Jakarta memerlukan sekitar 500.000 nomor telepon, sedangkan yang tersedia hanya 42.000 nomor. Untuk mencukupi kebutuhan itu, Dirjen Postel Mayjen
Soehardjono antara lain melakukan pembicaraan dengan perusahaan swasta asal Amerika Serikat. Itu pun untuk penambahan 100.000 nomor telepon baru.
Saat Telepon Masih Langka
Sampai sekitar pertengahan 1990, di kawasan pinggiran Jakarta, telepon rumah masih menjadi barang langka. Sebagian warga Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi harus pergi ke lokasi telepon umum yang jaraknya bisa lebih dari 5 kilometer dari tempat tinggalnya. Sayangnya, tak semua telepon umum selalu berfungsi baik. Ini membuat banyak warga merasa kecewa karena untuk mencapai lokasi telepon umum mereka sudah mengeluarkan ongkos transportasi.
Tahun 1980, dengan jumlah penduduk sekitar 6,5 juta, di Jakarta baru ada 97.000 telepon rumah. Sementara telepon umum sekitar 280 unit. Warga menggunakan telepon umum dengan memasukkan koin Rp 25.
Meskipun hanya berisi koin Rp 25, kotak koin di telepon umum kerap menjadi sasaran penjahat. Kompas, 4 Februari 1977, misalnya, memuat berita tentang tertangkapnya pencuri uang di telepon umum di kawasan Halim Perdanakusuma.
Sampai akhir 1980-an, telepon umum hanya bisa untuk percakapan lokal. Untuk menghubungi kerabat di luar kota, warga harus pergi ke cabang kantor Telkom untuk minta sambungan interlokal. Sementara pemilik telepon rumah harus menghubungi operator interlokal jika hendak menelepon ke kota lain.
Mulai 1981, mereka yang memiliki telepon rumah bisa menelepon ke luar kota dengan Sambungan Langsung Jarak Jauh (SLJJ). Meskipun demikian, sebagian dari 124.700 pelanggan telepon tetap memilih lewat operator interlokal (Kompas, 19 Januari 1981).
Langkanya nomor telepon dibandingkan dengan jumlah penduduk Jakarta menumbuhkan calo telepon. Bahkan, mereka yang sudah memiliki telepon rumah pun, jika rusak, harus menunggu perbaikan sampai sekitar tujuh hari.
Sekitar akhir 1994, telepon genggam mulai masuk Indonesia. Salah satu pengelola global system for mobile communication (GSM) itu adalah PT Satelindo. Pada awal adanya GSM, sebuah telepon genggam (handset) masa hidupnya hanya sekitar 18 bulan. Mungkin karena itulah, dari target memasarkan 30.000 telepon seluler GSM dalam setahun, hanya terealisasi sekitar separuhnya. (CP)