Wajah Baru Evolusi Mode
Dampak pandemi Covid-19 tak terelakkan, terlebih untuk sektor tersier, seperti mode. Pembatasan sosial membuat orang tidak banyak pergi ke mana-mana, tidak ke kantor, apalagi ke pesta.
Dampak pandemi Covid-19 tak terelakkan, terlebih untuk sektor tersier, seperti mode. Pembatasan sosial membuat orang tidak banyak pergi ke mana-mana, tidak ke kantor, apalagi ke pesta. Pembelian produk mode pun terjun bebas.
Angka penurunan pembelanjaan mode ini tidak main-main. Firma riset Global Data di Inggris mencatat, belanja mode untuk busana dan alas kaki di Inggris Raya merosot hingga 11,1 miliar poundsterling (sekitar Rp 200 triliun) pada tahun 2020 akibat pandemi. Di Indonesia, pelaku mode rerata mengeluhkan penurunan tajam penjualan 70 hingga 90 persen.
Mode yang selama ini glamor lantas dipaksa kembali ke akarnya, sebagai sandang. Seperti kata desainer Musa Widyatmodjo, selama ini branding produk mode adalah soal cerita, tetapi kini adalah soal alasan.
Baca juga : Gaya Hidup Berubah Permanen
”Fashion is not about a dream anymore. Fashion is about a reality right now. Beli produk mode bukan lagi karena pertalian emosional, tetapi karena kebutuhan,” kata Musa, Minggu (28/6/2020).
Pandemi seakan meredefinisi dunia mode karena runtuhnya ”gengsi” mode itu sendiri. Sebab, ruang pamernya tidak ada. Acara-acara dalam kalender mode pun dibatalkan atau ditunda. ”Fashion is not important this year,” kata psikolog mode dan konsultan branding, Dawnn Karen, seperti dikutip The Washington Post, Senin (15/6).
Mode yang tak lagi penting, seperti diungkap Dawnn itu, memukul hingga jauh ke hulu, seperti yang dialami para tukang jahit perantauan asal Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Pukulan pahit yang dialami penjahit itu diungkapkan penjahit asal Cilacap, Romli Wibowo (27), yang juga pengurus Komunitas Anak Rantau Asal Cilacap yang berprofesi di bidang jahit.
Mereka yang berkecimpung di dunia mode adalah orang kreatif, yang sering disebut ”tidak ada matinya”.
Satu per satu rekan Romli, sesama penjahit, dirumahkan akibat tidak bergeraknya roda bisnis mode. Setidaknya 90 persen dari total 250 penjahit anggota komunitasnya asal Cilacap Barat yang sebelumnya merantau ke kota-kota seperti Jabodetabek dan Bandung terpaksa pulang kampung dan kembali bertani.
”Sempat khawatir lihat teman yang bekerja di tailor dan konfeksi. Kaget lihat rekan banyak tutup dan karyawan dirumahkan. Pandemi terjadi ketika bulan puasa, padahal biasanya tukang jahit dapat order gila-gilaan,” ujar Romli, Minggu (28/6).
Baca juga : Pola Belanja Mode Bergeser
Romli cukup beruntung karena butik tempatnya bekerja bisa bertahan di tengah pandemi. Butik milik Desainer Riri Rengganis di Bandung itu sempat rugi dengan penjualan yang anjlok hingga 80 persen di awal pandemi. Namun, Riri berhasil membuktikan bahwa mereka yang berkecimpung di dunia mode adalah orang kreatif, yang sering disebut ”tidak ada matinya”.
Kreativitas mereka seakan ditantang justru di saat sulit. Riri yang mengusung label Rengganis dan Indische lantas ”banting setir” memproduksi hal-hal yang selama ini tidak dibayangkan akan diproduksi, yaitu masker.
Pinjam penjahit
Liat berinovasi dalam pembuatan masker, tak satu pun penjahitnya yang dirumahkan. Riri bahkan sempat meminjam tukang jahit dari desainer lain yang sepi permintaan.
Ketika tiga outlet penjualannya di Alun Alun Indonesia Grand Indonesia, Sarinah Thamrin, dan butik konsinyasi di Singapura tutup, Riri segera mengubah strategi bisnisnya lebih fokus pada penjualan daring dan membuat produk yang lebih relevan dengan kebutuhan dan daya beli sekarang.
Pilihannya jatuh ke produksi masker premium dengan desain yang bisa dipadukan dengan koleksi baju yang sudah ada. Di luar dugaan, kebutuhan masker premium seharga mulai dari Rp 75.000ini sangat tinggi. ”Minggu pertama pandemi, sampai nangis di pojokan bareng sesama desainer,” kata Riri yang sudah memproduksi lebih dari 2.000 masker.
Baca juga: Tantangan Bisnis Ritel pada Masa Transisi
Tingginya permintaan membuat tim yang terdiri atas sepuluh tukang jahit harus bekerja lembur. Masker tersebut diminati karena hiasan bordir nan cantik dan bisa dipesan sesuai selera konsumen.
”Sehari hanya bisa jahit 10 masker per penjahit, belum bordirnya. Aku memperlakukan masker seperti baju. Bisa custom, bisa diukur dulu dari telinga ke telinga. Itu capek, tapi memuaskan,” tambah Riri.
Karena pandemi ini, tren bergeser. Orang maunya yang simpel-simpel aja.
Dari acara webinar yang digelar oleh Indonesian Fashion Chamber—sebuah asosiasi nonprofit yang di dalamnya terdapat hampir 250 anggota di 12 wilayah di Indonesia—pada Senin (22/6), terungkap bahwa masker menjadi salah satu penyelamat bagi banyak pelaku usaha kecil menengah (UKM) di bidang mode. ”Rentan karena tidak adanya infrastruktur industri, sekaligus tangguh karena tinggi kreativitas didukung pasar yang semangat membeli produk lokal,” ujar Riri.
Bertahan di tengah pandemi dengan produksi masker juga dialami desainer Maggie Hutauruk. Dari awalnya memproduksi 1.000 masker untuk dibagikan kepada tukang ojek dan tukang sayur, Maggie kemudian memperoleh pesanan masker dari perusahaan. Sekitar Maret-April, omzet Jenama 2Madison Avenue yang didirikannya sempat anjlok 70 persen.
Baca juga: Pulasan Rona di Tengah Pandemi
Walaupun gerai di Pondok Indah Mall sudah buka, penjualan daring dan marketplace menjadi andalannya saat ini. Rupanya, jangkauan yang lebih luas dan perilaku belanja masyarakat selama masa pembatasan sosial menjadikan wahana daring lebih menjanjikan. Tim produksinya pun mulai bekerja secara rutin. Meski tak bisa dihindari, pemotongan gaji terpaksa dilakukannya.
Hal serupa dirasakan desainer Patrick Owen. Ia pun berusaha bertahan demi para pegawainya dengan mengeluarkan proyek Quarantine Diary 2020 dengan produk berupa kaus. ”Karena pandemi ini, tren bergeser. Orang maunya yang simpel-simpel aja. Busana kasual, seperti kaus dan jins, pasti lebih jadi pilihan nantinya,” ujar Patrick.
Produk adibusana
Berdasarkan riset McKinsey & Company yang dilakukan kepada 711 responden pada 25-26 April 2020, sebanyak 67 persen responden mengaku mengurangi pembelian pakaian. Penutupan pusat perbelanjaan yang berdampak pada gerai dan butik mode jelas mengakibatkan pula tekanan finansial pada industri mode.
Sebelum pandemi, industri mode mampu menghasilkan 2,5 triliun dollar Amerika Serikat dalam setahun secara global. Namun, pada 2020, penurunan signifikan diprediksi terjadi menyusul penurunan tingkat pembelian, penutupan berbagai gerai, hingga terimbasnya gelaran mode yang kerap dijadikan ajang promosi produk adibusana ataupun berbagai jenama lain.
Tekanan finansial juga dialami oleh Musa yang sudah berkarya hampir 30 tahun di dunia mode. Satu per satu dari 12 outlet penjualan miliknya ditutup. Di masa pandemi, ia pun harus melepas beberapa pegawai. Dari 35 orang anggota tim produksi inti termasuk tukang jahit dan bordir kini hanya tinggal 10 orang yang benar-benar masih aktif bekerja.
Meski demikian, Musa tetap optimistis. Ia kini membuat baju rumahan, masker, topi, bahkan celemek dapur dengan label M by Musa. Selain itu, ia sedang menggodok konsep koleksi premium untuk label Musa Widyatmodjo. ”Kayak pasir di genggaman, pilihannya keluar atau bertahan di genggaman. Saya memilih bertahan, seru malah lahir the new look of Musa,” tambahnya.
Optimisme juga tetap dipelihara oleh desainer Biyan Wanaatmadja dan Nonita Respati. Bagaimanapun, mode tetap akan menjadi bagian dari gaya hidup sesulit apa pun kondisinya. Kata Biyan, tidak ada lorong yang tidak ada ujungnya.
Biyan tetap membuat koleksi musim gugur/musim dingin 2020 walaupun di beberapa negara presentasi dan order harus dijadwalkan ulang. Koleksi tersebut juga harus mengalami sunting ulang agar tampilannya menjadi lebih ringkas, praktis, dan mudah dipakai.
”Enggak pas juga kalau berlebihan dalam suasana begini,” kata Biyan, Selasa (30/6).
Biyan pun harus belajar hal baru, mempresentasikan karyanya secara digital. ”Saya sendiri gaptek (gagap teknologi), kan? Ha-ha-ha.... Tetapi, Anda harus tetap berpartisipasi dalam era digital. Saya jadi merasa muda lagi,” tutur Biyan.
Biyan juga tetap menggarap koleksi musim semi/musim panas 2020. Meskipun harus ada ”kompromi”, segi artistik dan etika desain tidak dikorbankan. Selama ini, gaun rancangan Biyan dikenal karena siluetnya yang klasik dengan dekorasi menawan yang memunculkan nuansa feminin, mewah, dan elegan. Kini, Biyan lebih mengutamakan keterpakaian dan kenyamanan busana.
Hal senada disampaikan Nonita, Direktur Kreatif Purana, yang banyak menemukan peluang baru selama masa pandemi ini. Pada April lalu, Purana meluncurkan koleksi Resort 2020 secara virtual. Kini, Purana tengah menggarap koleksi mini berkolaborasi dengan seniman Agan Harahap dan direncanakan diluncurkan pada Agustus atau September 2020.
Selama pandemi, Purana memusatkan fokus untuk penjualan secara daring. Strategi lain adalah terkait modifikasi harga, terutama untuk barang-barang yang penjualannya lambat. Hasilnya justru mencengangkan. Penjualan pada bulan Maret-Mei justru paling tinggi, memecahkan rekor penjualan.
Selain menggarap koleksi mini, Nonita dan tim terus melangkah menyiapkan koleksi selanjutnya untuk musim gugur/ musim dingin 2020. Koleksi tetap diluncurkan sesuai jadwal, hanya sebagai bentuk kompromi, jumlah tampilan koleksi akan dikurangi.
Hingga tahun depan, diperkirakan, peragaan busana masih berlangsung secara virtual. Indonesia Fashion Week yang seharusnya digelar pada April lalu, menurut Musa yang juga pendiri dan penasihat IFW, masih dibekukan untuk waktu yang belum bisa ditentukan.
Untuk mengurangi pengeluaran, banyak perancang mode mengurangi jadwal kalender mode. Rumah mode ternama, dari Gucci hingga Armani, mengurangi show tahunan dari lima atau enam kali menjadi hanya dua kali untuk spring/summer dan winter/fall.
Kesediaan untuk berkompromi, beradaptasi, dan berkreasi tanpa henti inilah yang akan menentukan masa depan mode. ”Semakin lama kita berada di dalam pandemi, hubungan kita dengan mode akan berevolusi,” kata Dawnn Karen.