Pengalaman Menjalani Terapi Hepatitis C
Sekitar 20 tahun lalu, saya tertular hepatitis C. Waktu itu masih SMU dan saya ikut teman-teman menyuntik narkoba. Saya tak tahu bahaya menggunakan narkoba, juga bahaya memakai jarum suntik bersama. Saya mengalami kecanduan sehingga harus masuk pusat rehabilitasi. Berkat dukungan keluarga, saya dapat keluar dari kecanduan dan melanjutkan sekolah. Sekarang saya sudah bekerja di sebuah perusahaan swasta dan telah menikah serta mempunyai seorang anak berumur 7 tahun.
Teman sekolah saya yang menggunakan narkoba suntikan ada enam orang. Saya tak pernah lagi bertemu dengan mereka karena orangtua saya melarang bergaul dengan mereka. Penggunaan jarum suntik bersama di kalangan penyuntik narkoba ternyata dapat menularkan hepatitis C dan HIV. Saya beruntung karena hanya tertular hepatitis C.
Namun, kemudian saya ketahui hepatitis C adalah jenis hepatitis yang sulit sembuh. Penderita hepatitis C umumnya akan menderita hepatitis C kronik. Penyakit hepatitis C kronik ini dalam 20 sampai 25 tahun dapat berkembang menjadi sirosis hati atau kanker hati.
Saya merasa amat khawatir dengan penyakit sirosis hati atau kanker hati. Apalagi, saya sudah 20 tahun tertular hepatitis C. Saya mulai mencari cara penyembuhan penyakit ini. Sekitar lima tahun yang lalu banyak penderita hepatitis C yang menjalani terapi suntikan interferon. Saya merasa senang karena ternyata hepatitis C kronik ada obatnya.
Saudara sepupu saya yang juga penderita hepatitis C dan HIV ikut dalam terapi ini. Lama terapi sekitar satu tahun. Dia harus menjalani suntikan sekali seminggu serta minum tablet juga. Ternyata suntikan interferon mempunyai efek samping yang cukup mengganggu. Dia terpaksa harus cuti dari pekerjaan karena merasa emosinya tak stabil. Jika baru disuntik, dia akan merasa demam. Namun, karena keinginannya kuat untuk sembuh, dia dapat menyelesaikan terapi tersebut.
Mula-mula terapi menunjukkan hasil yang baik. Tetapi, setelah selesai, virus hepatitis C-nya muncul kembali. Kemudian, saya ketahui memang interferon dapat menyembuhkan hepatitis C, tetapi keberhasilan terapi hanya sekitar 50 persen. Menyaksikan pengalaman saudara sepupu saya itu, saya masih belum berani menjalani terapi interferon.
Sekitar dua tahun yang lalu, saya mendapat kabar ada terapi hepatitis C. Terapi tersebut telah digunakan di Amerika Serikat dengan tingkat keberhasilan 98 persen. Obat itu berbentuk kapsul. Tidak perlu disuntik, cukup diminum sekali sehari. Harapan saya mulai timbul. Tahun ini, terapi tersebut telah ada di Indonesia dan saya ikut terapi hepatitis C dengan obat baru tersebut yang disebut DAA. Saya mendapat terapi selama tiga bulan dan hasilnya memang amat menggembirakan. Virus hepatitis C saya telah bersih setelah pengobatan.
Tiga bulan setelah terapi selesai dilakukan, pemeriksaan terhadap virus hepatitis C ulangan juga tetap bersih dan dokter menyatakan saya sudah sembuh total. Sudah tentu saya amat bergembira dan saya seolah terlahir kembali bebas dari ketakutan terhadap penyakit hepatitis C ini.
Pertanyaan saya, bagaimana pemerintah dapat mengadakan obat ini sehingga penderita hepatitis C mendapat obat yang harganya di luar negeri mahal, tetapi di sini dapat dibeli dengan harga relatif murah? Apakah mereka yang gagal terapi interferon masih dapat diobati dengan obat DAA ini? Terima kasih atas penjelasan Dokter.
M di B
Saya mengucapkan selamat atas keberhasilan Anda menjalani terapi hepatitis C dengan hasil yang baik. Obat DAA merupakan obat yang relatif baru dan di luar negeri biaya terapi tiga bulan mencapai 80.000 dollar AS atau sekitar Rp 1 miliar. India dengan izin perusahaan yang mempunyai paten obat ini memproduksi obat DAA generik dan harganya hanya sekitar Rp 28 juta. Namun, obat DAA generik ini hanya boleh dijual kepada negara-negara tertentu yang pendapatan masyarakatnya belum tinggi.
Indonesia merupakan negara yang diperbolehkan membeli obat generik ini. Tahun 2016, Pemerintah Indonesia membeli obat DAA ini dan pada 2017 mulai menyediakannya bagi masyarakat. Sebenarnya obat yang disediakan pemerintah adalah sofosbuvir. Untuk terapi hepatitis C yang ampuh, sofosbuvir harus dikombinasikan dengan obat lain. Di Indonesia yang banyak digunakan adalah daclatasvir.
Harga sofosbuvir untuk pemakaian sebulan sekitar Rp 6 juta, sedangkan daclatasvir sekitar Rp 2 juta. Pemerintah justru menyediakan obat sofosbuvir yang harganya mahal, sedangkan untuk daclatasvir sementara penderita harus membayar sendiri. Memang ada bantuan dari Clinton Foundation untuk daclatasvir bagi penderita hepatitis C yang juga menderita HIV. Jadi, penderita infeksi hepatitis C tunggal seperti Anda masih mengeluarkan biaya sekitar Rp 6 juta untuk pembelian daclatasvir untuk tiga bulan pengobatan.
Bagaimana cara mengikuti program terapi hepatitis C ini? Pertama, harus dipastikan apakah seseorang memang tertular hepatitis C kronik dengan cara pemeriksaan antibodi terhadap hepatitis C (anti-HCV). Jika hasilnya memang positif, dilanjutkan dengan pemeriksaan penghitungan jumlah virus dengan pemeriksaan HCV RNA. Jika HCV RNA tidak terdeteksi, tidak perlu pengobatan. Memang sekitar 10 persen hepatitis C dapat sembuh tanpa pengobatan, tetapi pada umumnya hepatitis C akan menjadi kronik.
Jika HCV RNA terdeteksi, dilanjutkan pemeriksaan jenis virus dengan pemeriksaan genotipe hepatitis C. Pemeriksaan genotipe ini mahal, sekitar Rp 3,5 juta, tetapi diperlukan untuk memilih obat DAA yang sesuai. Untunglah obat daclatasvir dapat digunakan untuk berbagai jenis virus hepatitis C sehingga jika pemeriksaan genotipe ini tidak memungkinkan, pemeriksaan ini tak perlu dikerjakan.
Setelah itu perlu dilakukan pemeriksaan fibroscan. Pemeriksaan ini dilakukan hampir serupa dengan pemeriksaan USG hati, gunanya untuk melihat keadaan hati. Jika belum ada sirosis, terapi cukup 3 bulan, tetapi jika sudah ada sirosis hati, terapi harus diberikan selama 6 bulan.
Setelah selesai terapi, dilakukan pemeriksaan HCV RNA ulang. Biasanya setelah selesai terapi HCV RNA tidak lagi terdeteksi. Untuk meyakinkan bahwa HCV RNA benar-benar sudah hilang, dilakukan pemeriksaan ulang 3 bulan setelah selesai terapi. Jika tetap tak terdeteksi, penderita dinyatakan sembuh.
Apakah mereka yang gagal terapi interferon dapat mengikuti program terapi ini? Ya, mereka dapat menjalani terapi ini. Mereka yang gagal dengan terapi interferon, jika menjalani terapi DAA ini, hasilnya biasanya baik.
Tahun ini pemerintah baru menyediakan obat DAA di enam provinsi di Indonesia, tetapi di masa depan penyediaannya akan diperluas karena penderita hepatitis C di Indonesia banyak dan tersebar di seluruh Tanah Air.
Apakah mereka yang telah dinyatakan sembuh total dapat mengalami infeksi ulang hepatitis C? Jawabannya adalah dapat. Jika penderita setelah terapi yang berhasil ini tetap menjalankan kebiasaan berisiko, misalnya menggunakan jarum suntik bersama, akan dapat terjadi infeksi baru. Karena itulah, terapi DAA ini harus disertai dengan perubahan perilaku dari perilaku berisiko menjadi perilaku sehat.
Saya mengucapkan selamat atas keberhasilan terapi Anda. Semoga Anda sekeluarga akan tetap sehat dan bahagia.