logo Kompas.id
Akhir PekanKemungkinan Mengembangkan...
Iklan

Kemungkinan Mengembangkan Wisata Berobat

Oleh
DR SAMSURIDJAL DJAUZI
· 6 menit baca

Saya baru saja menemani ayah saya operasi di suatu rumah sakit swasta di Bangkok. Ayah terjatuh dan tangan kanannya patah. Kami berkonsultasi di rumah sakit swasta di kota kami dan ternyata biaya operasinya cukup mahal. Keluarga saya baru saja kembali berobat dari Bangkok dan menyampaikan bahwa operasi di Bangkok jauh lebih murah, juga layanannya ramah dan menyenangkan. Ayah saya tertarik dan saya ikut menemani. Saya membuat janji dan mengirim data ayah saya, termasuk foto rontgen, laboratorium, dan sebagainya. Kami mendapat balasan untuk datang sehari sebelum operasi. Kami dijemput di bandara oleh pihak rumah sakit. Saya boleh tidur sekamar dengan ayah di rumah sakit. Di rumah sakit tersedia tempat tidur untuk penunggu dan juga ada microwave untuk pemanas makanan. Sehari sebelum operasi, ayah diperiksa ulang dan esok harinya dilakukan operasi. Di rumah sakit ayah dirawat selama tiga hari lalu boleh pulang. Kami juga dibuatkan rujukan untuk melanjutkan terapi di Indonesia.Saya sempat berjalan-jalan di rumah sakit. Di semua ruang tunggu disediakan minuman dan makanan kecil. Ruangan tunggu nyaman. Kantin rumah sakit terdiri atas aneka masakan, mulai dari masakan Asia sampai masakan Eropa dan Amerika. Harganya tak terlalu mahal. Rumah sakit juga menyediakan penerjemah sekiranya kita tak dapat berbahasa Inggris. Saya lihat banyak sekali penderita dari Timur Tengah. Di rumah sakit di Bangkok ini bahkan tersedia makanan halal. Juga yang menarik bagi saya adalah keterpaduan layanan rumah sakit dengan wisata. Sebagai penunggu, saya dapat memilih berbagai pilihan wisata yang tersedia di lobi rumah sakit. Saya juga sempat melihat perwakilan imigrasi. Penderita atau penunggu yang kehabisan masa tinggal dapat memperpanjang visa di rumah sakit tak perlu ke kantor imigrasi. Bagaimana dengan biaya rumah sakit? Ternyata biaya operasi di rumah sakit di Bangkok ini jauh lebih murah daripada di Indonesia. Meski ayah tinggal di kamar VIP, harga obat, ongkos operasi, dan honor visit dokter sama, tak bergantung pada VIP atau kelas tiga. Jadi, tak ada subsidi silang seperti di Indonesia. Setelah saya hitung, biaya berobat di rumah sakit ini ditambah dua hari lagi menginap di hotel di Bangkok ditambah biaya pesawat terbang kami berdua ternyata hampir sama dengan biaya operasi di Indonesia. Padahal, saya juga sudah menikmati tur kota Bangkok, ke pasar terapung, juga ke Sunday Market. Dalam hati saya bertanya-tanya, kenapa biaya berobat di Bangkok lebih murah? Apakah mereka mendapat subsidi dari pemerintah? Di Thailand telah terbangun kesatuan layanan medik, wisata, bahkan dengan imigrasi. Apakah di Indonesia hal serupa tak dapat dikembangkan? Jika negara kita ingin mengembangkan wisata kesehatan, apakah yang akan menjadi halangan menurut Dokter? Terima kasih atas penjelasan Dokter. M di S.Wah, pengalaman Anda sungguh menarik dan sekaligus mungkin menjadi pemicu untuk mulai memikirkan layanan wisata kedokteran di Indonesia. Memang wisata kedokteran telah dikembangkan di banyak negara, seperti China, India, Thailand, bahkan juga di Iran dan Kuba. Biaya perjalanan dan akomodasi yang semakin murah merangsang pertumbuhan wisata kedokteran ini. Pasien dan keluarga tidak hanya mendapat kesempatan berobat, tetapi juga menikmati keindahan dan keramahan negara yang dituju. Berbagai gejolak politik juga merangsang wisata kedokteran, terutama di Asia. Jika dulu orang kaya Timur Tengah berobat ke Amerika Serikat atau Eropa, sekarang mereka mencari alternatif lain, ke China, India, atau Iran. Nah, sebenarnya pengembangan wisata kedokteran juga potensial di Indonesia. Rumah sakit kita sudah banyak yang sarana dan layanannya bagus. Rumah sakit kita juga telah mengantongi akreditasi tingkat nasional ataupun internasional. Keterampilan dokter kita juga tak kalah dibandingkan dengan koleganya di negara lain. Daerah tujuan wisata banyak jadi cukup alasan untuk mengembangkan wisata kedokteran. Rupanya kita memang masih sibuk dengan pengembangan layanan yang didukung oleh BPJS. Manajemen rumah sakit sekarang banyak menghabiskan pikiran dan energinya untuk menyesuaikan diri dengan situasi baru ini. Beberapa rumah sakit bahkan terperangkap dan mengalami kerugian, bahkan ada beberapa yang sedang ditawarkan untuk dijual. Namun jangan lupa, cukup banyak juga rumah sakit yang tetap bisa berkembang. Cabangnya dibuka di berbagai kota. Di antara pasien yang berobat ternyata juga mulai ada orang asing. Mereka datang ke rumah sakit yang petugasnya dapat berbahasa Inggris. Pengalaman Anda menunjukkan bahwa biaya operasi rumah sakit di Indonesia lebih mahal daripada di Bangkok. Apa sebabnya? Ada beberapa alasan kenapa layanan kedokteran di Indonesia menjadi lebih mahal. Pertama adalah peralatan kedokteran yang digunakan di rumah sakit masih dikenai pajak, seperti alat elektronik lainnya. Padahal, di luar negeri, misalnya di Malaysia, pajak alat-alat kedokteran amat murah, bahkan ada yang bebas pajak. Obat paten juga lebih mahal di Indonesia karena sistem perdagangan kita yang menyebabkan obat terkena pajak berkali-kali mulai dari pajak impor, pajak penjualan dari importir ke distributor, bahkan juga pajak penjualan apotek. Memang kita kadang terpaksa mengurut dada. Teman-teman dokter dari Malaysia dulu belajar dari Rumah Sakit Jantung Harapan Kita sebelum mendirikan Pusat Jantung Nasional di Kuala Lumpur. Sekarang terbalik, pasien-pasien Indonesia banyak yang berobat ke pusat Jantung Nasional di Kuala Lumpur. Penyebab kedua adalah kurangnya koordinasi. Di Indonesia kita sering jalan sendiri-sendiri. Kita jarang duduk bersama-sama memecahkan persoalan yang kita hadapi. Untuk membangun wisata kedokteran, selain unsur kesehatan juga harus terlibat unsur pariwisata, imigrasi, bahkan juga penegak hukum. Kita memang sudah saatnya mampu mengoordinasikan berbagai pihak untuk menghasilkan kebijakan bersama serta saling mendukung dalam memecahkan persoalan. Kita berharap layanan kesehatan yang didukung BPJS ini akan semakin sempurna. Semoga setelah 5 tahun dapat berjalan baik sehingga rumah sakit kita tidak hanya sibuk dengan persoalan BPJS saja, tetapi juga dapat melihat keluar memanfaatkan berbagai kesempatan yang terbuka. Selama ini kita masih mengutamakan layanan untuk masyarakat kita sendiri. Nanti jika layanan tersebut sudah tertata baik dan dapat dinikmati masyarakat, kita berharap dapat menarik pasien dari luar negeri. Salah satunya adalah melalui program wisata kedokteran ini. Unsur penunjang pelayanan kedokteran, seperti farmasi, laboratorium, dan radiologi, juga akan berkembang. Jangan lupa, layanan kedokteran juga bergantung pada layanan publik lain, seperti transportasi dan akomodasi. Dalam lingkungan profesi kedokteran, topik traveling medicine sudah menjadi peminatan. Artinya, tenaga dokter kita mampu melayani wisatawan mancanegara yang akan berkunjung ke Indonesia, tidak hanya sebagai turis, tetapi juga yang datang sebagai pasien yang akan berobat.Pada hemat saya nanti dapat dimulai beberapa daerah dulu yang mengembangkan wisata kedokteran ini, misalnya Jakarta, Yogyakarta, atau Bali. Pengalaman dari kota-kota tersebut dapat dikembangkan ke kota lain yang berminat mengembangkan wisata kedokteran. Namun, yang paling penting untuk segera dilaksanakan adalah bagaimana agar pasien kita tidak perlu berobat ke luar negeri.

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000