Pemerintah DKI Jakarta akan memberikan peringatan keras dan bisa berujung pada pencabutan izin usaha jika tempat hiburan terbukti menjadi sarang narkoba. Seruan itu disampaikan pejabat DKI sehubungan dengan penangkapan pengedar morfin yang memasok ke tempat-tempat hiburan di Jakarta.
Kelab Malam dan Narkoba
Kelab malam mulai bermunculan di Jakarta awal 1970-an, setelah Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin mengeluarkan surat keputusan tertanggal 1 Agustus 1970. Bang Ali menegaskan kebijakan pemerintah provinsi untuk membuka kesempatan pengusahaan kelab malam di Ibu Kota.
Kebijakan itu memunculkan pendapat pro dan kontra. Mereka yang kontra, antara lain, beralasan bahwa kelab malam bisa menjadi tempat prostitusi terselubung, perjudian, dan peredaran narkoba. Sementara mereka yang pro beralasan, Jakarta sebagai ibu kota perlu kelab malam. Keberadaan kelab malam juga membuka kesempatan kerja dan mendatangkan pemasukan bagi pemprov.
Selain para artis, bartender, pramusaji, petugas keamanan, hostes dengan tarif yang dihitung per jam menjadi peluang kerja di kelab malam. Hostes biasanya berusia 17-30 tahun. Tingginya kesempatan kerja sebagai hostes bisa dilihat dari jumlahnya yang terus meningkat.
September 1970 dengan sembilan kelab malam, jumlah hostes di setiap kelab malam berkisar 30-90 orang. Tak sampai setahun, pada 1971 jumlah kelab malam naik menjadi 21 dengan total hostes lebih dari 680 orang. Kontrak kerja hostes dan kelab malam bisa berdasarkan bagi hasil sesuai kesepakatan, sistem 50-50 persen atau 60-40 persen.
Masalah muncul ketika narkoba masuk ke kelab malam. Kompas, 17 Mei 1975, mencatat, sekitar 10 persen hostes pemakai morfin. Padahal, sebelum bekerja, para hostes sudah diberi pengetahuan tentang berbagai jenis narkoba dan bahayanya. Namun, jumlah hostes pemakai narkoba justru meningkat menjadi 40 persen (Kompas, 23 Juli 1975). Kelab malam yang kedapatan menjadi tempat peredaran narkoba pun ditutup. Sekitar awal 1990, kelab malam tak lagi mampu menarik banyak pengunjung.
Kelab malam menghilang, muncul berbagai bentuk hiburan malam. Data September 2017 menunjukkan, di Jakarta terdapat 2.525 tempat hiburan yang terdiri dari bioskop, diskotek, karaoke, spa, mandi uap, bar, biliar, griya pijat, dan musik hidup. Penerimaan Pemprov DKI dari hotel, restoran, dan tempat hiburan pun meningkat dari Rp 3,7 triliun pada 2014 menjadi Rp 4,6 triliun pada 2016. (CP)