Di kancah seni grafis internasional teknik (woodcut, linocut) reduksi memiliki julukan yang seram: ”Suicide Printmaking” yang terjemahannya menjadi ’seni cetak grafis bunuh diri’. Tentu nama itu tidak bermaksud berseram-seram atau ingin membuat publik menjauh dan takut dengan salah satu varian teknik cetak tinggi atau relief print dalam seni cetak grafis ini.
Julukan ini diberikan karena dalam teknik ini pegrafis bertaruh ”psikis dan fisik” dengan prosesnya yang sebenarnya sangat mudah dibandingkan dengan teknik-teknik seni grafis lainnya, seperti woodcut/linocut multiplate, drypoint, etching, aquatint, mezzotint, serigraphy, hingga lithography, hanya saja perlu kehati-hatian. Umumnya dalam membuat karya grafis berwarna diperlukan pelat lebih dari satu atau multipelat agar proses pengedisian berjalan sistematis dan lancar. Namun, teknik (woodcut, linocut) reduksi hanya menggunakan sebuah pelat kayu atau lembaran linoleum sebagai acuan cetak untuk menghasilkan karya seni grafis penuh warna dan tidak dapat diulang prosesnya jika terjadi kesalahan pengerjaan.
Proses awal teknik reduksi dimulai dengan menyiapkan pelat (biasanya dicukil) lalu diberi tinta merata di seluruh permukaan pelat yang tinggi kemudian ditaruh kertas di atasnya dan dipres menggunakan tangan atau menggunakan bantuan mesin pres. Setelah cetakan atau lapis warna pertama selesai, pelat yang sama dibersihkan dan dicukil lagi untuk menyiapkan bidang cetak bagi warna kedua. Begitu seterusnya untuk melapis warna demi warna sampai bentuk pelat menjadi semakin menjauh dari bentuk awal pengerjaan dan hanya menyisakan bidang cetak buat warna paling akhir.
Multipelat
Lawan dari teknik (woodcut, linocut) reduksi adalah teknik (woodcut, linocut) multipelat yang menggunakan lebih dari satu pelat kayu atau linoleum untuk menghasilkan karya grafis penuh warna dan dapat mengulang prosesnya jika terjadi kesalahan pengerjaan. Teknik reduksi memang menjadi berbeda karena keluar dari kecenderungan metode membuat karya berwarna dengan teknik-teknik seni grafis lainnya dan membuat pegrafis tidak dapat memperbaiki kesalahannya. Sebenarnya teknik reduksi adalah sebuah cara paling mudah dan murah dalam membuat sebuah karya grafis penuh warna karena tidak perlu mengatur register yang rumit dan menghemat biaya penyediaan pelat ekstra.
Tidak heran teknik ini kerap diajarkan buat pemula atau amatiran di workshop-workshop dalam mengenalkan teknik grafis berwarna sebelum mereka dikenalkan teknik multipelat yang lebih sulit atau teknik-teknik lainnya. Namun, kemudahan ini sebenarnya mengandung risiko ”datangnya perasaan frustrasi” pada pegrafis karena pekerjaannya rentan menemui kegagalan dan tidak dapat diperbaiki/dilanjutkan. Di sini pegrafis seakan mengambil sebuah tindakan sadar untuk ”bunuh diri” jika tidak siap menerima dan tidak memahami prosesnya.
Siapa penemu teknik ini masih belum diketahui. Telah banyak publikasi mengatakan bahwa pelukis Pablo Picasso adalah seniman pertama yang menggunakan teknik reduksi saat ia bereksperimen membuat karya dari cetakan linoleum pada tahun 1956 termasuk ada juga yang buru-buru menganggapnya sebagai penemu. Namun, penelitian Alisa Burbury melalui paper presentasinya dalam 4th Australian Print Symposium, National Gallery of Australia, Canberra, 2001, telah menggugurkan pernyataan bahwa Picasso adalah penemu teknik tersebut.
Penelitian Alisa menyatakan bahwa Picasso hanya dapat dikatakan sebagai seniman terkenal dan profesional pertama yang memakai teknik tersebut. Berdasarkan penelusurannya, teknik reduksi telah diajarkan di high school dan art collage di Inggris pada akhir 1940 setelah Perang Dunia sebagaimana diakui oleh pegrafis Righny Graham, Chris Thistlethwaite, dan Pat Gilmor yang pernah melakukannya sebagai tugas dari para guru mereka saat mereka bersekolah. Lebih ke belakang berdasarkan arsip katalog pameran dari Grosvenor Gallery, Inggris, 1935, ditemukan bahwa pegrafis dari Melbourne, Australia, Murray Griffin, telah mulai membuat karya penuh warna hanya dengan satu pelat linoleum pada tahun 1932. Walau belum berani menyebut Murray Griffin sebagai penemu, Alisa meyakini bahwa teknik ini belum pernah ada yang melakukannya sebelum tahun 1930.
Teknik reduksi memang tidak seterkenal teknik relief print lainnya seperti woodcut/linocut multiplate atau mokuhanga yang terlebih dahulu muncul seiring ditemukannya teknik relief print di Eropa dan Asia. Teknik reduksi baru diketahui keberadaannya ketika dibawa oleh pegrafis Amerika, Alfred Sesler, tahun 1957, saat ia mendapat hibah belajar musim panas dari the Graduate School of the University of Wisconsin. Di sana Sesler bereksperimen dengan teknik reduksi dan memamerkan karya-karyanya di bulan September pada tahun yang sama di Wisconsin Union Gallery, SA. Selain dinamai ”Suicide Printmaking” atau ”The Suicide Method” atau ”Suicide Block”, teknik ini juga memiliki banyak nama yang beberapa di antaranya jarang dipopulerkan di sini, seperti reduction, reductive, cut and come again, progressive, elimination dan waste block.
Cukil habis
Di Indonesia teknik reduksi sering diistilahkan sebagai teknik ”cukil habis” atau ”cetak rusak” karena sesuai logika pelat acuan cetak akan dicukil terus sampai habis atau rusak dan hanya menyisakan bidang cetak terakhir untuk menghasilkan tumpukan banyak warna yang diinginkan pegrafis. Terkadang teknik ini diselorohkan sebagai ”teknik Jogja” disebabkan banyaknya pegrafis Yogyakarta yang berkarya dengan teknik reduksi, mulai dari pegrafis senior sampai mahasiswa seni grafis, mulai dari pegrafis profesional sampai amatir atau pembelajar. Sebut saja nama-nama seperti Edy Sunaryo, Yamyuli Dwi Imam, Sutrisno, Agung Pekik Hanafi, Muhammad ”Ucup” Yusuf, Devy ika, Irwanto Lentho, Bonaventura Gunawan, dan Sri Maryanto sebelum kepindahannya ke Jerman yang berkarya dengan teknik woodcut reduksi. Di Bandung ada Agung Prabowo (AGUGN) yang berkarya dengan teknik linocutreduksi.
Pembicaraan teknik dalam seni grafis adalah keniscayaan bagaikan benda dan bayangannya, mengikat tak terpisahkan antara karya dan pengetahuan akan tekniknya. Persoalan teknik perlu terus diinformasikan dan diperbincangkan agar perkembangan seni grafis itu sendiri berjalan dan pemahaman publik tumbuh. Para komentator dan pelaku seni grafis Tanah Air yang terlalu kesengsem mengidam-idamkan ”konten” hingga bernafsu meniadakan perbincangan teknis sepertinya perlu menengok keluar.
Di negara-negara yang maju infrastruktur seni grafisnya seperti Eropa dan Amerika, permasalahan teknis selalu menjadi bagian tak terpisahkan dari persoalan konten ketika membahas seni grafis dan tak henti dibawakan di forum-forum pameran, kompetisi, workshop, art fair, diskusi, seminar, konferensi, dan di jurnal-jurnal yang rutin diterbitkan. Di samping mengupas konten, teknis dalam seni grafis terus diuji, ditelusuri, didebat, dan dicari terobosan-terobosan agar dapat diterima generasi kekinian. Ingat penemuan ”Kitchen Lithography” oleh pegrafis Perancis, Emilie Aizier, yang mengganti beberapa bahan baku klasik membuat kerja lithography yang historik dan berat menjadi seringan bekerja di dapur dan kini para ”remaja serta ibu-ibu” dapat berkarya lithography tanpa harus mencari studio yang lengkap fasilitasnya. Walau katanya Amerika dan Eropa bukan bandingan kita buat membicarakan seni grafis, ”keseriusan dan kengototan” mereka perlu kita pelajari. Di Amerika ada lembaga-lembaga tua seni grafis seperti International Print Center New York (IPCNY), Lower East Side Printshop dan Robert Black Burn Studio di New York, dan Tamarind Institute lembaga setingkat S-2 untuk master Lithography di New Mexico yang sejak mulai berdiri hingga saat ini tiada henti mengadakan kelas, workshop, pameran, dan diskusi-diskusi segar tentang teknik seni grafis yang menarik banyak peserta.
Tetapi, pegrafis dan pelaku seni grafis di sini cenderung ingin menyembunyikan watak seni grafis yang sarat dengan persoalan teknis dan melakukan ”kamuflase-kamuflase merugikan” hanya karena takut dibilang konservatif dan tidak kontemporer. Para komentator pun tak kalah sibuk mendorong tanpa didukung pengetahuan yang jelas agar pegrafis cepat-cepat meninggalkan perbincangan teknis yang dalam syahwat mereka ”usang dan membosankan” tertinggal dari seni kontemporer.
Dalam segi ini kita jelas tertinggal dari China, Jepang, dan India di kelas Asia yang ramai dengan berbagai pameran, kompetisi, workshop, art fair, konferensi, simposium, seminar baik berskala lokal maupun internasional. China berhasil menghidupkan China-Guanlan Original Printmaking Base di Shenzhen sebagai barometer seni grafis dunia hanya dalam kurang dari sepuluh tahun. Namun, kita juga telah tertinggal dari sesama negeri ASEAN, seperti Thailand, Filipina, dan Vietnam, dalam memperlakukan seni grafisnya sebagai sebuah entitas seni rupa yang berkarakter dan kuat daya pesonanya.
SYAHRIZAL PAHLEVI, pegrafis, pengelola Teras Print Studio, Yogyakarta