Islam, Modernisme dan Keindonesiaan Hamka
Orang Malaysia menyebutnya ”genius” (tetapi Abdurrahman Wahid menyebutnya tak istimewa, setidaknya di bidang ilmu dan kebudayaan). Namanya diabadikan di kampus, bukunya difilmkan, karyanya diteliti, dan novel biografinya ditulis orang. Kontroversinya banyak pula. James R Rush, profesor sejarah di Arizona State University, ikut merawat memori tentang Hamka dengan menerbitkan biografi sosok ulama legendaris ini.
Lahir di Maninjau, Sumatera Barat, Hamka meraih ketenaran di Medan saat bekerja di majalah Pedoman Masjarakat. Majalah ini memproklamirkan diri ”berkhidmat kepada segala kepentingan bangsa dan Tanah Air yang tercinta, Indonesia”.
Hamka muda terpengaruh oleh keminangkabauannya. Novel perdananya, Si Sabariyah, ditulis dalam bahasa Minang dengan aksara Arab Jawi. Ia lalu memperluas cakupan karyanya, mulai dari teologi hingga sejarah Islam. Ia beralih menggunakan bahasa Melayu dan pada akhirnya mengadopsi bahasa Indonesia. Bahasa Arab pun dikuasainya dan dirawatnya dengan membaca koran Mesir dan menerjemahkan berbagai tulisan berbahasa Arab ke bahasa Indonesia. Kariernya dibangun di kota-kota modern dan multietnis, seperti Medan, Makassar, dan Jakarta.
Hamka autodidak tulen. Ia hanya masuk sekolah agama dan mendapatkan ilmu dan keahlian dengan usaha sendiri. Mentor utamanya adalah ayahnya, Haji Rasul (yang terkenal karena menolak membungkuk kepada Jepang). Karya Hamka luar biasa banyak, mencakup hampir apa pun; laporan jurnalistik, petuah agama, memoar, buku sejarah, kajian filsafat dan tasawuf, puisi, novel (Hamka, kata Indonesianis Jeffrey Hadler, adalah ”novelis yang karyanya paling banyak dibaca di zamannya”), dan, yang paling fenomenal, tafsir 30 juz Al Quran (di mana, tulis Rush, unsur ”Indonesia selalu hadir”). Novel-novelnya tampak melankolis, padahal sebenarnya berisi kritik terhadap adat lama dan kolonialisme Belanda. Cakrawala pemikirannya luas (walau terkesan dangkal, khas seorang autodidak), bersumber dari tradisi Islam (khususnya Nabi Muhammad), Barat (misalnya Lincoln), hingga Timur (contohnya Gandhi).
Pengakuan terhadap pengaruh Hamka datang dari mana-mana. Masyarakat menunggu-nunggu nasihatnya di Masjid Agung Al Azhar, RRI, dan TVRI. Universitas Al Azhar dan Universiti Kebangsaan Malaysia menganugerahkan gelar doktor honoris causa kepadanya. Membicarakan Islam di Indonesia modern tak lengkap tanpa mendiskusikan Hamka. Dalam bahasa Rush, Hamka adalah ”wajah Islam di Indonesia”.
Kepedihan dan kontroversi datang silih berganti. Majalah yang dipimpinnya, Panji Masyarakat, dibredel pemerintahan Soekarno karena menerbitkan tulisan kritis Bung Hatta, ”Demokrasi Kita”. Hamka juga dipenjara karena tuduhan makar (yang tidak terbukti). Di sisi lain, kaum komunis menuduhnya plagiator walau kemudian tudingan ini dibantah sastrawan HB Jassin. Puncaknya, pada 1981 ia mundur sebagai
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) setelah munculnya polemik soal ”Fatwa Natal”.
Islam, Indonesia dan dunia
Kekuatan buku ini, selain dari mengkaji puluhan karya Hamka (sebagian lainnya tak diketahui rimbanya, sangat disayangkan), juga ditopang oleh wawancara dengan tokoh-tokoh yang pernah berinteraksi dengan Hamka. Ini termasuk ulama seperti M Natsir, tokoh militer AH Nasution, cendekiawan Abdurrahman Wahid, serta, tulis Rush, ”musuh besar Hamka”, Pramoedya Ananta Toer. Ini memungkinkan Rush melihat Hamka secara personal, tetapi juga kritis.
Untuk buku sebagus ini, ada beberapa sumber primer tentang Hamka yang dilupakan Rush. Pertama, majalah dari Muhammadiyah, organisasi tempat Hamka paling lama berkhidmat: Suara Muhammadiyah. Ini adalah majalah Islam tertua di Indonesia (terbit sejak 1915) yang masih ada sampai kini. Sejak 1960-an, berbagai representasi Hamka muncul di sini. Salah satunya perdebatan yang tak banyak orang tahu antara Hamka dan Ahmad Syafii Maarif pada 1967 tentang uzlah, yang turut membentuk Buya Syafii seperti yang kita kenal sekarang.
Kedua, Qalam, majalah Singapura dengan audiens tersebar di seluruh Dunia Melayu, mulai dari Indonesia, Malaya, hingga Thailand selatan. Hamka kerap menulis di majalah yang terbit sejak tahun 1950 itu soal isu bersama di kawasan, mulai dari soal perlunya melestarikan tulisan Jawi hingga antikolonialisme. Ini mengindikasikan bahwa visi Islam Hamka juga berakar kuat di Asia Tenggara, suatu hal yang kurang diulas Rush.
Kreator ”adicerita”
Namun, biografi ini tetap sebuah mahakarya. Rush menilai Hamka adalah kreator ”adicerita” (great story) untuk jutaan Muslim. Dengan adicerita, Hamka tidak cuma mengulas tema serius, seperti iman dan tauhid, tetapi juga topik ringan semisal asmara. Dengan perpaduan itu, ia menyampaikan visinya tentang Islam yang sesuai tuntutan zaman dan cocok bagi semua kalangan. Bagi Rush, Hamka adalah sosok yang berjuang di dunia kolonial, yang ditandai oleh penjajahan, serta dunia pascakolonial, saat negara-bangsa terbentuk dan penduduk pribumi berusaha memajukan dirinya.
Lewat karyanya, Hamka mendiskusikan bagaimana orang Indonesia ”menjadi Indonesia” via pendidikan modern, pencapaian pribadi, kemandirian finansial, tinggal di kota dan perkawinan antaretnis, sembari meninggalkan adat yang kolot dan sisa-sisa kolonialisme.
Hamka menentang taklid dan mengampanyekan Islam yang rasional. Iman harus dipegang teguh, sementara akal yang dianugerahkan Allah kepada manusia harus dipakai untuk memajukan kehidupan. Ia tak segan mengakui keunggulan ilmu dan sains Barat meski tetap perlu disaring.
Bagaimana Hamka menilai dirinya sendiri dan membayangkan identitas kaum Muslim Indonesia? Jawabannya tecermin di puisi Hamka tahun 1970: ”Bernenek yang turun dari gunung Merapi/Berkiblat ke Ka’batullah/Berfikir yang dinamis/Bersatu dalam Bhinneka Tunggal Ika”. Bagi Rush, puisi ini adalah deklarasi Hamka bahwa: ”kami Muslim; kami modern; kami bangsa Indonesia”.
MUHAMMAD YUANDA ZARA, Sejarawan, PhD di Universiteit van Amsterdam