Pengabaian masa kecil bisa diartikan sebagai kondisi ketika orangtua tidak memenuhi kebutuhan emosional dan terkadang fisik anak mereka (Carola Finch, 2017). Sering kali kondisi itu sulit dideteksi karena banyak orangtua mampu melakukan penyamaran, seolah mereka adalah orangtua yang peduli dan dekat dengan anaknya. Orang-orang yang dibesarkan dalam pengabaian bahkan mungkin tidak menyadari bahwa perilaku bermasalah mereka dapat dikaitkan dengan pengabaian emosional masa kecil.
Tamar E Chansky (2008) mengatakan, orangtua yang tidak bahagia atau tertekan bisa menciptakan lingkungan beracun sehingga anak-anak ikut menyerap dan mencerminkan gaya pandang dan interaksi yang serupa tentang dunia. Misalnya, seorang ayah yang tidak bahagia tentang pekerjaannya dan berpikir, ”Masa bodoh dengan yang kamu lakukan, dunia ini tidak adil, tidak ada gunanya bekerja keras.” Hal itu akan menyebarkan ketidakbahagiaan ke anaknya dengan cara mengecilkan hati atau menghilangkan antusiasme anak tentang sebuah tugas atau dengan tidak memedulikannya.
Orangtua yang perfeksionis bereaksi secara kasar untuk nilai 70 dari anaknya yang telah bersusah payah karena itu bukan sempurna. Anak dapat menyerap pesan yang salah dari orangtua mereka: ”Apa yang kamu lakukan tidak penting atau gagal.” Beberapa anak secara alami menahan pesan-pesan itu, tetapi anak lain mulai berpikir dengan cara yang sama. Seiring waktu, pola merespons ini menjadi kebiasaan berpikir otomatis dan sangat mudah menjadi pola pikir yang merusak. Jadi, pengabaian orangtua pada masa kanak-kanak berdampak sangat dahsyat bagi munculnya ciri kepribadian yang negatif pada penyintas, dengan berbagai manifestasinya.
Ciri kepribadian
Dr Jonice Webb (dalam Finch, 2017) mengidentifikasi berbagai karakteristik kepribadian yang muncul pada penyintas yang mengalami pengabaian emosional saat kecil.
Sangat keras pada diri mereka sendiri: penyintas sering merasa marah dan kecewa terhadap diri sendiri. Mereka lebih kasar dalam menilai diri dibandingkan menilai orang lain dan mempertahankan standar yang lebih tinggi dalam berbagai hal. Penghakiman diri yang keras ini bisa jadi akibat dari tidak mendapat cukup banyak ketenangan, kasih sayang, atau pengasuhan emosional di masa kecilnya.
Kurang rasa memiliki: penyintas merasa tidak berada dan tidak menjadi bagian di mana pun, bahkan di antara keluarga dan teman. Orang yang kenal dengan mereka mengatakan bahwa korban menjaga jarak dan tidak bisa akrab menjalin relasi. Acapkali penyintas hanya ingin dibiarkan sendirian dan merasa tidak nyaman dalam situasi sosial. Begitu anak bertambah besar, orangtua sepertinya tak memperhatikan bahwa anak merasa sedih atau membutuhkan rasa nyaman karena orangtua marah, hal ini memperkuat perasaan terputus dari keluarga. Ketika anak diabaikan, tidak diperhatikan, kata-kata atau tindakan mereka disalahartikan oleh orangtua. Mereka mendapat pesan bahwa perasaan mereka tidak penting, salah, atau tak dapat diterima. Ketika anak-anak ditertawakan, mereka juga takut untuk mengekspresikan diri karena mereka mungkin akan direndahkan atau dihukum. Mereka menekan emosi, membangun dinding emosional di sekelilingnya untuk melindungi diri agar tidak terluka.
Penyintas merasa bangga dengan kebebasan mereka: tidak merasa perlu bergantung pada orang lain. Akibatnya, mereka merasa sulit meminta pertolongan.
Merasa belum memenuhi tujuan hidup mereka: penyintas merasa ada yang tidak beres dengan diri mereka dan berjuang dengan disiplin diri. Sulit bagi mereka untuk mengenali kebutuhan mereka dan membuat rencana yang terorganisasi untuk masa depan.
Sering kali merasa terisolasi: penyintas terkadang merasa bahwa mereka dapat dengan mudah hidup terpisah sebagai pertapa dan sering merasa berada di luar dalam situasi sosial.
Tidak berhubungan dengan perasaan mereka: penyintas mungkin mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi berbagai emosi mereka. Mereka sering merasa tidak bahagia atau mudah tersinggung tanpa alasan yang jelas dan mengalami kesulitan untuk menenangkan diri saat kesal. Mereka sering tidak bisa menetapkan berbagai kekuatan dan kelemahan mereka. Mereka terkadang merasa kosong di dalamnya.
Tindak lanjut
Langkah pertama yang bisa dilakukan penyintas untuk mengatasi dampak pengabaian emosional adalah menjadi sadar diri. Bersama terapis, ia dibantu untuk berlatih menyediakan waktu agar lebih sadar terhadap apa yang mereka rasakan dan bagaimana keadaan emosional mereka. Atau dengan berjalan kaki dalam waktu agak lama dapat membantu mempelajari diri sendiri. Ketika emosi-emosi tertentu meluap, coba meluangkan waktu untuk mempertimbangkan dari mana asalnya.
Langkah lain yang bisa dilakukan penyintas adalah belajar menerima diri mereka sebagaimana adanya dan berhenti bersikap begitu keras terhadap diri mereka sendiri. Apabila terkadang ingin mengisolasi diri dari situasi sosial, upayakan tetap mendorong diri untuk mengambil risiko dalam berinteraksi dengan orang lain.
Berlatih meminta bantuan kepada orang lain meski awalnya tetap sulit karena sudah terpatri keyakinan bahwa dia harus menyelesaikan sendiri masalah hidupnya serta telah mengembangkan rasa aman yang salah dalam hal kemampuan untuk bertahan hidup.
Para orangtua memperbaiki gaya pengasuhannya (parenting style). Sangat dianjurkan agar para orangtua menggunakan gaya otoritatif/berwibawa yang disampaikan oleh Diana Baumrind yang terkenal dengan Empat Gaya Pengasuhannya.
Orangtua yang otoritatif punya tingkat tuntutan dan tanggung jawab yang tinggi dalam mengasuh anak, tetapi tingkat mengontrolnya rendah dan mereka tidak membatasi atau mencampuri. Orangtua ikut mendukung anak dalam menghadapi tantangan yang kompleks dan memerhatikan anak-anak mereka sambil tetap mengharapkan kepatuhan terhadap peraturan yang berdasarkan logika, bukan karena ”pokoknya saya bilang begitu”. Disiplin adalah lebih ten-
tang belajar, bukan hukuman. Sebagai hasil permodelan ini, anak-anak dapat menemukan keseimbangan antara tuntutan eksternal dalam kehidupan mereka sendiri untuk prestasi dan konformitas, sambil tetap menjaga individualitas dan otonomi mereka.
Gaya ini secara konsisten diidentifikasi menghasilkan anak-anak yang berkembang menjadi seorang yang kompeten secara sosial, dapat menyesuaikan diri secara baik, memiliki tingkat perilaku bermasalah atau depresi dan kecemasan yang rendah di semua tahap perkembangan.