Terungkapnya kisah persekongkolan dan jejak-jejak permainan kotor yang memalukan itu berakibat tumbangnya Presiden Richard Nixon dari tampuk kekuasaan. Tak pelak, inilah cerita thriller politik paling mencekam yang pernah ada, yang mengubah AS dan mengguncang dunia. Kisah nyata penyelidikan cemerlang kedua wartawan The Washington Post yang kemudian berhasil menyabet Pulitzer Prize telah menjadi acuan reportase investigatif para wartawan dari berbagai belahan dunia.
Sebagaimana dituturkan Septiawan Santana K, pekerjaan wartawan selalu terkait dengan penyelidikan terhadap soal-soal pelanggaran. Mereka berupaya menuntaskan pelbagai informasi yang bersifat adversary—yang biasanya dilakukan oleh reporter-adversary. Para jurnalis beat reporting (pelaporan mendalam) tidak mau sekadar tunduk pada informasi yang dilaporkan reporter-adversary. Mereka selalu memeriksa atau mengecek keabsahan fakta dan data. Pada tingkatan selanjutnya, jika diperlukan, mereka mencoba menyelidiki atau menguasai pelbagai informasi yang terjaga dengan ketat, bahkan dari sumber-sumber musuh (hal 68-69).
Pilar keempat
Dengan pola liputan investigatif semacam ini, pers di AS berkembang menjadi the fourth estate, pilar atau kekuatan keempat demokrasi. Namun, dalam jurnalisme kontemporer, istilah atau ungkapan ”kekuatan pers” sudah ketinggalan zaman. Mengapa? Secara harfiah, ungkapan itu pada dasarnya merujuk pada medium cetak. Boleh jadi ungkapan itu agak menyesatkan sebab ”kekuatan” kerap kali berkonotasi derajat kontrol yang formal dan terorganisasi guna menghasilkan perubahan; sementara ”pengaruh” lebih bersifat halus, tidak langsung, atau tidak dikehendaki.
Konotasi ”kekuatan” (power) tampak jelas pada sebutan dan penghormatan terhadap pers sebagai ”cabang keempat pemerintah”—konsep tersebut, sebagaimana dijelaskan Douglass Cater (1965), memberikan landasan bagi The Fourth Branch of Government—menurut tempat di dalam pemisahan doktrin kekuasaan dalam Konstitusi AS, sejalan dengan cabang-cabang eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pendekatan ”pengaruh” menempatkan pada publik yang berdaulat—kursi puncak kekuasaan—tanggung jawab untuk bertindak atas informasi yang diberikan oleh media berita. Perbedaan di dalam kedua konotasi ini, meskipun sulit dipisahkan, tecermin dalam cara-cara reporter bekerja, sumber berita, dan pendekatan-pendekatan jurnalisme yang mereka terapkan terhadap kisah-kisah berita yang mereka wartakan.
Pengalaman terkait pemberitaan skandal Watergate merupakan pelajaran berharga bagi AS. Pengalaman tersebut menjadi catatan sejarah perjalanan negara dan bangsa itu. Pers banyak berperan mencatat semua pelajaran itu.
Jurnalisme investigatif seyogianya menjadi jalan bagi para jurnalis untuk memperbaiki pelbagai kekeliruan. Atau meminjam kata-kata Laura Washington (2001), seperti dikutip Santana, ”Untuk menantang sistem, untuk melontarkan pertanyaan-pertanyaan. Apakah sistem yang ada melayani siapa saja dengan baik” (hal 69). Yang jelas, pengungkapan pelanggaran, skandal, atau kejahatan dalam liputan investigatif memiliki dimensi publik yang lebih luas. Punya cakupan kepentingan, magnitudo, pengaruh dan pengusutannya yang lebih tinggi. Inilah yang membedakan kisah-kisah investigatif dengan kisah-kisah biasa.
Jurnalisme vs media kontemporer
Sebagian orang mungkin beranggapan bahwa masa kejayaan jurnalisme investigasi sudah lewat. Jurnalisme investigasi yang selalu diidentikkan dengan surat kabar kini telah menjadi mitos. Dunia industri media saat ini sudah berubah total. Pada dekade 1980-2000-an, industri media yang saling merger adalah industri media yang berbasiskan pada konten. Hal itu terjadi pada Time yang bergabung dengan Warner Bros, perusahaan Vivendi membeli Universal, perusahaan Jepang Sony menjadi salah satu kelompok media yang besar, bersama dengan Walt Disney, kelompok media pimpinan Rupert Murdoch News Corporation, dan lain-lain.
Hari-hari ini yang kita saksikan adalah transaksi antarperusahaan aplikasi komputer atau aplikasi media sosial oleh berbagai perusahaan perangkat komunikasi, seperti Yahoo, Google, Facebook, Twitter, dan Instagram. Film, video, musik, sekarang tidak lebih dari ”sekadar konten media” untuk perusahaan-perusahaan aplikasi tersebut.
Lantas bagaimana dengan nasib jurnalisme dalam pertarungan dengan industri media kontemporer saat ini? Masih relevankah kita bicara ihwal jurnalisme? Jika masih relevan, bagaimana cara membuatnya untuk tetap relevan?
Serangkaian pertanyaan ini coba dipaparkan Santana, lewat subbahasannya, ”Jurnalisme Online.” Pavlik (2001), sebagaimana disitir Santana, menyebut jurnalisme ini berdimensi contextualized journalism. Ini karena kemampuan menggabungkan multimedia digital, interaksi online, dan tata rupa fiturnya. Pengintegrasian tiga fitur komunikasi yang unik: kemampuan-kemampuan multimedia berdasarkan platform digital, kualitas interaktif komunikasi online, dan fitur-fitur yang ditatanya (customizable features) (hal 230).
Namun, sebagaimana banyak dikaji pakar media, teknologi baru tak pernah menghilangkan teknologi lama. Teknologi baru menyubstitusinya. Radio tak menggantikan keberadaan surat kabar, tetapi sekadar menjadi alternatif bagi khalayak baru. Begitu juga televisi. Meski ”melemahkan” radio dan media massa cetak, medium ini tak sepenuhnya bisa mengeliminasi. Ini sesuai dengan teori konvergensi yang menyatakan bahwa pelbagai perkembangan bentuk media massa terus merentang sedari awal siklus penemuannya. Setiap model media terbaru cenderung merupakan perpanjangan, atau evolusi, dari model terdahulu. Dalam konteks ini, internet bukanlah sebuah pengecualian. Maka itu, media online tak mengganti sepenuhnya media lama.
Buku ini, secara rinci mencoba menyerap berbagai perkembangan jurnalisme. Teknologi, umpamanya, mendorong jurnalisme berkembang bersamaan dengan perubahan pada media kontemporer. Pada gilirannya publik pun berinteraksi kian erat, ketat, dan padu manakala mereka menangkap serta menyikapi peristiwa atau isu-isu aktual. Dalam konteks ini, buku Jurnalisme Kontemporer yang dikemas dengan gaya bahasa naratif ini cukup relevan menjadi panduan alternatif memahami wajah jurnalisme masa kini.
Alex Sobur, Dosen Bidang Kajian Ilmu Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung