Jenis pakaian luaran menjadi solusi untuk menerbitkan secercah rasa tenang ketika harus berinteraksi dengan orang lain di masa pandemi.
Oleh
Mawar Kusuma Wulan
·5 menit baca
Supermodel Naomi Campbell menuai kritik ketika memakai pelindung diri serupa dengan yang dipakai petugas medis saat bepergian dengan pesawat terbang. Di akun Youtube-nya, Naomi mempertontonkan tutorial mulai dari pembelian hingga perjalanannya memakai pakaian sekali pakai yang hanya menyisakan bagian wajah itu. Kengerian yang menjadi alasan Naomi memakai kostum ”hazmat” ini sejatinya juga menghinggapi banyak orang.
Jika Naomi memutuskan memakai setelan hazmat seharga 15,99 dollar Amerika Serikat lengkap dengan kacamata, masker bedah, dan sarung tangan karet merah muda, penyanyi Erykah Badu juga memakai hazmat pelindung diri yang dijulukinya ”Social Distancing Couture”. Seperti terlihat di foto di laman Instagram-nya, Erykah memakai pelindung diri tertutup dengan logo Louis Vuitton ketika menghadiri ajang penghargaan musik.
”Ini adalah langkah pencegahanku. Aku tidak melakukan ini untuk lelucon. Ini adalah caraku merasa nyaman bepergian,” ujar Naomi yang juga selalu membersihkan setiap benda yang bersentuhan dengannya di pesawat.
Berawal dari keresahan yang sama seperti yang dialami Naomi atau Erykah, desainer seperti Anggia, Rosie Rahmadi, Wening Angga, dan Devy Ros lantas berkreasi mendesain pakaian luaran yang aman sekaligus nyaman. Jenis pakaian ini menjadi solusi untuk menerbitkan secercah rasa tenang ketika harus berinteraksi dengan orang lain di masa pandemi.
Berbekal pengetahuan membuat gaun medis yang sudah dipasarkan ke sejumlah rumah sakit di pelosok negeri, seperti Biak, Jayapura, Pekanbaru, dan Banjarmasin, Anggia melihat besarnya peluang memproduksi luaran pelindung diri yang tak hanya diperuntukkan untuk tenaga medis. Karena akan dipakai oleh masyarakat kebanyakan, busana pelindung ini tetap dibuat modis.
Koleksi luaran pelindung karya Anggia tampil menawan berupa gaun terusan kasual serupa gamis, blus, atau tunik yang bergaya androgini sporty. Terusan panjang yang seluruhnya dibuat tahan air sehingga anti-percikan liur ini dibuat gombrang dengan siluet I dan H serta dilengkapi detail berupa perca sebagai aksen dan kombinasi motif. Pada beberapa tampilan, tampak pula motif kotak-kotak ala sarung majalaya.
Permainan bahan
Siluet H dan I yang cenderung gombrang atau oversize ini diadopsi dari baju pelindung medis yang biasa dibuat Anggia. Pada sebagian tampilan, Anggia juga mengadopsi pemakaian kain rajut elastis atau rib yang biasa dijumpai di bagian pergelangan tangan baju bedah medis untuk melindungi dan menghindari agar gaun tidak mudah terlepas dari badan.
Gaun medis sebagai alat pelindung diri (APD) yang diproduksi Anggia terdiri dari baju bedah, jumpsuit hazmat atau pakaian yang menggabungkan atasan dan bawahan yang melindungi seluruh badan, luaran serupa apron, serta baju dalaman yang terdiri dari setelan atasan dan bawahan. Material APD medis biasanya berbahan dasar non-woven propylene untuk sekali pakai dan berbahan katun tebal atau woven polyester untuk yang bisa dipakai ulang.
Bahan non-woven propylene serupa plastik ini dibuat dengan cara dipanaskan lalu dilapisi dengan bahan waterproof, water resistant, dan water repellent sehingga tahan air, debu, virus, dan bakteri. Adapun bahan woven polyester serupa dengan kain biasa, hanya saja terbuat dari jalinan benang polyester yang seratnya mirip woven atau tenunan.
Anggia lantas memilih bahan katun tebal pada koleksi luaran bagi masyarakat umum. Ke depan, ia juga mempersiapkan luaran berbahan woven polyester dan nilon. ”Katunnya cukup tebal, dipakai sebagai pelapis. Kalau kena air atau kotoran butuh waktu untuk menyerap ke kulit. Katun lebih nyaman di kulit dibandingkan dengan bahan plastik,” kata Anggia.
Sebagai pengganti warna medis, seperti hijau dan putih, ia memilih warna-warni imut, seperti moka tua dan biru gelap yang merepresentasikan musim dingin serta warna hijau toska muda dan ungu muda yang mengingatkan pada musim panas. Koleksi ini banyak mengadopsi gaya kimono dari Jepang.
Meskipun tak memakai standar ketat WHO seperti ketika memproduksi APD medis, pelindung tubuh bagi masyarakat umum ini tetap dibuat agar bisa melindungi tubuh dari percikan ludah, tidak mudah melorot, dan harus melekat ke badan. Pembuatannya pun harus meminimalkan jahitan dan tidak boleh banyak cutting (pemotongan kain).
Kalaupun ada saku, letaknya harus lebih ke dalam. Luaran berupa perca pun dibuat dengan cutting yang sangat rapi. ”Karena akan ada friksi, bakteri, atau virus yang kemungkinan masuk. Harus clean,” tambah Anggia yang juga berprofesi sebagai dokter gigi spesialis konservasi gigi.
Memiliki ayah yang berprofesi dokter dan suami konsultan keuangan di beberapa rumah sakit, desainer Rosie Rahmadi juga tergerak membuat luaran pelindung bagi masyarakat. Sazia Outer sebagai salah satu produk dari Label Maison Gadiza yang diusung Rosie dibuat dengan mengutamakan keamanan si pemakai, tetapi tetap terlihat menawan.
Produknya serupa jaket yang panjangnya melebihi pinggang dilengkapi tudung penutup kepala. Jaket juga anti-air. Agar tak mudah lepas, bagian tangan diberi karet elastis. Jaket ini juga dilengkapi dua kantong besar untuk membawa barang dan meminimalkan penggunaan tas.
Pilihannya sempat jatuh pada bahan parasut yang memiliki kemampuan water repellent, cepat kering, ringan, dan lembut mengikuti lekuk badan. Namun, karena keterbatasan bahan baku di pasaran, Rosie kini membuat produk luaran dari kain taslan yang sering dipakai sebagai bahan jaket olahraga dan jaket hujan yang lebih tebal dibanding parasut.
Sekali jahit
Karena merasa aman dan nyaman ketika keluar rumah memakai produk Sazia Outer, Rosie lantas membuat video kampanye tantang pentingnya menggunakan jaket pelindung diri. Setelah kampanye tersebut, stok barang yang jumlahnya ratusan di gerainya di Margonda, Depok, Jawa Barat, yang tutup karena aturan pembatasan sosial berskala besar langsung ludes terjual lewat penjualan daring.
Beberapa petugas medis ternyata juga tertarik memakai produk Sazia Outer untuk dipakai ketika tidak memakai APD medis. Melihat tingginya minat, Rosie terus membangun produk luaran pelindung ini dengan serius. Ia sedang mempersiapkan kolaborasi dengan Jaket Respiro. ”Peminatnya masih rame banget. Orang menginginkan rasa aman ketika keluar,” kata Rosie.
Selain membuat APD medis, Label Wening’s Line di Yogyakarta dan desainer Devy Ros di Semarang juga membuat pakaian pelindung. Selain tahan air, luaran tersebut juga cepat kering. Wening Angga dari Label Wening’s Line memilih kain spunbond yang ringan, sedangkan Devy memakai bahan parasut. Koleksi Wening berwarna dominan pastel diberi sentuhan modis dengan pemakaian aksen tenun Baduy dan tenun lurik serta tambahan layering draping.
Bahan spunbond yang biasa digunakan untuk menggantikan plastik ini ternyata tidak mudah dijahit sehingga lebih banyak menggunakan pres. ”Enggak semudah katun. Bahan ini pun enggak boleh ada dedelan sehingga sekali jahit. Agar nyaman, produk dilapisi serat nilon yang menyerap keringat di dalamnya,” kata Wening. Dibekap luaran yang nyaman dan modis, pemakainya seolah berpelukan dengan rasa aman.