Komisaris Jenderal (Pol) Hugeng Iman Santoso mengikuti upacara serah terima jabatan sebagai Panglima Angkatan Kepolisian Republik Indonesia (AKRI) dari Jenderal (Pol) Sutjipto Judodihardjo di Markas Besar Angkatan Kepolisian (Mabak), Kebayoran Baru, Jakarta, Rabu (15/5/1968). Serah terima jabatan tersebut dihadiri Presiden Soeharto.
Polisi Jujur Itu Hugeng
Anekdot tentang polisi jujur begitu populer dilontarkan tokoh NU, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Kata Presiden RI (1999-2001) itu, di negeri ini hanya ada tiga polisi jujur: patung polisi, polisi tidur, dan Hugeng. Ini memang sindiran nakal gaya khas Gus Dur. Patung polisi dan polisi tidur sudahlah tak perlu dibahas. Hugeng? Inilah polisi paling fenomenal. Hugeng adalah kepala polisi yang dikenal jujur dalam hidupnya. Antisogokan, mengharamkan kongkalikong, dan menolak nepotisme.
Walaupun kehidupannya tergolong pas-pasan sebagai petinggi negara, Hugeng tak tergiur untuk hidup mewah. Integritas Hugeng tak bisa ”dibeli”. Bahkan, dalam pertemuan ia cepat menghindar agar jabatannya tidak dimanfaatkan banyak orang. Pada 1960, sehari sebelum dilantik menjadi Kepala Jawatan Imigrasi, Hugeng meminta sang istri, Merry Roeslani, untuk menutup toko bunganya.
Apa hubungan antara jabatan Kepala Imigrasi dan toko bunga milik sang istri? Rupanya Hugeng tak ingin orang-orang membeli bunga karena jabatannya. Buat Hugeng, semua orang yang berurusan dengan Imigrasi bakal memesan bunga di toko bunga milik sang istri. ”Ini tidak adil untuk toko-toko kembang yang lain,” kata Hugeng.
Hugeng adalah monumen sejati. Sangat tepat dipilih jadi Kapolri pada 1968-1971. Waktu itu namanya Pangak alias Panglima Angkatan Kepolisian Republik Indonesia. Komisaris Jenderal Hugeng dilantik Presiden Soeharto di Lapangan Mabak (sekarang Mabes Polri) di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, 15 Mei 1968. Ia menggantikan Jenderal (Pol) Soetjipto Judodihardjo, bersamaan dilantik pula Wakil Pangak Irjen (Pol) Teuku Abdul Azis. Ketika dilantik menjadi Pangak, Hugeng diberi amanat, yaitu mengembalikan polisi sebagai penegak hukum dan penjaga ketertiban masyarakat, bukan lagi sebagai kekuatan militer (alat perang).
Saat dilantik, usia Hugeng baru 47 tahun. Tubuhnya kurus. Kompas (16 Mei 1968) menulis, gerakan-gerakannya selalu cepat dan gesit, jadi unik dibandingkan rekan-rekannya sesama pejabat tinggi AKRI lainnya yang umumnya bertubuh besar dan ”berat-berat”. Tubuh boleh kurus, tetapi nyali dan integritasnya tiada yang mengalahkan. Hugeng adalah teladan yang membanggakan korps Bhayangkara. Hari ini kita membutuhkan ”Hugeng-Hugeng” baru. (ssd)