Pasaran teh Indonesia di luar negeri merosot sehingga harus dijual jauh di bawah harga. Selain karena produksi teh dunia meningkat, pedagang luar negeri lebih suka membeli dari Afrika dan Sri Lanka yang mutu tehnya lebih baik dari Indonesia. Penjualan teh Indonesia di Eropa menghasilkan 65 juta pound per tahun.
Nasib Teh Indonesia
Teh dan kopi, dua komoditas yang akrab dalam keseharian orang Indonesia. Hampir seluruh rakyat negeri ini punya kebiasaan minum teh dan kopi. Namun, teh tak sepopuler kopi Indonesia di pasar dunia.
Kopi Indonesia terkenal di pasar dunia, terutama karena kekhasan geografis, yang diyakini berpengaruh pada rasa, aroma, dan kualitas. Sebut saja arabika Toraja, robusta Lampung, dan arabika Gayo menempati posisi terhormat di pasar kopi dunia. Adapun teh Indonesia hanya menjadi bahan campuran untuk beberapa teh kualitas menengah dunia. Kualitas teh Indonesia dinilai relatif rendah dibandingkan dengan teh dari China, India, dan Sri Lanka.
Padahal, Belanda telah mewariskan kebun terbaiknya buat negeri ini, seperti Perkebunan Teh Malabar di Jawa Barat dan Pagilaran di Jawa Tengah. Teh Indonesia mengandung katekin atau antioksidan alami tertinggi. Indonesia kini produsen teh nomor tujuh terbesar di dunia.
Persoalan kualitas telah mencuat sejak dulu. Kompas, 20 Juni 1969, melaporkan, harga teh Indonesia merosot di pasar dunia. Para eksportir harus menjual teh Indonesia di bawah harga karena mutu teh kurang baik jika dibandingkan dengan teh dari Sri Lanka dan Afrika.
Persoalan yang sudah mencuat sejak 49 tahun lalu itu belum teratasi. Ada kesadaran mendongkrak ”nama” teh Indonesia agar seharum kopi, dengan melakukan tahap pengajuan identitas geografis. Namun, identitas karakter teh Indonesia beda tipis dari satu daerah dengan daerah lain. Ini karena bibit yang dikembangkan asalnya sama, dari Gambung, Jawa Barat, sehingga karakter lokal luntur.
Untuk membuat identitas geografis, harus dilakukan spesialisasi teh dari setiap kebun. Artinya, harus kembali digali dan dikembangkan bibit-bibit teh lokal. Hal itu jadi kerja besar yang butuh kesabaran, kesungguhan, dan konsistensi.
Mungkinkah itu terjadi? Saat ini saja keberadaan perkebunan teh kian tergerus. Kebun teh PTPN IV Sumatera Utara kian menyempit dikonversi menjadi kebun-kebun sawit. Sementara kebun teh PTPN VIII Jawa Barat, Walini, bakal ”tergusur” pembangunan jaringan rel kereta cepat Jakarta-Bandung. Perkebunan teh lain bernasib sama, tergerus kepentingan lain dan belum ada perkebunan baru yang dikembangkan. Quo vadis teh Indonesia. (ELY)