Masker Merangkul Mode
Kala bisnis mode lesu pada masa pandemi Covid-19, produksi masker mekar merona dengan permintaan yang meroket.
Kala bisnis mode lesu pada masa pandemi Covid-19, produksi masker mekar merona dengan permintaan yang meroket. Desainer dan peritel mode Tanah Air pun menangkap gairah tingginya permintaan masker ini dengan membuat masker yang tak hanya fungsional. Ciri khas para desainer pun dilekatkan pada masker-masker sederhana nan menawan ini.
Tingginya permintaan pula yang membuat rumah mode dunia, seperti Saint Laurent dan Balenciaga, mengumumkan pengalihfungsian bengkel kerja di Perancis dari produksi busana mewah menjadi produksi masker wajah. Seperti diberitakan bloomberg.com pada Kamis (16/4/2020), produsen pakaian dari Indonesia untuk merek seperti Prada dan Armani kini juga sibuk menjahit jutaan masker.
Di Indonesia, gairah memproduksi masker bisa dilihat dari tingginya permintaan di berbagai label dan desainer mode Tanah Air, seperti Cottonink, ATS The Label, Mel Ahyar, Rama Dauhan, Stella Rissa, fbudi, dan Ivan Gunawan. ”Ada opportunity dan demand. Kami menuju produksi 100.000 masker. Masker sudah jadi aksesori wajib,” ujar Direktur Brand dan Marketing Cottonink Ria Sarwono, Kamis.
Karena diproduksi dari kain sisa koleksi, pelanggan setia bakal bisa mengenali corak kemiripan antara masker kain dan koleksi busana yang sebelumnya sudah diluncurkan oleh Cottonink. Sejak tiga pekan lalu, Cottonink memproduksi masker dengan tiga model berbeda, yaitu masker earloop, dengan tali di telinga, headloop untuk konsumen berhijab, serta tie up dengan ikatan yang bisa diatur.
”Untuk tampil menarik, pilih pattern yang lucu. Masker kami ada yang stripe, ada yang polos. Masker polos bisa buat cowok. Enggak menutup kemungkinan tabrak pattern dengan baju yang dipakai,” tambah Ria.
Pilihan warna dan motif ceria dari bahan sisa kain juga ditawarkan oleh ATS The Label. ”Kenyamanan menjadi prioritas. Kami melakukan sampling untuk beberapa masker, dari memilih kain yang pas, pattern dan warna yang paling cocok dan menarik, sampai karet untuk earloop. Kami juga mendengar feedback dari customer,” ujar desainer yang juga pendiri ATS The Label Regina Rafika.
Keunikan desain
Selain menggunakan bahan kain sisa koleksi, desainer Mel Ahyar mulai memproduksi masker yang dirancang sepaket dengan koleksi busana. Koleksi masker ini diluncurkan bersamaan dengan busana untuk Lebaran mendatang. ”Kita lebih milih yang nyaman dibanding mewah, tapi cantik. Kerudung dengan selendang dan masker sebagai pelengkap total look,” kata Mel Ahyar.
Bagi Mel Ahyar, produksi masker kali ini menjadi pengalaman pertama yang penuh uji coba. Untuk pemilihan bahan masker, misalnya, setiap kain memiliki karakter yang berbeda. Ia harus mempertimbangkan tebal tipis, jenis kain, hingga jumlah lapisan kain masker. Tekstur kain bagian luar harus menghindari aplikasi payet atau bunga timbul yang berlebihan.
”Sepolos mungkin lebih bagus. Lebih bermain dengan ilustrasi print-nya. Produksi masker bisa menggalakkan orang kreatif untuk kembali berkreasi,” ujar Mel Ahyar yang memproduksi masker sejak dua pekan terakhir.
Masker yang didesain Mel Ahyar ini dipasarkan antara lain dalam bentuk paket masker bersama desainer lain dan MRA Media. Satu boks paket masker ini berisi lima masker untuk dewasa ataupun anak-anak. Mel Ahyar juga membagikan masker gratis kepada konsumen yang membeli produk mode dengan label Mel Ahyar, Happa, ataupun Xy.
Keunikan desain masker juga lahir dari tangan desainer Rama Dauhan. Keunikan itu lahir karena semua bahan yang dipakai untuk pembuatan masker juga merupakan bahan sisa dari koleksi yang pernah dikeluarkan oleh Rama Dauhan ataupun sisa bahan pesanan khusus klien. ”Yang diutamakan adalah fungsi. Terlepas yang membuat seorang fashion designer atau bukan,” katanya.
Masker juga dibuat dari bahan sisa tenun dan batik. Bersama seorang sahabat yang bergerak di bidang busana anak, Rama Dauhan lantas memproduksi masker dengan bahan warna-warni nan lucu bagi anak-anak. ”Saya terlibat 100 persen. Namun, karena semua dibuat dari bahan sisa, kuantitasnya tidak banyak,” tambahnya.
Donasi masker
Rama Dauhan memilih produksi masker dengan model klasik lapisan dobel dengan filter pocket. Model tali ikat dipilih agar lebih bersahabat untuk pengguna berhijab. Dengan harga masker Rp 75.000 per buah, 20 persen dari penjualannya didonasikan melalui bisnis restoran lokal untuk pihak yang membutuhkan, seperti pekerja rumah sakit, driver ojek daring, dan pengemudi taksi.
Masker untuk donasi juga diproduksi oleh desainer Stella Rissa dan Ivan Gunawan. ”Sejak awal, gue sudah berpikir kalau harus bisa membantu dan bikin sesuatu dengan keahlian yang saya punya. Untuk tahap awal, saya memilih bikin masker dari bahan-bahan kain yang ada. Dengan begitu, saya juga bisa sekaligus memastikan karyawan bisa terus bekerja,” ujar Stella.
Hingga saat ini, Stella memproduksi sekitar 4.000 masker, 400 lembar surgical gown, dan 50 unit hazmat dengan bahan khusus dan kedap air. Semuanya dibagikan langsung oleh Stella secara gratis atau dipesan sejumlah kalangan untuk kemudian didistribusikan kembali secara gratis.
Saat merancang masker, surgical gown, dan hazmat buatannya, Stella mengaku memang memperhatikan pula pertimbangan styling. Akan tetapi, dia tidak terlalu berfokus pada hal itu dan lebih mengutamakan fungsinya sebagai alat kelengkapan dan pengamanan bagi para pemakainya, terutama para tenaga medis.
”Yang penting jangan terlalu berlebihan sampai jadi aneh juga. Sekarang ini juga rencana mau kasih tambahan payet bentuk pearl di masker. Enggak akan mempersulit saat dicuci sih, karena, kan, (payetnya) enggak banyak-banyak. Yang penting fungsionalnya dan praktis,” ujar Stella.
Ivan Gunawan juga tidak ketinggalan memproduksi masker-masker kain dari beberapa lini busana miliknya. Masker-masker berbahan poliester itu dibagikan secara gratis melalui yayasan yang didirikan Ivan. Masker buatan Ivan bisa dicuci dan dikenakan ulang. Saat ini, sekitar 3.000 lembar masker telah dibuat.
”Masker-masker tersebut aku bagikan kepada semua karyawan, orang-orang yang tinggal di sekitar tempat aku produksi, dan juga kepada penggemar yang membutuhkan,” ujar Ivan.
Walau mengaku tak terlalu menonjolkan sisi mode dalam masker-masker buatannya, Ivan menyebutkan, dari sisi warna, terlihat cukup modis dan beragam. Ada warna abu-abu, hitam, biru, dan marun. Dengan begitu, si pemakai bisa menyesuaikan dengan warna kostum yang dikenakan.
”Aku cuma taruh logo saja sih di masker-masker buatanku. Hampir semua brand-ku bikin masker, seperti Mandjha Hijab, Khalif, dan Jajaka,” tambah Ivan.
Masker wajah sejatinya sudah sangat akrab dengan dunia mode. Di ajang Paris Fashion Week pada akhir Februari lalu, misalnya, desainer Marine Serre tanpa sengaja sudah menampilkan desain masker untuk koleksi musim gugur dan musim dingin 2020/2021. Serre menggambarkan penutup wajah sebagai ”topeng antipolusi”.
Kini, dengan pembatalan beragam acara peragaan busana, seperti pekan peragaan busana Seoul, peragaan busana Georgio Armani di Milan, dan peragaan busana Beijing, produksi masker bisa menjadi sarana penyambung kreativitas para pekerja mode.