Tahun 1938, Sutan Takdir Alisjahbana (STA) mengunjungi Kintamani untuk pertama kali, ditemani sastrawan Panji Tisna. Rupanya mereka mengunjungi Toya Bungkah (kadang ditulis Toyabungkah), yang ketika itu masih perladangan dengan topografi tanah yang landai di kaki gugusan perbukitan Kintamani. Posisinya berhadap-hadapan dengan Desa Trunyan yang mempunyai tradisi ”merawat mayat” berusia 10 abad di seberang Danau Batur.
Di bawah suhu pegunungan yang sejuk, Toya Bungkah yang punya banyak sumber air panas alami tampak istimewa karena seakan-akan menjadi simbol perpaduan dua kutub energi: panas dan dingin. Sementara keberadaan budaya Bali Aga (budaya pegunungan atau budaya Bali mula) di seberang danaunya yang tenang menghadirkan suatu panorama waktu yang ideal bagi seorang perenung. Tradisi-tradisi Bali Aga yang masih bertahan di Trunyan itu, yang signifikan berbeda dengan tradisi besar di bagian selatan, seakan menampilkan sisi waktu yang lain di Pulau Bali, yakni ”waktu statis”, sebagai padanan dari waktu Bali yang dinamis.
Bagi seorang sastrawan, filsuf, dan futurolog seperti STA, lanskap yang seperti itu pasti sangat menarik. Terbukti, tiga puluh dua tahun kemudian, ia kembali mengunjungi Toya Bungkah, membeli sehamparan tanah di lerengnya dan kemudian mendirikan Balai Seni Toya Bungkah pada 1973.
Tidak banyak sastrawan ataupun pengamat seni yang tertarik pada topik STA berkaitan dengan gagasannya mendirikan Balai Seni Toya Bungkah itu. Lain dengan Siti Zainon Ismail, penyair Malaysia yang melihat Toya Bungkah sebagai titik balik dalam perjalanan pemikiran Sutan Takdir Alisjahbana. Secara khusus, ia menulis sajak berjudul Nafas Toyabungkah – di Taman Pak Takdir sebagai bentuk interpretasinya atas sosok STA yang kontroversial itu.
...
kau lihat batu-batu cadas itu
yang dibentuk oleh api dan air
atau pohon kembali
mengenal akar,
setia nelayan
memintal lumut di hujung kail
mujahir danau
tiba-tiba muncul setelah kebakaran
Ditulis pada 1985, sajak ini mencoba merekam sisi dialektika dari dunia batin STA melalui pemandangan sehari-hari di Toya Bungkah. Sebuah pemandangan hidup yang bersumber dari ketenangan masa lampau, warisan masyarakat pra-Indonesia, yang selama ini dikecam STA kurang ”mendayagunakan otak lantaran terbiasa menjadi sleursmans, manusia yang hamba kebiasaan”.
Apakah dengan demikian, Toya Bungkah dapat dikatakan sebuah titik balik dari pemikiran STA tentang kemajuan? Apabila mengikut kerangka interpretasi Siti Zainon, tentu jawabnya adalah ”iya”. Namun, perlu diingat, STA sendiri menolak disebut telah mengubah pendirian awalnya mengenai cita-cita kemajuan kebudayaan Indonesia. Dalam sebuah esai yang ditulisnya pada 1982, ia menekankan kembali pentingnya muncul avant-garde baru di dalam kebudayaan. Dan, itu mestilah diikuti kaum seniman, lebih-lebih kaum sastrawan dalam rekonstruksi kehidupan pribadi, masyarakat, dan kebudayaan yang baru... yang bahu-membahu bekerja dengan ahli-ahli ekonomi, politik, agama, dan pemimpin-pemimpin masyarakat.
Ia menolak spesialisasi di lapangan kebudayaan. Karena krisis yang melanda manusia kontemporer menurut dia memerlukan peninjauan menyeluruh serta global pula sifatnya, tidak dapat dijawab oleh spesialisme. Dalam visi seperti ini pula Balai Seni Toya Bungkah digagas, yang makin ditegaskannya dengan mendirikan International Association of Art and the Future pada 1978 bersama masyarakat intelek dan seni internasional.
Titik kulminasi
Dapat dikatakan, Balai Seni Toya Bungkah merupakan titik kulminasi dalam perjalanan pemikiran dan perenungan STA selaku seorang visioner kebangsaan dan kebudayaan. Di samping tujuan untuk menciptakan avant-garde budaya, ia sekaligus merepresentasikan STA selaku manusia Nusantara yang tidak dapat disedot sepenuhnya oleh modernisme dan westernisasi, tetapi ingin menjadi bagian aktif dan progresif dalam tataran global. Di sisi lain, gagasan pendirian Balai Seni Toya Bungkah bukan pula merupakan suatu perangkap tradisional yang hendak menjerat kita dalam romantika masa lalu belaka. Yang dulu, yang sekarang, yang nanti justru berpadu di situ. STA mewujudkannya melalui cita-cita seni yang bercorak eksperimental, dengan mengelaborasi lalu mengolaborasikan sisi-sisi paling orisinal, mutual, dan penuh visi dari sebuah pencapaian seni, baik yang tradisi maupun yang kontemporer.
Barangkali karena itu pula ia memilih puisi untuk dieksperimentasi dengan tarian saat mengundang Ni Ketut Reneng (yang maestro tari tradisi) mencipta dan melatih di Toya Bungkah. Sebab, bagaimanapun, kekuatan puisi yang mampu menyublimasi ragam peristiwa dari ragam lapangan kehidupan dalam satu momentum estetika yang unik juga terdapat dalam seni tari dan seni masa lampau kita. Dalam hal ini, Ni Reneng tentu sosok yang sangat tepat karena taksu masa lampau yang hidup di dalam dirinya.
Terlepas dari tidak ada pernyataan eksplisit mengenai pengaruh Ni Reneng dalam kehidupan pemikiran STA, kita tetap dapat menjangka bahwa, melalui Ni Reneng, STA telah melihat spirit seni Bali yang memenuhi kriterianya perihal ”seni yang bertanggung jawab kepada masyarakat dan keindahan itu sendiri”.
Tak pelak, sajak Siti Zainon Ismail juga menyiratkan hal itu, sebagaimana tampak dalam bait di bawah ini:
ketika seniman tua itu mengumpul batu-batu
mengatur kemboja di halaman
keinginan yang hangat, apakah kita
yang muda hanya terpukau
kagum lalu melupakan?
Malam itu
kusimpul senyum Nyi Gadung
kenangan masa lalunya
ada ilmu yang harus kusimpulkan
benarkan cahaya itu merimbas
hingga darahku
memercik ke danaumu!
Kritikus Dami N Toda mengira bahwa sosok yang dimaksud bait tersebut adalah STA di masa tuanya (Dewan Sastera, Oktober 2002). Namun, saya lebih suka melihat figur itu sebagai sosok simbolik yang mewakili ”taksu masa lalu”, kepada siapa si aku menemukan keinginan yang hangat itu, dan perlu menyimpul ilmu demi membenarkan cahaya yang merimbas itu. Tak terkecuali bagi seorang STA tentunya.
Toya Bungkah yang terpencil di hulu Kintamani itu kini memang terabaikan, seperti cita dan cinta yang belum kesampaian. Sebagian lahannya mungkin sudah dialih guna, papan mereknya tertutup semak, sementara panggung, properti, serta buku-buku di perpustakaan sudah dimakan rayap. Namun, gagasan pendiriannya layak direfleksi, sebuah monumen visi yang penting dalam usaha menemukan karakter kemajuan kebudayaan Indonesia.
Riki Dhamparan Putra, Penyair, Esais, dan Pencinta Budaya Kelahiran Sumatera Barat, Kini Menetap di Jakarta