Situasi eksternal berubah sangat cepat. Refleksi kinerja 100 hari pemerintah Jokowi harus diletakkan dalam perubahan lingkungan global.
Oleh
A Prasetyantoko-- Pengajar di Unika Atma Jaya, Jakarta
·5 menit baca
Politik adalah soal tradisi. Setiap kali pemerintah baru dilantik, ada kebiasaan melakukan evaluasi kinerja seratus hari. Kendati Presiden Joko Widodo sudah menyatakan tak ada program kerja seratus hari, namun publik tetap saja menanti gebrakan kebijakan pada tiga bulan pertama ini. Dalam hal ini, politik adalah soal ekspektasi.
Selain soal tradisi dan ekspektasi, politik (kebijakan publik) juga soal eksekusi. Meskipun program kerja Kabinet Indonesia Maju merupakan kelanjutan dari Kabinet Kerja, namun kinerja pemerintah 5 tahun mendatang akan sangat ditentukan dalam eksekusi pada 3 bulan pertama. Sebenarnya, pemerintah bukan tak peduli dengan kinerja 100 hari. Omnibus law di bidang Perpajakan dan Cipta Lapangan Kerja nampaknya jadi target delivery kinerja seratus hari.
Sementara, situasi eksternal berubah sangat cepat. Ada begitu banyak “angsa hitam” bermunculan, tak hanya di bidang ekonomi. Risiko geopolitik meningkat setelah Presiden Trump memerintahkan penyerangan yang menewaskan perwira militer senior Iran, Qassem Soleimani. Belum juga risiko politik reda, kini muncul risiko kesehatan dengan merebaknya virus korona jenis baru yang dampaknya diprediksi akan lebih besar dari virus MERS dan SARS serta mengalahkan risiko Brexit yang resmi berlaku pada 31 Januari 2020.
Dengan peningkatan risiko politik dan isu kesehatan, perekonomian global yang lemah akan semakin terpukul. Perlambatan global akan berlanjut. Ujungnya, risiko ekonomi dan keuangan meningkat. Refleksi kinerja 100 hari pemerintah Jokowi harus diletakkan dalam perubahan lingkungan global yang semakin berat ini.
Risiko global
Kemunculan berbagai penyakit, termasuk 2019-nCov merupakan salah satu implikasi perubahan iklim. Global Risk Report 2020 terbitan Forum Ekonomi Dunia menunjukkan lima risiko tertinggi ditinjau dari tingkat kemungkinannya, semua terkait isu lingkungan. Isu lingkungan sudah sejak beberapa tahun terakhir juga selalu ada di peringkat pertama dalam peta risiko global. Bisa diduga, risiko lingkungan akan memperparah risiko ekonomi.
Badan Kesehatan Dunia telah menyatakan virus korona sebagai kondisi darurat global. Dampak utamanya pada perekonomian global ada dua. Pertama, merosotnya wisatawan dari China. Kedua, perdagangan global melemah yang ditandai dengan penurunan aliran ekspor-impor.
China telah menjadi negara dengan pengeluaran turisme terbesar dunia. Pada semester I-2019, wisatawan China menyumbang 20 persen turis di Singapura, Filipina, Thailand, Jepang, dan Vietnam. Sementara, di Hong Kong 80 persen. Kita “beruntung” karena turis China sekitar 10 persen.
Paling kurang ada empat kementerian yang menjadi kunci menghadapi ketidakpastian ini.
Siklus pengaruh berikutnya pada sektor perdagangan. Sepanjang 2019, total ekspor nonmigas Indonesia ke China 25,85 miliar dollar AS, setara 16,68 persen total ekspor nonmigas RI. Dari sisi impor, China menyumbang 29,95 persen total impor nonmigas senilai 44,57 miliar dollar AS. Dampaknya pada perdagangan akan serius jika virus korona yang sudah menewaskan lebih dari 300 orang dan menyebar ke lebih dari 20 negara ini tak segera teratasi.
Berbasis fakta risiko terkini, refleksi 100 hari pemerintahan Jokowi menjadi sangat relevan. Paling kurang ada empat kementerian yang menjadi kunci menghadapi ketidakpastian ini.
Pertama, Kementerian Perdagangan harus fokus mengamankan neraca perdagangan nonmigas. Pada 2019, perdagangan RI masih defisit 3,20 miliar dollar AS. Meski membaik dibandingkan dengan defisit 2018 yang 8,6 miliar dollar AS, namun tantangan ke depan semakin berat. Harus ada skenario jika virus korona terus berkembang dan arus ekspor-impor ke China melambat. Penetrasi ke pasar nonkonvensional seperti Afrika dan Timur Tengah, selain Asia, harus ditingkatkan terukur. Kerja sama dengan Kementerian Luar Negeri harus ditingkatkan.
Kedua, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral harus fokus menyelesaikan defisit minyak. Sepanjang 2019, neraca migas defisit 9,34 miliar dollar AS. Penyebabnya, defisit minyak mentah 4 miliar dollar AS, sedangkan hasil minyak defisit 11,72 miliar dollar AS. Solusinya, mempercepat program B-30 menuju B-50 atau mengurangi ketergantungan impor minyak. Solusi lain, mengakuisisi perusahaan penghasil minyak di luar negeri. Kerja sama dengan Kementerian BUMN perlu dilakukan guna menjajaki rencana aksi akuisi ini.
Ketiga, Kementerian Perindustrian perlu benar-benar fokus meningkatkan produktivitas sektor industri di dalam negeri, khususnya yang berorientasi ekspor. Pada triwulan III-2019, sektor industri manufaktur dengan kontribusi pada Produk Domestik Bruto 19,62 persen hanya tumbuh 4,15 persen. Sektor pertanian dengan kontribusi 13,45 persen tumbuh 3 persen; perdagangan dengan kontribusi 13,02 persen tumbuh 4,75 persen. Sektor ekonomi dengan kontribusi terbesar tengah melambat. Jika tidak ada upaya nyata mendorong kinerja sektor ini, maka perekonomian 2020 berisiko tumbuh di bawah 5 persen.
Kementerian Perindustrian adalah salah satu kementerian kunci yang peranannya sangat menentukan. Sudah selayaknya Presiden Joko Widodo memerhatikan kementerian ini dengan menempatkan orang terbaik. Sayangnya, kementerian penting ini termasuk paling miskin gebrakan dalam 100 hari.
Keempat, Kementerian Ketenagakerjaan harus mampu menjalankan fungsi maksimal menciptakan ekosistem ketenegakerjaan yang mendukung daya saing industri nasional serta menarik bagi investor asing. Selama ini, isu ketenagakerjaan sering disebut sebagai faktor yang membuat perekonomian kita tidak kompetitif. Kementerian Ketenagakerjaan harus menciptakan kerangka regulasi, peningkatan kompetensi serta melindungi kepentingan tenaga kerja sekaligus.
Pada intinya, refleksi 100 hari ini harus diarahkan pada formulasi kebijakan guna menyelesaikan persoalan paling mendasar, yaitu peningkatan produktivitas serta daya saing perekonomian domestik di tengah lingkungan yang makin tak kondusif. Keempat kementerian ini tentu tak bisa sendiri, melainkan perlu mendapat perhatian lebih, mengingat peranannya yang begitu penting.
Omnibus law sebagai terobosan besar pada periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi masih menyisakan dua agenda besar, yaitu fase pengesahan serta implementasi. Jika fase pertama terkait dengan tingkat dukungan politik, fase kedua akan ditentukan kualitas para menterinya. Sangat mungkin, setelah omnibus law disahkan, akan dilakukan penilaian ulang komposisi menteri berbasis kompetensi.
A Prasetyantoko, Pengajar di Unika Atma Jaya, Jakarta