Praktik literasi yang paripurna itu coba ditunjukkan buku Suara dari Marjin: Literasi sebagai Praktik Sosial. Buku yang disusun berdasarkan disertasi Sofie Dewayani dan Pratiwi Retnaningdyah ini memotret praktik literasi di kalangan anak jalanan di Bandung dan buruh migran di Hong Kong.
Kendati meneroka kasus yang berbeda, tetapi keduanya mengungkai simpulan senada, bahwa literasi dapat menjadi perkakas untuk memperjuangkan identitas sebagai orang yang berdaya. Literasi yang diangkat bukan sebagaimana peristiwa di sekolah yang absen membahas masalah keseharian, tetapi laku membaca dan menulis yang ditautkan dengan persoalan sehari-hari. Meski demikian, praktik literasi menjadi bermakna dan kontekstual.
Model otonomi dan ideologis
Cukup lama kajian mengenai fenomena literasi, termasuk di Indonesia, terperangkap ke dalam model otonomi. Model ini meyakini bahwa literasi merupakan variabel independen dalam meningkatkan kapasitas kognitif seseorang. Model otonomi memandang aktivitas membaca dan menulis sebagai proses yang netral, bebas konteks, dengan motivasi utama untuk mencapai status ”melek literasi” (hal 6).
Cara pandang model otonomi ini mendasari serangkaian kebijakan pengentasan dari buta aksara oleh negara dan UNESCO. Di Indonesia, pengentasan dari buta aksara dianggap berhasil, tetapi masih gagal dalam menumbuhkan budaya baca. Selain persoalan infrastruktur perpustakaan yang minim, konteks kebijakan pengembangan literasi juga masih abai terhadap persoalan sehari-hari sehingga kemampuan literasi yang diraih tidak kontekstual.
Padahal, kemampuan literasi dapat memberikan ”kewenangan” bagi seseorang untuk menjadi aktor utama bagi hidupnya, serta berani bersuara untuk diri sendiri dan komunitasnya (hal 103). Karena itu, perlu model kedua dalam memahami fenomena literasi, yaitu model ideologis yang memosisikan literasi sebagai praktik sosial yang tidak dapat dilepaskan dari ideologi, relasi kuasa, dan bingkai sosial yang menyertainya.
Dari sini kemudian muncul apa yang disebut sebagai studi literasi baru (new literacy studies). Kajian ini berupaya melihat fenomena literasi sebagai praktik sosial. Studi literasi baru ini memunculkan dua konsep penting, yaitu praktik literasi dan peristiwa literasi (hal 11).
Praktik literasi (literacy practice) berkenaan dengan apa yang dilakukan oleh orang atau sekelompok orang terhadap literasi. Misalnya, literasi dapat diposisikan sebagai upaya ”pembebasan” atau sebaliknya ”penaklukan”, sangat tergantung dari proses, situasi sosial, ideologi, dan kedudukan para pelakunya. Oleh karena praktik literasi menyangkut nilai, norma, dan pemaknaan yang sifatnya abstrak, maka pengamatan terhadapnya hanya mungkin dilakukan melalui peristiwa literasi (literacy event), yaitu kegiatan yang memanfaatkan atau terjadi di seputar teks. Peristiwa literasi, di mana teks digunakan, sering kali merupakan peristiwa biasa yang berulang, baik di tempat kerja, sekolah, atau lokasi lainnya.
Dekonstruksi babu dan anak jalanan
Menggunakan perspektif studi literasi baru, Dewayani dan Retnaningdyah mendudukkan praktik literasi di kalangan buruh migran dan anak jalanan dalam bingkai kapital budaya, di mana literasi menjadi modal untuk melawan stereotip negatif dan memberdayakan diri guna meraih pengakuan sosial. Buruh migran maupun anak jalanan dilihat sebagai agensi yang aktif mengelola sumber daya guna mengonstruksi pengetahuan dan mengukuhkan identitas positif.
Buruh migran Indonesia di Hong Kong yang diamati Retnaningdyah, misalnya, mengusahakan akses bacaan melalui ”perpustakaan koper”, yakni perpustakaan yang buku-bukunya disimpan dan dibawa dengan koper untuk digelar di Victoria Park. Akhir pekan merupakan saat yang ramai di taman ini karena banyak buruh migran Indonesia yang berjumpa dan bertukar sapa, termasuk meminjam dan mengembalikan buku.
Persentuhan dengan buku kemudian memantik beberapa buruh migran untuk menekuni aktivitas menulis, salah satunya melalui blog di internet. Tulisan-tulisan di blog itu memberi kesan bahwa mereka ”bukan buruh migran biasa”. Mereka berupaya mendekonstruksi stereotip negatif yang melekat dalam istilah babu, misalnya, dengan menulis artikel di blog dengan judul ”What’s wrong with babu ngeblog?” (hal 89).
Posisi anak jalanan juga berada dalam situasi serupa, dianggap sebagai kaum marjinal dan tidak berpendidikan. Namun, berbeda dengan buruh migran yang sudah dewasa, anak jalanan yang diamati Dewayani mempraktikkan literasi sebagai proses belajar untuk menguasai literasi fungsional: dapat membaca-menulis-berhitung. Mereka didampingi oleh pegiat LSM dan guru pendidikan anak usia dini (PAUD) yang mempraktikkan pembelajaran literasi dengan cara konvensional. Visinya ”mengentaskan” anak jalanan agar memiliki ”budaya sekolah”, yakni sikap dan perilaku yang dilandasi nilai dan norma dalam pendidikan di sekolah formal (hal 114).
Meskipun dipraktikkan dengan cara konvensional dan cenderung tidak membebaskan, kegiatan menulis rupanya memediasi anak jalanan untuk meneguhkan citra protagonis. Mereka menuliskan cita-cita, seperti ingin menjadi dokter atau guru, sebagai keinginan untuk menjadi solusi bagi lingkungannya. Kegiatan menulis juga memperantarai anak untuk membedakan diri dan liyan (othering). Proses othering berfungsi mendefinisikan liyan sebagai kelompok lemah yang patut ditolong atau sebaliknya sebagai antagonis yang destruktif dan mengancam sehingga harus dihindari (hal 141).
Dua kajian ini membuka ruang diskursus, khususnya kajian literasi di Indonesia yang sejauh ini didominasi model otonomi. Negara melalui kebijakan pendidikannya juga memakai model otonomi dalam menjalankan proyek literasinya. Melalui model ideologis, Dewayani dan Retnaningdyah memberi terang pemahaman bahwa literasi tidak melulu bermakna prestasi, seperti dalam pendidikan formal, melainkan dapat menjadi peranti guna memperjuangkan identitas dan status sosial. Simpulan demikian hanya mungkin didapat jika mendudukkan literasi sebagai praktik sosial.
LUKMAN SOLIHIN, Peneliti Puslitjak Dikbud; Mahasiswa S-2 Antropologi UGM