Pembangunan jalan kereta api di wilayah Priangan pada abad ke-19 terkait dengan perkembangan kebutuhan transportasi darat sebagai akibat liberalisasi ekonomi di Hindia Belanda, tumbuhnya usaha bidang perkebunan. Sebelumnya hasil perkebunan diangkut melalui sungai-sungai besar atau pedati. Kondisi jalan darat masih berupa tanah, yang ketika hujan kontur tanah menjadi lembek, sulit dilewati. Daya angkut pedati yang bertenaga sapi ada batasnya. Pemerintah Hindia Belanda kemudian mengambil kebijakan membangun jalan kereta api.
Rencana pembangunan jalan kereta api menjadi topik serius hingga ke negeri Belanda. Setelah disetujui, sempat terjadi silang pendapat dalam pengerjaannya. Antara dikerjakan oleh pemerintah atau swasta. Polemik seputar pembangunan jalur kereta api dan distribusi hasil perkebunan di Priangan ini dikupas dalam buku Sejarah Kereta Api di Priangan (Penerbit Ombak, 2017), yang ditulis Agus Mulyana berdasarkan disertasinya.
Oleh karena tanahnya yang subur, pemerintah menetapkan Karesidenan Priangan sebagai pusat perkebunan pada tahun 1815. Wilayah di Priangan pada umumnya berada di daerah pedalaman yang dikelilingi pegunungan dan perbukitan dengan ketinggian 1.800 hingga 3.000 meter dari permukaan laut. Hasil-hasil perkebunan di Priangan diekspor melalui pelabuhan di Cilacap dan pelabuhan di Batavia. Sejak jalan kereta api dibangun, daerah-daerah baru yang sebelumnya terisolasi mulai terbuka. Seiring waktu, jalur kereta di Priangan tak hanya mengangkut hasil bumi dan penumpang, tetapi juga digunakan untuk kepentingan pertahanan militer. (IGP/LITBANG KOMPAS)
Pesan Kemanusiaan God Bless
Tak terbantahkan, God Bless memang legenda musik Indonesia. Bertahan hingga empat dekade bukanlah pencapaian mudah. Grup band rock Tanah Air ini mengarunginya dengan bongkar pasang personel hingga 20 kali. Daya tarik God Bless bukan hanya karisma dan aksi panggung yang energik, tetapi juga semangat, idealisme, dan komitmennya terhadap kemanusiaan. Hal itu tecermin dari tema karya-karya God Bless yang konsisten, menyentuh masalah kemanusiaan hingga kritik sosial. Inilah gembok keawetan grup band yang lahir pada 5 Mei 1973 ini. God Bless tak sekadar berkarya atas dasar komersial, tetapi juga menyuarakan nurani melalui bahasa musik progressive rock.
Sisi kemanusiaan God Bless ini diangkat oleh Alex Palit, jurnalis musik senior, dalam buku God Bless and You – Rock Humanisme (Elex Media Komputindo, 2017). God Bless menggunakan musik sebagai media komunikasi mengungkapkan cerita, pesan, gagasan, kritik, bahkan pernyataan sikap mengenai apa pun. Selalu ada kisah di balik lirik-lirik lagu terkenal God Bless. Misalnya, lagu ”Anak Adam”, God Bless bercerita tentang krisis kemanusiaan yang kian meluas akibat konflik yang berlatar belakang ambisi kekuasaan hingga kepentingan ideologis.
Pada lagu ”Ingat”, ”Insan Sesat”, dan ”Cermin”, God Bless bercerita soal dekadensi moral dan hedonisme yang melanda gaya hidup masyarakat kota. Sementara lagu ”Balada Sejuta Wajah”, God Bless menyorot tentang kemiskinan, pengangguran, dan kepincangan sosial. Lagu-lagu yang digemakan tahun 1980-an itu tak lekang oleh zaman. Tetap relevan dan masih nyaring pesannya hingga kini. (IGP/LITBANG KOMPAS)