logo Kompas.id
Akhir PekanSulitnya Menerima Kritik
Iklan

Sulitnya Menerima Kritik

Oleh
SAWITRI SUPARDI SADARJOEN
· 6 menit baca

Kritik, seperti halnya kehidupan, tidak selalu bersifat fair. Sering kali kritik yang kita dengar memusingkan kepala kita karena sifat yang tidak fair tersebut sehingga terasa sangat menyakitkan. Coba kita bayangkan andai kita menghadapi serangan yang salah atau secara tidak fair dipersalahkan. . Bagaimana kita akan mampu mengungkap pertahanan diri dari kritik pedas tersebut saat kita adalah orang yang dikritik dan didudukkan di " kursi panas"?. Bagaimana kita akan mengklarifikasi posisi kita dengan penuh ketegasan dan mempertahankan ketegaran kita tanpa harus bertahan secara defensif atau menyerang orang yang mengkritik saat kita sedang benar-benar merasa sangat terpuruk?. Bagaimana kita bisa tetap menjaga relasi kita dengan orang yang mengkritik kita saat kita merasa terpojok?. Apa yang harus kita lakukan pada titik kulminasi tersebut? Ibu-anak perempuan: koneksi yang terkadang genting Ada seorang ibu (M, 47) menceritakan tuduhan yang dilancarkan anaknya (L, 26 perempuan). L datang ke rumah ibu saat hari libur. Pada malam Lebaran, L yang menurut L telah lama menderita depresi menyatakan kepada ibunya bahwa M terlalu posesif dan terlampau memikirkan diri sendiri serta mengekang L dalam pergaulan antar-remaja, yang membuat L tidak terlatih bergaul dengan lawan jenis. Menurut L, M sebagai ibu harus bertanggung jawab akan kondisi L saat ini. Kecuali itu, L juga menyalahkan ayahnya yang suka mabuk-mabuk setelah bercerai dengan M saat L berusia 9 tahun. Untuk itu, M juga harus membayar biaya konsultasi psikologi L untuk permasalahan kejiwaan yang L derita selama ini. Saat M datang untuk pertama kali berkonsultasi, M menceritakan bahwa M sama sekali tidak berkomunikasi dengan L sejak saat L mengkritik tajam perilaku ibunya tersebut di atas. M merasa begitu sakit hati oleh tuduhan anaknya sehingga M pun sama sekali tidak berusaha memulai komunikasi dengan L karena hingga saat konsultasi tersebut, M merasa tindakan kritik L sangat menyakitkan dirinya dan M beritikad tidak berkomunikasi dengan L hingga saatnya L meminta maaf kepada dirinya.Menyalahkan ibu Apabila kita mencoba mengidentifikasi permasalahan L dengan ibunya, kita akan segera menyimpulkan bahwa kebanyakan anak perempuan marah kepada ibu untuk paling sedikit dua masalah. Pertama, anak perempuan mengharapkan lebih banyak kebutuhan yang harus dipenuhi ibunya dan hanya sedikit tuntutan terhadap ayahnya. Kedua, ibu tidak memiliki tempat persembunyian saat terjadi percekcokan dalam keluarga sehingga ayah lebih banyak kesempatan untuk bebas dari target serangan anak perempuannya. Menyalahkan ibu sangat menjadi- jadi dalam setiap kultur di dunia, kultur kita sekalipun. Ibu tidak saja bertanggung jawab terhadap perilakunya terhadap anak (katakanlah hal ini masih dapat dikatakan cukup fair), tetapi juga terhadap perilaku anak- anaknya, yang dalam hal ini bisa saja dipengaruhi cara ibu mendidik anaknya walaupun tentu saja ibu tidak memiliki tugas dan kewajiban tunggal mengendalikan perilaku anak-anaknya tersebut. Para ibu sering dipersalahkan atau justru para ibu mempersalahkan diri mereka sendiri apabila terjadi masalah perilaku anak- anak dalam keluarga mereka. Oleh karena itulah, banyak ibu menjadi defensif bahkan sebelum mendapat serangan dari luar, seperti serangan L terhadap M ibunya yang notabene dari pihak anak perempuannya sendiri. Namun, berikut inilah titik pangkal sebenarnya: Apabila sesuatu sampai pada masalah keluarga, keluhan orang-orang di luar menjadi selalu dapat dibenarkan karena pada dasarnya kita tidak akan mampu masuk secara intensif dalam kehidupan internal keluarga yang perilaku anaknya kita keluhkan. Hanya setelah kita dengar kritik anak perempuan kita sendiri dan kemarahan anak perempuan kita, sebagai orangtua kita pasti akan memaafkan anak kita seberapa dalamnya perasaan sakit hati kita saat mendengar kritik dan tuduhan anak kita sendiri. Oleh karena kita tidak dapat berharap anak-anak kita akan mendengar dengan baik dan benar apa yang kita katakan kepada mereka. Kita juga sebagai orangtua membutuhkan kemampuan mendengar dahulu sebelum kita memberikan respons yang melawan ungkapan anak-anak kita. Begitu pula halnya apabila dalam interaksi kita dengan lingkungan sosial pada umumnya terjadi pertengkaran, seyogianya ungkapan di atas perlu kita adopsi demi terselesaikannya pertengkaran yang kita alami. Kesepakatan untuk mendengar sebagai aksi pertama kita, tidak berarti kita duduk terdiam dengan keadaan frustrasi, tetapi kita menyadari bahwa kita memiliki batas toleransi tertentu, contohnya, M hendaknya berkata: "Apa yang kamu keluhkan adalah sesuatu yang penting, tetapi ini adalah malam takbiran, ibu merasa kesulitan untuk membicarakannya saat ini. Untuk membuat ibu mampu memusatkan perhatian sepenuhnya, ibu minta kita menunda pembicaraan tentang permasalahan yang kamu ungkap tadi setelah hari Lebaran, ya."Dalam hal ini, tidak berarti M harus bertoleransi terhadap cara bicara L yang kasar, L seyogianya mengendalikan diri terhadap ledakan emosi saat itu, hingga saat M mampu berbicara katakanlah kalimat: "L, ibu sangat sayang padamu , tapi terus terang ibu tidak bisa menerima teriakanmu saat mengkritik perlakuan ibu, apalagi saat kamu begitu marah sehingga kamu menyebut nama panggilan ibu, tanpa didahului dengan kata "ibu". Ketahuilah, saat kita membiarkan komunikasi yang kasar dalam setiap komunikasi yang kita jalin dengan siapa pun, maka secara otomatis kita menurunkan kehormatan kita masing-masing. Apabila kita mampu menunda percakapan lanjut untuk beberapa saat, kita pun mampu melakukan pendekatan yang lebih tenang dan terbuka dalam percakapan lanjut yang kita lakukan. Bagaimana mungkin kita bisa yakin bahwa kita akan mampu berpikir jernih saat kita dikritik dan disalahkan orang? Tentu saja tidak mungkin. Apa yang terjadi antara M dan L adalah kondisi pertengkaran yang semakin meningkat kadar kemarahan kedua belah pihak, tidak satu pun di antara mereka mampu mendengar dengan baik ungkapan lawan bertengkarnya. Hal ini dapat dikatakan wajar. Situasi sebagai kelanjutannya adalah apakah M dapat memberikan respons yang membuat ketegangan antara M dan L menurun atau justru meningkat. Terus terang dalam situasi tersebut, ibu dan anak dihadapkan pada banyak pertaruhan. Ternyata sejak malam Lebaran hingga saat L harus kembali ke kota tempatnya bekerja, M belum mampu memulai komunikasi. M masih belum bisa mengelola kemarahannya diperlakukan dan dituduh secara kasar oleh anaknya. Untuk itu, saya sebagai konselor meminta M untuk menulis surat pendek dalam kartu pos bergambar bunga yang cantik dan menuliskannya sbb: "L, sayang. Apa kabar? Sulit rasanya menjalin kembali hubungan baik denganmu sejak kunjunganmu terakhir. Ibu tahu kamu juga sedih dan sakit hati, tetapi Ibu sudah berusaha mempertimbangkan beberapa hal seobyektif mungkin. Memang usaha ibu terasa sulit karena seperti kamu ketahui ibu adalah seseorang yang pada dasarnya defensif apabila dikritik, tapi Ibu akan berusaha keras.Ketahuilah Nak, Ibu kangen kamu dan sangat menyayangi kamu.Love, Ibu. L tidak segera menjawab surat Ibunya, tetapi hendaknya M memahami bahwa dengan sikap terdiamnya, berarti L telah mengalami penurunan ketegangan emosinya. Dan yang terpenting M tahu betul bahwa perbaikan relasi antara M, sebagai ibu, dan L sebagai anak perempuan membutuhkan waktu yang relatif lama. Semoga ***

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000