terus berulang) pada partisipasi "kita" di panggung dunia sungguh pelajaran penting. Sepertinya ada yang keliru secara sistemik terkait dengan persoalan bagaimana hadir dalam "pergaulan" antarbangsa di panggung dunia. Yang pertama adalah soal visi, misi, komitmen, dan integritas banyak pihak bahwa berpartisipasi pada panggung dunia adalah soal menentukan "wakil" dan soal "martabat" bangsa-negara. Ganefo (1963), misi kesenian ke luar negeri (1960-an), KIAS (1990-91), Affandi di Venice Biennale (1954), dan sebagainya berlangsung dengan baik karena komitmen dan integritas aparatus negara serta semua pendukungnya. Kemudian didukung oleh semangat "kita", "ke-kita-an", atau sebutlah nasionalisme. Berikutnya adalah persoalan strategi, bagaimana membawa diri, dan apa yang dibayangkan ingin diraih. Sumber daya manusia dan sumber daya karya semestinya bukan lagi persoalan karena tersedia cukup pilihan yang bermutu. Akan tetapi, jika pilihan tersedia dan "kita" tak juga meraih prestasi dan mampu berkontribusi, sekali lagi, ada yang perlu dibenahi dan ditata sejak awal. Komitmen pembiayaan, prosedur, kriteria, dan atas nama "kita" semestinya menjadi isu bersama dan merupakan aspek penting yang perlu disepakati. Kesenian dan olahraga menjadi perekat warga, sebagai olah jiwa, olah karya, olah cipta, dan dapat digunakan untuk melihat derajat peradaban sebuah bangsa. Ajang piala dunia sepak bola, forum olimpiade olahraga (termasuk berbagai ajang kompetisi), forum pameran seperti Venice Biennale (termasuk bienial-bienial yang tersebar di berbagai kota/negara) menunjukkanpencapaian prestasi dan derajat budaya setiap negara peserta. Pendek kata, kita (Indonesia) pernah bisa menjadi bagian peristiwa panggung dunia itu secara bermartabat. Ke depan, semestinya semakin bisa. Bukan sebaliknya.Suwarno Wisetrotomo, Dosen di Fakultas Seni Rupa & Pascasarjana Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, serta Kurator Galeri Nasional Indonesia

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000