Serius Memitigasi Banjir
Jika masalah banjir Jabodetabek tak diselesaikan secara fundamental, ancaman lingkungan dan kemanusiaan akan jadi lebih besar. Sekalipun tak lagi jadi ibu kota negara, penyelesaiannya harus jadi komitmen bersama.
Memasuki tahun 2020, Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi atau Jabodetabek mendapat kado cukup istimewa. Tingginya curah hujan sejak sore di pengujung tahun 2019 menyebabkan banjir di banyak titik di Jabodetabek.
Beberapa perumahan tak hanya tergenang lebih dari 2 meter, tetapi tiba-tiba diterjang arus deras yang mampu menghanyutkan mobil. Beberapa perumahan yang belum pernah dilanda banjir pun tergenang. Jalan tol tak luput dari amukan banjir, tak terkecuali jalan tol layang Jakarta-Cikampek yang belum lama selesai dikebut.
Setidaknya terdapat 169 titik banjir di seluruh wilayah Jabodetabek dan Banten. Banjir diperkirakan menyebabkan 173.050 orang mengungsi dan sekitar 60 orang meninggal dunia. Titik banjir terbanyak di Provinsi Jawa Barat 97 titik (Kabupaten Bekasi 32 titik, Kota Bekasi 53 titik, dan Kabupaten Bogor 12 titik) dan DKI Jakarta 63 titik. Bahkan di kabupaten Lebak Banten diterjang banjir bandang dan tanah longsor yang memaksa 17.200 orang mengungsi.
Kerugian ekonomi dari banjir dan longsor itu tentu sangat besar. Mulai kerugian langsung pada perumahan yang rusak ringan, berat, hingga barang yang hilang hanyut tersapu banjir. Termasuk rusaknya berbagai infrastruktur fisik, prasarana sosial seperti gedung sekolah, rumah ibadah, puskesmas, dan sebagainya.
Bandara Halim Perdanakusumah bahkan ditutup sementara dan semua penerbangan dialihkan ke Bandara Soekarno–Hatta. Banjir telah menyebabkan terganggunya akses lalu lintas. PLN Distribusi Jakarta Raya juga terpaksa memadamkan listrik di 724 wilayah Jakarta yang mengalami banjir.
Akibatnya, berbagai kegiatan ekonomi produktif terganggu. Pabrik di sejumlah kawasan industri yang terendam, terpaksa diliburkan. Pasokan bahan baku dan pengiriman produk jadi tidak lancar. Sektor perdagangan besar hingga ritel juga terganggu akibat tersendatnya jalur distribusi. Pedagang di pasar-pasar tradisional kebingungan karena kesulitan mendapatkan pasokan barang, terutama sayuran segar dan komoditas pangan lain.
Alhasil, akibat pasokan pangan tersendat, harga-harga di pasar terkerek secara signifikan. Padahal, curah hujan selama Januari-Maret 2020 diperkirakan masih tinggi. Kedepan, program revitalisasi pasar tradisional harus mampu merespon persoalan ini, misalnya dengan melengkapi pasar dengan gudang pendingin yang bisa disewa pedagang untuk menyimpan komoditas pangan.
Pasalnya, komoditas pangan punya andil cukup besar dan memiliki efek domino yang cepat terhadap inflasi. Sebagai contoh, tahun 2019, cabai merah memiliki andil 0,15 persen, bawang merah 0,1 persen, ikan segar 0,09 persen, dan bawang putih 0,06 persen. Ditambah porsi bahan makanan menyumbang sekitar 75 persen terhadap tekanan inflasi.
Oleh karenanya, mitigasi secara kuat dan akurat harus benar-benar dilakukan untuk meredam potensi ancaman inflasi pangan ini. Apalagi, selain tekanan inflasi pangan yang dipicu banjir, ada potensi gagal panen akibat curah hujan tinggi. Padahal, sebelumnya kekeringan panjang dan gagal panen dipastikan berdampak pada menipisnya cadangan beberapa komoditas pangan nasional.
Ilustrasi dari dampak banjir itu mengingatkan pada sebuah kata bijak bahwa “membangun seolah lebih mudah daripada menjaga dan merawatnya”.
Percepatan pembangunan yang tidak diimbangi oleh perencanaan yang matang, apalagi mengabaikan aspek lingkungan, sering berujung merusak dalam waktu sekejap. Pembangunan yang melanggar tata ruang, sudah pasti merusak keseimbangan ekosistem.
Padahal, secara geologis, jelas Jakarta dan sekitarnya berada di dataran rendah, rata-rata hanya 7 meter di atas permukaan air laut. Dengan kondisi itu, tentu butuh tata ruang yang disiplin. Idealnya, bagian selatan yang cukup tinggi mestinya dipersiapkan sebagai ruang hijau dan resapan air. Sementara di kawasan utara tersedia infrastruktur penampung air dan di kawasan tengah harus dipastikan seluruh saluran air lancar.
Fakta yang terjadi justru tingginya permintaan lahan komersial karena masifnya pembangunan kawasan perumahan maupun perniagaan modern. Konsekuensinya, kawasan yang harusnya untuk resapan maupun penampungan air terserobot. Kepadatan penduduk dan rapatnya penggunaan lahan yang terbatas berdampak pada semakin cepatnya penurunan tanah akibat semakin tingginya penyedotan air tanah. Akibatnya, pendangkalan sungai di wilayah tengah Jakarta, menyebabkan drainase menjadi kecil dan semakin mampet karena dipenuhi sampah akibat perilaku masyarakat yang tak disiplin.
Selain persoalan hilir yang pelik, problem di hulu pun akut, antara lain karena masifnya alih fungsi lahan di kawasan puncak. Vila-vila ilegal yang tidak memenuhi ketentuan tata ruang merebak. Lahan konservasi seluas 368,8 hektar di kawasan Resor Pemangkuan Hutan (RPH) bahkan telah banyak beralih fungsi.
Padahal, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 144 Tahun 1999, wilayah RPH Cipayung dan RPH Babakan Madang merupakan kawasan konservasi air dan tanah. Ketiadaan fungsi resapan air di kawasan puncak ini terbukti ketika setiap kali daerah Puncak dan Bogor diguyur hujan, debit air Sungai Ciliwung segera naik dan meluap. Sebaliknya, jika kawasan tersebut hujan reda, Sungai Ciliwung langsung surut.
Oleh karena itu, penanganan masalah banjir di Jabodetabek tak mungkin dilakukan parsial, apalagi hanya jadi komoditas politik. Apalagi hanya ribut dibahas setiap musim banjir dan terlupakan ketika kemarau kembali datang. Termasuk terkait mitigasi potensi dan penanganan dampak bencana yang harus dilakukan secara menyeluruh dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) kementarian dan lembaga yang jelas. Terlepas Jakarta masih akan tetap menjadi ibu kota atau tidak.
Selama ini penanggulangan masalah kebencanaan dimandatkan kepada banyak kementerian dan lembaga, antara lain Badan Nasional Penanggulang Bencana (BNPB), pemerintah daerah (Pemda), dan Kementerian Sosial (Kemensos). Padahal, penanganan kebencanaan, bukan sekedar upaya penyelamatan atau evakuasi terhadap warga terdampak bencana. Justru yang terpenting adalah upaya mitigasi, terutama mencegah potensi bencana dan mengurangi risiko kerugian akibat bencana, baik kerugian ekonomi maupun jiwa.
Pemerintah harus memberikan kejelasan kewenangan penanggulangan bencana di Indonesia. Masing-masing kementerian dan lembaga harus memiliki tupoksi yang jelas dan kongkrit. Idealnya, harus ada lembaga yang secara khusus, serius dan terintegrasi mengurus mitigasi kebencanaan. BNPB, sesuai namanya mestinya dapat dioptimalkan untuk memiliki tugas dan fungsi (tupoksi) penanggulangan bencana. Program dan anggaran terkait kebencanaan dapat dikoordinasikan dan disinergikan, termasuk anggaran dan kejelasan kewenangannya.
Bagaimanapun, banjir tak hanya memiliki dimensi kerugian ekonomi, apalagi jika telah mengakibatkan korban jiwa yang begitu banyak. Kerugian ekonomi pun tidak hanya dikalkulasi dari besaran kerugian langsung dan sesaat. Jika masalah banjir Jabodetabek tidak mendapat penyelesaian yang fundamental, dengan sendirinya akan menjadi ancaman lingkungan dan kemanusiaan yang lebih besar. Sekalipun Jakarta tidak lagi menjadi ibu kota negara, penyelesaian banjir Jakarta harus tetap menjadi komitmen bersama secara nyata.