Dengan subjudul ”Rekam Jejak”, Daoed Joesoef menarasikan rekaman jejak-jejak hidupnya dalam tiga zaman. Zaman penjajahan Belanda, zaman penjajahan Jepang, dan zaman kemerdekaan. Dalam rentangan tiga zaman itulah, jejak Daoed Joesoef menjadi bagian utuh sejarah perjalanan negara-bangsa meng-Indonesia sekaligus sejarah kehidupan pribadinya.
Ada jejak-jejak kaki yang menghunjam dalam, ada yang sedikit menghunjam, dan ada yang sekadar lewat. Terbentang mosaik kekayaan hidup, endapan historisitas masa lalu sekaligus proyeksi masa depan seorang Daoed Joesoef dalam tiga zaman, berikut subzamannya: Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi. Daoed Joesoef adalah pelaku dan saksi sejarah kehadiran Indonesia. Dia tidak keli tetapi ngeli, terus melakukan kritik sebagai kelanjutan bentuk perjuangannya setelah terbebas dari penjajahan dan Indonesia terbebas dari pemerintahan represif, di mana dirinya pernah sebentar berada dalam lingkaran pertama kekuasaan, dan Orde Reformasi di usia yang sudah tidak muda lagi.
Penulisnya sudah dan terus berjuang, baik di medan pertempuran fisik maupun upaya pencerdasan bangsa lewat pencarian makna berpikir, dan terus mengajak agar sesamanya berani berpikir lurus, karena itu siap menjadi manusia tidak disukai publik demi nilai-nilai yang diperjuangkannya. Ditahan Belanda karena tertangkap menempelkan poster ”uang merah” (uang Belanda) di Yogyakarta, mundur sebagai gerilyawan (hal 104), pindah ke Jakarta dan kembali berdinas militer, karena ingin fokus pada pengembangan ilmu, Daoed Joesoef meninggalkan statusnya sebagai tentara dengan pangkat terakhir letnan muda (hal 112), seperti sebelumnya meninggalkan potensi lainnya sebagai pelukis.
Dengan sikapnya yang tegas, dia tolak surat pengangkatannya sebagai guru besar yang harus dia tanda tangani sebagai Menteri P dan K tahun 1978 (hal 200). Dia robek-robek surat itu sambil mengatakan, ”ini penjilatan”. Karena itu sering ada yang bertanya, Pak Daoed Joesoef belum profesor yang segera disusul jawaban, ”tidak mau”, sementara gelar guru besar banyak diidamkan dan diburu bahkan belakangan ini diberikan kepada yang tidak pernah sedetik pun menjadi dosen. Daoed Joesoef siap menjadi ”lain dari yang umum” demi kebenaran, sikap dan keyakinannya.
Begitu duduk sebagai menteri, Daoed Joesoef sudah berbekal konsep tentang pendidikan untuk masa depan bangsa ini. Seperti diakuinya, selagi menjadi mahasiswa di Universitas Sorbonne dengan gelar doktor negara bidang moneter dan doktor universitas, ia mengembangkan konsep pembangunan pendidikan, pembangunan ekonomi, dan pembangunan pertahanan nasional. Komisi Pembaruan Pendidikan Nasional (KPPN) yang dibentuknya beberapa bulan sesudah dilantik sebagai menteri merupakan langkah strategis pembangunan pendidikan yang dilaksanakan di tingkat menengah dan dasar. Hasil komisi itu tidak disimpan dalam map, tetapi dijadikan batu pijakan praksis pendidikan di bawah koordinasi dan tanggung jawabnya sebagai Menteri P dan K.
Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) yang bertujuan mengembalikan marwah lembaga pendidikan tinggi, yakni tempat pengembangan manusia penganalisis, dan bukan manusia panggung, jauh dari maksud membungkam mahasiswa berpolitik yang kebetulan sinkron dengan situasi maraknya demonstrasi mahasiswa saat itu.
Menghunjam tajam
Meskipun hanya menjabat satu periode (1978-1983) dalam kabinet Soeharto, jejak yang ditinggalkan Daoed Joesoef menghunjam tajam. Dengan rasionalisasinya yang masuk akal, lugas dan bernalar, banyak kebijakan yang sebelumnya sudah berjalan, dia rombak. Di antaranya libur sebulan penuh selama bulan puasa diperpendek hanya pada seminggu sebelum Ramadhan dan seminggu sebelum Idul Fitri, awal tahun ajaran tidak bulan Januari tetap bulan Juni, pembedaan tegas antara pendidikan umum dan vokasional, mahasiswa adalah manusia penganalisis. Mahasiswa mengembangkan nalar, man of analysis, sesudahnya baru man of public meeting, manusia panggung.
Dari antara jejak-jejak yang menghunjam itu, menarik kisah bagaimana Daoed Joesoef menjelaskan ide, sikap, dan usulannya kepada Presiden Soeharto; sebuah kisah yang selama ini belum sepenuhnya terbuka ke publik (hal 243-245). Uraiannya tentang pembangunan ekonomi dipotong oleh Presiden Soeharto, katanya ”Doktor Daoed Joesoef sebaiknya berkonsentrasi saja pada pelaksanaan pembangunan pendidikan dan kebudayaan… Pembangunan dan perencanaan ekonomi sudah diurus oleh menteri-menteri teknokrat yang kapabel.” (hal 245). Padahal, demikian tulis Daoed Joesoef, di balik sindiran, bahwa dirinya mencampuri urusan menteri-menteri lain, banyak gagasan yang disampaikan, di antaranya bila perlu dibentuk satu departemen kelautan (hal 247-248), diadopsi dalam praksis pemerintahan kemudian.
Sebagai seorang ilmuwan, seorang pencari makna, dan merasa sebagai menteri harus 24 jam kerja tanpa henti, Daoed meminta cuti tidak mengajar di Fakultas Ekonomi UI. Ketika tidak lagi menjabat sebagai menteri, ia meminta izin Setneg untuk dipercepat pensiun yang berarti tidak lagi menjadi PNS. Permintaannya dikabulkan, ia menjadi staf penuh CSIS—lembaga yang ikut dia dirikan (hal 200). Begitu juga sikap tegasnya menolak apa yang bukan menjadi haknya, di antaranya tidak mau mengambil sisa dana taktis sebagai menteri. Sisa dana taktis sebesar Rp 15 juta, dia bagi-bagi Rp 5 juta untuk pensiun guru, Rp 3 juta untuk Dharma Wanita Departemen P dan K, dan sisanya bisa dipakai karyawan (hal 261).
Buku yang ditulisnya selama 1,5 tahun ini menarik, mendalam, dan sarat dengan ide-ide segar serta informatif. Sastrawi. Memoar yang melengkapi Emak (terbit pertama kali tahun 2003) yang sudah diterjemahkan ke bahasa Inggris, salah satu dari puluhan buku karya Daoed Joesoef.
Rekam Jejak Anak Tiga Zaman perlu dibaca bersamaan dengan Emak, sebab terjadi pengulangan-pengulangan, bisa berarti penegasan dan penambahan, bisa sebaliknya mengurangi bobot buku. Narasi seorang saksi sekaligus pelaku sejarah, berkisah apa adanya, karena itu merupakan warisan berharga selain keteguhan dalam bersikap dan siap menjadi yang tidak umum.